Do You Know (Chapter 1)

hanasumi-request-do-you-know

Author: hanasumi

Tittle: Do you know? – Chapter 1
Cast: Im Yoona, Lee Donghae
Genre: Romance 

Author Note : Anyeong! Here i come with the brand new story! Maaf kalau aku udah post ff baru lagi padahal ada 3 ff yang belum selesai sama sekali. Tapi, aku dapet ide baru dan langsung deh non-stop banget nulisnya. Tadinya mau dijadiin threeshoot, tapi kayanya ga bisa karena kepanjangan. Jadi, kayanya cuma 4 chapter aja ya biar seengganya ada satu ff aku yang selesai hehe. Target aku selesaiin ff ini sampe akhir desember. Semoga bisa deh ya…so, please, i hope you guys enjoy it 🙂 don’t forget to leave your comment. Your comment is something precious haha ^^ Kritik, komen apapun terserah kalau memang ff aku jelek atau seharusnya aku ga nulis cerita baru dulu. Oh, as usuall, i got this for you guys, check out the trailer here ——> https://www.youtube.com/watch?v=O4sigefzfBg hope you all like it ^^ teeheee…loveyou<3

***

Awalnya semua itu hanya sebuah kata-kata yang samar dan akan selamanya dibiarkan menjadi sesuatu yang tak terucapkan. Hanyalah sebuah harapan bahwa suatu hari kau akan mendengarnya sendiri dari mulutku.

“Aku rasa…aku mulai menyukaimu.”

“Entah sejak kapan aku merasa sangat bersyukur ketika aku melihatmu. Bersyukur karena kau ada.”

“Aku tidak suka dengan sikapmu terhadapku…tapi, apa yang bisa aku perbuat untuk merubahnya?”

“Sudah kubilang aku tidak suka apabila orang membentakku. Apa aku melewatkan yang satu ini?”

“Sakit. Rasanya sangat sakit. Semua ini tidak bagus untuk kesehatanku. Bisakah kau tidak bersamanya?”

“Aku akan pergi…apa kau akan sedih jika aku pergi?”

“Bisakah kau melupakannya dan hanya melihatku seorang?”

“Jangan pergi. Aku tidak mau lagi kehilangan seseorang yang berarti dalam hidupku.”

“Aku mau kau tetap memelukku seperti ini karena sekarang aku merasa sangat nyaman. Semuanya terasa sangat tepat.”

“Tetaplah disini. Jangan tinggalkan aku…”

“Apa kau mengingatku?”

“Aku mencintaimu…”

*****

Seoul, Korea Selatan

Jam sudah menunjukkan pukul 11 malam. Para karyawan pun sudah meninggalkan pekerjaan mereka dari berjam-jam yang lalu. Hanya satu orang yang terlihat masih setia duduk di ruang kerjanya dengan sebuah laptop yang masih menyala dan beberapa dokumen yang berserakan di atas meja. Pakaiannya sudah tidak serapih ketika ia datang ke kantor pagi tadi. Ia sudah melempar jas yang melekat di tubuhnya ke sofa, kedua lengan kemejanya sudah ia gulung hingga batas siku dan dasi yang ia pakai sudah ia longgarkan. Kedua matanya dibiarkan menutup sejenak, lalu ia pun memundurkan badannya. Ia melirik ke arah jam dinding lalu mendesah pelan ketika melihat waktu sudah menunjukkan hampir tengah malam. Sudah beberapa hari ini Lee Donghae bekerja hingga larut malam. Beradaptasi dengan dunia bisnis yang sangat luas dan mencoba untuk menyelesaikan beberapa masalah yang sedang dilanda perusahaan besar keluarganya, tentu tidaklah mudah. Belum lama ini, presiden direktur dari perusahaan SUNHWA jatuh sakit dan beliau merasa bahwa di usianya yang sekarang ini sudah tidak memungkinkan lagi bagi dirinya untuk menjalankan dan memimpin perusahaan yang dimiliki oleh keluarga Lee tersebut. Oleh karena itu, ia menyuruh anak semata wayangnya untuk mulai mengambil alih semua hal yang ada di perusahaannya, dan langsung mengisi kekosongan kedudukan tertinggi di perusahaan keluarganya itu. Lee Donghae tau bahwa cepat atau lambat ia akan berurusan dengan yang namanya bisnis karena ia merupakan satu-satunya pewaris di keluarganya.

Merasa bahwa kedua matanya sudah tidak bisa lagi diajak untuk bekerja, dan seluruh tubuhnya sudah mulai merasa sakit karena terlalu lama duduk, Donghae memutuskan untuk kembali ke apartemennya. Setelah membereskan beberapa dokumen yang hampir menutupi meja kerjanya itu, Donghae meraih jas kerjanya yang tergeletak di sofa ruangannya lalu ia berjalan menuju lift. Ketika ia memencet tombol lift yang menuju lantai tempat mobilnya terparkir, ia melirik ke sebuah benda kecil yang melingkar di jari manis kirinya. Lalu sebuah senyuman samar terpampang di wajahnya.

*****

Setelah memasukkan kode pintu apartemennya, Donghae pun langsung melempar jasnya ke sembarang arah lalu berjalan menuju dapur untuk mengambil sebuah air. Ia berjalan menuju kamarnya lalu membanting tubuhnya ke kasur yang berukuran cukup besar untuk dirinya seorang. Lee Donghae sudah tinggal di apartemen miliknya sendiri sejak dirinya lulus dari Columbia Business School, New York, Amerika Serikat lalu kembali ke Korea dengan sebuah alasan yang cukup genting pada saat itu. Walaupun hatinya berkata untuk tidak pergi, tapi tetap saja, ini ayahnya yang sedang dibicarakan. Sebenarnya waktu itu, Donghae memutuskan untuk tidak kembali ke Korea dan memutuskan untuk menetap di Amerika setelah ia lulus. Tetapi, karena mendapat kabar bahwa ayahnya mendapat serangan jantung secara tiba-tiba, Donghae memutuskan untuk segera kembali ke Korea. Dan sejak hari itulah, dunianya berubah secara cepat tanpa sempat dirinya sadari.

“Bagaimana keadaannya?”

“Sejauh ini, kondisi presdir belum menunjukkan suatu kemajuan. Tetapi, dokter bilang bahwa beliau akan sadar dalam waktu dekat. Tuan muda tidak usah khawatir.”

Setelah berhasil mendapatkan tiket pesawat dengan keberangkatan pertama, Donghae segera pergi meninggalkan Amerika. Selama di dalam pesawat, perasaan takut menyelimuti dirinya. Banyak hal yang muncul di pikirannya. Apa yang akan ia katakan ketika bertemu dengan ayahnya, bagaimana sikapnya ketika harus berhadapan dengan ayahnya nanti, dan firasatnya mengatakan bahwa akan ada sesuatu yang terjadi , yang pada akhirnya bertentangan dengan pilihannya nanti. Sebenarnya, Donghae tidak menganggap itu sebagai firasat, ia yakin dengan hal itu karena ia sangat mengenal ayahnya. Dan percayalah, ini bukan yang pertama kalinya.

Setelah beberapa hari berlalu, tuan Lee pun sadar. Beliau segera menyuruh asistennya untuk memanggil Lee Donghae karena ada sesuatu yang ingin ia sampaikan. Donghae pun segera pergi menuju rumah sakit setelah mendengar kabar bahwa ayahnya telah sadar.

“Lee Donghae, anakku.” Donghae hanya diam tanpa menoleh ke arah ayahnya.

“Kau sudah besar rupanya. Sejak kapan kau bertambah tinggi? Terakhir kali ayah melihatmu, kau masih setinggi bahu ayah.”

“Ada apa kau memanggilku kesini?” Berbasa-basi dengan ayahnya merupakan hal terakhir yang ingin Donghae lakukan sekarang. Ia langsung mengalihkan pembicaraan supaya ayahnya bisa langsung memberitahu alasan mengapa ia dipanggil, dan rupanya sang ayah mengerti dengan sikap anaknya itu.

“Ah, kau tidak mau berbicara panjang lebar dengan ayah rupanya. Baiklah. Perusahaan sedang dihadapi masalah yang cukup berat. Bisa dibilang perusahaan kita sedang mengalami krisis. Dan kau tahu sendiri bahwa ayah tidak bisa menjalankan perusahaan dengan kondisi ayah yang seperti ini. Ayah tidak mempunyai orang kepercayaan untuk diberikan tanggung jawab sebesar ini. Ayah hanya punya kau sebagai anak ayah satu-satunya. Perusahaan membutuhkan seorang pemimpin muda yang penuh dengan gagasan-gagasan baru dan pemikiran yang sangat maju, yang dapat menyelesaikan permasalahan perusahaan serta dapat memimpin perusahaan ke depannya. Dan ayah rasa, ini sudah waktunya bagimu untuk mengisi kedudukan itu.”

Donghae terdiam sejenak setelah mendengar penuturan ayahnya yang masih terbaring lemah di ranjang rumah sakit. Donghae berusaha menyerap kata demi kata yang keluar dari mulut ayahnya. Ia sedang berpikir. Walaupun ia tahu bahwa ia tidak mempunyai pilihan lain selain berkata ‘iya’ pada permintaan ayahnya. Jadi, buat apa lagi ia berpikir kalau pada akhirnya ia akan melaksanakan apa yang ayahnya suruh ia untuk lakukan. Bukankan selama ini seperti itu?

“Lee Donghae, ayah minta maaf atas apa yang sudah ayah lakukan. Percayalah, ayah benar-benar menyesal. Dan ayah bisa mengerti kalau kau masih tidak bisa memaafkan ayah, atau mungkin kau tidak mau memaafkan ayah. Tapi, untuk kali ini ayah mohon, nasib perusahaan ada di tanganmu. Tidak ada yang dapat mengisi kedudukan itu selain kau. Dan ayah mempercayakan semuanya padamu.” Donghae menoleh ke arah ayahnya, lalu tanpa berpikir lagi, ia mengucapkan satu-satunya jawaban yang ia punya.

“Baiklah, aku akan mengambil alih perusahaan.” Tuan Lee tersenyum lega mendengar bahwa Donghae menyetujui untuk mulai menggantikan posisinya di perusahaan.

“Tapi aku melakukan ini untuk ibu. Bukan untukmu.” Ya. Ibunya. Kalaupun bukan karena ibunya, ia juga tidak akan berada di Korea, berdiri di depan ayahnya dan menyetujui permintaan ayahnya untuk menerima posisi yang memang hanya ditujukan untuknya.

“Tentu saja, ayah sangat mengerti dengan hal itu.” Cukup lama dua pria itu terdiam, terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Donghae pun masih berdiri diam di tempatnya sambil menatap lurus ke lantai rumah sakit.

“Apa hanya itu yang ingin kau sampaikan?” Ucap Donghae dengan datar.

“Ada satu hal lagi yang ayah harap kau juga bisa penuhi. Dan ini merupakan inti dari semuanya.”

“Inti dari semuanya? Maksudmu?” Donghae memalingkan pandangannya tepat pada kedua mata ayahnya.

“Ayah ingin kau menikah.”

“APA?! Me-menikah?!”

“Iya, dan ayah sudah memilih wanita yang tepat untukmu.”

Donghae menutup kedua matanya lalu mendesah dengan cukup keras.

*****

Sinar matahari menyeruak masuk dari balik jendela yang masih terhalangi oleh kain putih. Dengan perlahan kedua mata itu terbuka. Lee Donghae masih berusaha untuk menyesuaikan kedua matanya dengan sinar matahari. Setelah merasa bahwa dirinya sudah sepenuhnya terbangun, Donghae segera melangkahkan kakinya menuju kamar mandi, bersiap-siap memulai rutinitasnya seperti biasa.

Yeobseo?” Donghae melepas tangan kanannya dari kemudi mobil untuk mengangkat telepon genggamnya yang berdering.

“Aku masih dalam perjalanan. Mulailah rapat tanpaku.” Setelah itu Donghae menutup teleponnya.

*****

“Jadi seperti yang sudah saya jelaskan tadi, proyek gedung seni ini berbasis dengan lingkungan. Arsitektur gedung ini akan bernuansa modern, tetapi dengan adanya taman yang mengelilingi gedung, akan membuat gedung ini tetap ramah lingkungan dan masyarakat pun dapat menikmati keindahan dari taman ini.” Dengan lancar dan jelas, Donghae menjelaskan proyek perusahaannya di depan para investor yang turut bekerja sama dalam proyek ini. Dilihatnya, beberapa orang di dalam ruangan itu saling berbisik dan menganggukan kepala mereka setelahnya. Donghae merasa lega dan puas karena presentasinya berjalan baik dan mendapat respon yang sangat baik. Ini merupakan hal yang penting baginya karena dengan adanya proyek ini, perusahaan-perusahaan akan tertarik untuk ikut berinvestasi dan bekerja sama dengan perusahaannya untuk proyek-proyek yang akan datang.

Setelah semua karyawan meninggalkan ruang rapat, pimpinan dari perusahaan YOONJIN, yang dimana merupakan salah satu perusahaan yang ikut bekerja sama dalam proyek ini, mendekati Donghae dengan seorang asisten yang selalu setia berada di sampingnya.

“Kerja yang bagus, nak. Aku harap proyek ini bisa terlaksana.” Tutur pria setengah baya dalam balutan jas Armani nya itu.

“Terima kasih, abeoji. Aku akan berusaha yang terbaik untuk proyek ini.” Abeoji? Ya, pria setengah baya itulah yang menyuruh Donghae untuk memanggilnya abeoji tepat setelah anak semata wayangnya bertunangan dengan Lee Donghae.

“Apa nanti malam kau ada waktu? Aku berencana mengajak kau dan ayahmu untuk makan malam bersama. Ada yang ingin aku bicarakan. Bagaimana?”

“Baiklah, aku akan datang.”

*****

Donghae tengah berdiri di depan cermin sambil merapikan jas berwarna biru tua yang sangat pas melekat di tubuhnya. Ia sedang bersiap-siap untuk makan malam bersama dengan calon mertuanya. Hanya dengan calon mertuanya. Oh, dan juga ayahnya. Ketika ia sedang berusaha memasang dasinya, tiba-tiba ia teringat akan sesuatu yang langsung membuat emosinya tidak tertahankan. Ia menarik dasinya lalu melemparnya dengan kasar. Ia lalu berjalan menuju balkon kamarnya. Berusaha untuk menenangkan dirinya, ia menutup kedua matanya sambil merasakan angin yang menerpa wajahnya.

“Aish, bagaimana cara memakai ini!” Setelah hampir lebih dari 5 menit mencoba untuk memasang dasinya dengan benar, Donghae menjadi frustasi, lalu ia memutuskan untuk tidak memakai dasinya biar nanti ibunya yang akan membantunya memasangkan dasi itu. Membayangkan acara makan malam yang sangat tidak ingin didatanginya sudah membuat moodnya berantakan, ditambah kekesalan tidak bisa memasang dasi dengan benar. Donghae menghembuskan napasnya dengan kasar lalu kemudian meraih jasnya yang terletak di tempat tidur.

Tiba-tiba, sesosok gadis yang sudah terlihat cantik di balik dress berwarna pastel dengan rambut ikalnya yang dibiarkannya terurai dengan indah, muncul dari balik pintu yang sedari tadi tertutup. Sangat cantik. Itu mungkin respon yang pantas diberikan untuknya. Tetapi, lain halnya dengan Lee Donghae. Ia hanya melirik sebentar ke arah pintu kamarnya dengan wajahnya yang terlihat berantakan.

“Apa yang kau lakukan disini? Apa kau tidak diajarkan sopan santun oleh orang tuamu? Apa tanganmu tidak berfungsi dengan baik sehingga mengetuk pintu saja tidak bisa?” Ucap Donghae dengan nada sinisnya. Percayalah, untuk sebuah kata-kata yang ditujukan kepada seorang gadis, kata-kata itu terdengar sangat menyakitkan.

“Aku diberitahu ayahmu supaya menyusulmu kesini. Apa kau membutuhkan waktu selama ini untuk bersiap-siap? Wah, bahkan aku tidak pernah membutuhkan waktu selama ini ketika berdandan.” Gadis itu menggelengkan kepalanya sambil memandangi Donghae dari atas sampai bawah.

“Mengapa dia membiarkanmu masuk ke kamarku seenaknya?”

“Aku rasa jawabannya sederhana. Karena aku ini calon istrimu.” Donghae tersenyum masam ketika mendengar kata-kata terakhir yang dilontarkan oleh gadis itu. Calon istri? Donghae tidak bisa berdebat kalau pernyataan tadi salah. Karena memang pada kenyataannya gadis itu adalah calon istrinya.

“Apa kau sudah selesai? Kedua orang tuamu dan ayahku sudah menunggu lama di bawah.”

“Aku akan turun ketika aku siap. Kau tidak usah repot-repot datang kesini hanya untuk menanyakan hal itu. Sangat tidak penting.” Jawab Donghae dengan nadanya yang masih terkesan dingin dan datar itu.

“Aku hanya mengingatkanmu. Itu saja.” Gadis itu juga tak kalah menjawab perkataan Donghae dengan nadanya yang sinis. Ketika gadis itu hendak keluar, kedua matanya menangkap sesuatu yang sedang dipegang oleh Donghae pada tangan kanannya.

“Dan kau masih juga belum memakai dasimu?”

“Memangnya kenapa? Apa itu mengganggumu?”

“Tidak. Aku hanya heran padamu, apa saja yang kaulakukan daritadi?” Donghae masih tetap diam pada posisinya, begitu juga gadis itu.

“Bukankah tadi kau akan keluar?” Gadis itu segera sadar. Sebelum pergi gadis itu tampak berpikir sambil masih tetap memandang Donghae yang juga tengah memandangnya. Ia mendesah pelan seperti tidak yakin dengan yang dipikirkannya, lalu setelah itu ia berjalan menuju pintu kamar itu sambil memegang dressnya agar tidak terinjak olehnya. Belum lama dirinya keluar dari kamar itu, sosoknya kembali muncul sehingga membuat Donghae kesal melihatnya.

“Apa lagi?”

“Apa kau butuh bantuan untuk memakai dasi itu? Kalau iya, a-aku bisa memakaikannya untukmu.” Gadis itu menawarkan bantuan pada Donghae yang masih memegang dasinya.

Donghae melirik sebentar pada dasi yang dipegangnya. Belum sempat Donghae menjawab, gadis itu sudah berdiri dengan tangannya yang terangkat di depan Donghae.

“Apa?”

“Serahkan dasimu. Aku akan memakaikannya untukmu.” Rasa gengsi yang dimiliki oleh Donghae sepertinya sangat tinggi sehingga ia hanya memandang gadis itu dengan ekspresi wajah seakan berkata ‘aku ini laki-laki dan aku bisa memasang dasi sendiri. Tidak usah repot-repot.’

“Ayolah, lebih baik kau cepat serahkan dasimu dan biarkan aku memakaikannya untukmu. Aku tahu kau tidak tahu cara memakai dasi.”

Kedua mata Donghae mengerjap sebnyak dua kali ketika mendengar penuturan gadis itu. Ia tahu dirinya tidak bisa memakai dasi? Darimana? Baru saja mulut Donghae terbuka berniat membalas perkataannya, gadis itu mengambil sendiri dasi dari tangan Donghae.

“Yah! Aku tidak bilang kau boleh memakaikan dasi ku!” Perkataan Donghae sama sekali tidak digubris oleh gadis itu. Tubuh Donghae seketika menegang ketika merasakan tangan gadis itu melingkar di lehernya dan hampir tidak ada jarak diantara mereka. Ia bisa menghirup aroma gadis itu melalui leher jenjangnya. ‘Jadi seperti ini aroma tubuhnya.’ Pikir Donghae. Tunggu, Donghae merasa ada yang salah dengan dirinya. Mengapa ia tiba-tiba menjadi seperti ini? Ada apa dengan jantungnya yang berdegup tidak karuan? Gadis itu mundur selangkah dan itu membuat Donghae kembali bernapas dengan normal. Setidaknya ia bisa kembali bernapas karena napasnya sempat tertahan ketika tangan dingin wanita itu tidak sengaja menyentuh kulit lehernya. Ketika gadis itu sibuk memakaikan dasi pada Donghae, tatapannya tidak pernah lepas dari gadis itu. Dia terlihat sangat cantik malam ini. Itulah yang terbesit di pikiran Donghae. Tatapan mereka saling bertemu ketika gadis itu tiba-tiba melihat tepat ke arah kedua mata Donghae karena merasa dirinya tengah dipandangi oleh laki-laki di depannya itu. Refleks, mereka berdua mengedarkan pandangan mereka ke segala arah.

“Sudah selesai.” Kening mereka menyentuh satu sama lain ketika tiba-tiba gadis itu mendongak dan Donghae memutar kepalanya kembali ke depan gadis itu sehingga membuat kening mereka bertemu.

Donghae merasa waktu berjalan sangat lambat ketika dirinya tidak bisa berhenti memandang gadis yang berdiri di depannya sekarang. Semuanya terasa seperti de javu baginya ketika bersama dengan gadis itu. Dan dengan jarak yang sedekat ini…entah apa yang masuk ke dalam diri Donghae, ia maju selangkah tanpa melepas kontak mata dengan gadis itu, sedangkan gadis itu mengerjapkan kedua matanya, bingung dengan apa yang sedang dilakukan Donghae maupun dirinya. Refleks, gadis itu mundur beberapa langkah dari Donghae sehingga jarak mereka tidak lagi berdekatan, dan kesadaran Donghae kembali.

“A-aku akan menunggumu di bawah.” Donghae pun memandangi punggung gadis itu yang semakin lama menghilang dari hadapannya.

*****

Ketiga pria sedang duduk sambil menikmati hidangan makan malam yang disediakan. Setidaknya dua diantara mereka, yang lain hanya diam sambil menatap lurus pada tempat kosong yang ada di depannya.

“Donghae…Donghae?” Pria yang duduk bersebrangan dengan Donghae membuyarkan lamunan Donghae.

Nde, abeoji?” Donghae akhirnya kembali ke alam sadarnya.

“Bagaimana menurutmu mengenai rencanaku tadi?” Rencana? Rencana apa? Mendengar apa yang dikatakannya saja tidak, dan kini ia harus mengutarakan pendapatnya?

“Maaf, aku tidak menyimak pembicaraan kalian tadi.” Jawab Donghae.

“Tuan Im berencana untuk memajukan hari pernikahanmu. Dan ayah setuju dengannya.” Ah, jadi itu. Masalah pernikahan. Satu-satunya hal yang tidak ingin Donghae dengar ataupun bicarakan. Dan kalaupun memang terpaksa harus dibicarakan, seharusnya calon istrinya ada bersamanya untuk membicarakan tentang pernikahan mereka. Bukankah pernikahan melibatkan dua orang didalamnya? Ada wanita dan ada pria. Jadi, apakah wajar jika sang wanita tidak ada disaat momen seperti ini?

“Semuanya terserah padamu, abeoji.” Nadanya terdengar ragu dan samar, tetapi Donghae sangat pandai berakting di depan ayahnya dan calon mertuanya itu.

“Baguslah kalau begitu. Aku akan pastikan bahwa Yoona juga akan setuju dengan rencana ini.” Nama itu. Sudah berapa lama ia tidak mendengar nama itu? Bahkan tanpa ia sadari, nama itu sudah menjadi penyebab tingkah lakunya yang berubah belakangan ini. Selama ini, ia berusaha untuk tidak mendengar nama orang yang sudah membuatnya seperti ini. Seperti tidak tahu arah. Tidak tahu apa yang harus dilakukan. Pada intinya, ia tersesat.

Kedua pria itu melanjutkan pembicaraan mereka. Begitu juga Donghae yang kembali menatap lurus ke depannya. Pandangannya begitu kosong.

“Ingat, kerjasama ini sangatlah penting bagi perusahaan. Membuat YOONJIN GROUP berinvestasi di perusahaan kita dapat membantu kita untuk menyelesaikan beberapa proyek perusahaan yang masih dalam pengerjaan. Bersikap baiklah di depan calon mertuamu dan calon istrimu.” Donghae hanya menatap lurus ke depan, tidak berniat untuk menimpali perkataan ayahnya. Disampingnya, ibunya tersenyum sambil mengelus dan menepuk tangan Donghae dengan halus. Donghae menoleh lalu membalasnya dengan senyuman kecil. Tidak lama, mobil yang ditumpangi oleh mereka berhenti di depan sebuah hotel mewah yang dimana merupakan salah satu hotel mewah milik keluarga besar Lee. Setelah turun dari mobil, mereka segera menuju ruangan pribadi yang telah disiapkan khusus untuk makan malam bersama dengan ‘calon anggota keluarga baru’ mereka.

“Lee Donghae, ayah tahu kau sangat tidak setuju dengan perjanjian ini. Tapi, tolong lakukan ini demi perusahaan kita.” Lagi-lagi Donghae hanya diam, tidak sedikitpun menoleh pada ayahnya.

“Bersikap baiklah pada putri tuan Im nanti, eum?” Donghae menatap ibunya sejenak lalu mendesah pelan. Sebuah anggukan ia berikan sebagai jawaban. Ibunya pun tersenyum lalu mengusap punggung Donghae. Senyuman yang ia lihat pada wajah ibunya, membuat Donghae berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan pernah mengecewakan ibunya. Ia tidak akan menyakiti ibunya seperi halnya ayahnya sendiri. Ia akan selalu membuat ibunya tersenyum seperti ini, walaupun ia harus merelakan kebahagiannya sendiri.Tidak lama kemudian, pintu ruangan pun terbuka dan menampakkan seorang pria setengah baya berbalut jas dengan seorang gadis muda yang anggun dibelakangnya. Tuan Lee tersenyum melihat tamu yang ditunggunya telah datang. Sedangkan Donghae, tatapannya langsung tertuju pada gadis yang tengah berjalan ke arahnya. Ia mengenal wajah itu. Dimana ia pernah melihat wajah itu? Yang pasti wajahnya tidak asing di mata Donghae.

“Apa kabarmu, Seung Hyun?” Sapa Tuan Lee sambil menjabat tangan sahabatnya sejak di bangku kuliah itu.

“Kabarku baik, Dongwan-ah. Lama tidak bertemu.” Kedua pria setengah baya itupun saling memeluk satu sama lain, menumpahkan kerinduan mereka setelah beberapa tahun tidak bertemu.

“Annyeonghaseyo.” Nyonya Lee memberi salam ketika kedua pria itu sudah melepaskan pelukan mereka. tuan Im menoleh lalu tersenyum. “Sudah lama tidak bertemu.”

“ Oh, dan ini pasti anakmu.” Ucap tuan Im ketika melihat Donghae berdiri di belakang tuan Lee.

“Iya. Donghae kemari. Beri salam pada tuan Im.” Donghae berjalan mendekati ayahnya lalu membungkukkan badan pada tuan Im.

“Annyeonghaseyo, Lee Donghae imnida.”

“Kau benar-benar sudah tumbuh menjadi seorang pria yang mapan. Waktu berjalan begitu cepat, bukankah begitu?” Tuan Lee dan nyonya Lee menimpalinya dengan tawa sedangkan Donghae hanya tersenyum samar.

“Yoona, kemari.” Tuan Im menoleh ke belakang dimana putrinya berdiri. Yoona pun berjalan mendekati ayahnya dengan langkah yang sedikit kaku.

“Beri salam pada keluarga Lee.” Yoona pun membungkukkan badannya sambil memberi salam seperti yang ayahnya suruh.

“Annyeonghaseyo, Im Yoona imnida.” Dan pada saat itulah Yoona melihat jelas seorang pria setengah baya dan wanita anggun yang berdiri di sebelahnya. Yoona menebak umurnya sekitar 45 tahun.Dan seorang laki-laki yang berdiri tepat di depannya. Laki-laki yang akan menjadi calon suaminya. Tatapan mereka bertemu, dan pada saat itulah semuanya seakan terputar kembali seperti sebuah rekaman cepat yang melintas di mata Yoona. Yoona meremas kedua tangannya dan bernafas menjadi satu-satunya hal yang sulit dilakukan sekarang.

“Putrimu sungguh cantik. Dia sangat mirip dengan ibunya.” Ucap nyonya Lee kagum ketika melihat Yoona yang berdiri dengan anggunnya. Gaun selutut berwarna ungu dengan corak bunga yang berwarna hitam berpadu dengan putih sangat pas melekat di tubuhnya. Rambutnya yang lurus berwarna hitam kecoklatan dibiarkan terurai sampai batas bahunya. Dia sempurna. Itulah penilaian nyonya Lee ketika memandang Yoona dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Yoona tersenyum mendengar pujian dari nyonya Lee. Ini bukan yang pertama kalinya ia mendengar bahwa dirinya sangat mirip dengan ibunya. Bisa dibilang bahwa ia adalah replika dari ibunya. Replika yang sangat mirip.

“Kalau begitu bagaimana kalau kita duduk dan menikmati hidangan makan malamnya?” Ajak tuan Lee. Maka mereka pun mulai menempati kursi yang ditata saling berhadapan. Tentu saja, Donghae dan Yoona memilih duduk di samping kedua orang tua mereka. Tetapi, tempat duduk mereka menghadap satu sama lain. Tidak lama, beberapa pelayan keluar dengan berbagai macam hidangan di tangan mereka.

“Jadi, kita harus mulai darimana?” Ucap tuan Lee mengawali pembicaraan mereka yang terus berlanjut dengan topik yang sama sekali tidak menarik perhatian Donghae maupun Yoona. Bisnis.

Donghae dan Yoona menyantap makan malam mereka dalam diam. Sesekali Yoona melirik ke arah Donghae yang tepat berada di depannya. Dan ketika kedua mata yang menyorotkan kesan dingin itu menatap langsung ke arah kedua matanya, Yoona kembali memfokuskan pandangannya pada makanan di depannya. Tangannya dingin dan kaku sekarang. Ia pun menggenggam sendok dan garpu di tangannya dengan erat. Ingin rasanya ia keluar dari ruangan ini sekarang juga. Ia tidak bisa berada disini.

“Baiklah, saya rasa kita sudah bisa mulai membicarakan mereka berdua.” Pandangan tuan Im, tuan Lee, dan juga nyonya Lee langsung terarah pada kedua calon pasangan di ruangan itu. Yoona yang merasa canggung dengan tatapan mereka hanya bisa memaksakan sebuah senyuman. Sedangkan Donghae, ia hanya menatap ke arah meja dengan tatapan yang kosong.

“Dulu, sewaktu kami berdua masih sama-sama berusaha membangun perusahaan kami masing-masing dari nol, kami membuat sebuah perjanjian.” Tuan Lee menjelaskan awal mula dari perjodohan ini. Ia hanya tidak ingin anaknya maupun calon menantunya nanti salah paham dan berpikir bahwa mereka dinikahkan hanya karena urusan bisnis. Ada satu alasan mengapa dirinya dan ayah Yoona ingin mempersatukan kedua anak mereka. Firasatnya mengatakan bahwa menikahkan anaknya dengan Im Yoona adalah suatu keputusan yang sangat tepat. Ia yakin dengan Im Yoona.

“Perjanjian itu adalah kami akan menikahkan anak-anak kami apabila anakku perempuan dan anaknya laki-laki, atau sebaliknya.” Tuan Im ikut berbicara. “Kami hanya ingin menjadi satu sebagai sebuah keluarga. Dongwan adalah sahabatku. Malah dia sudah kuanggap sebagai saudara kandungku sendiri. Maka dari itu, pemikiran untuk hidup sebagai sebuah keluarga di masa depan muncul secara tiba-tiba.” Tambahnya.

“Tetapi sangat disayangkan ketika aku dan keluargaku harus meninggalkan Korea untuk mengembangkan cabang perusahaan yang ada di Jepang. Sejak saat itu, aku tidak lagi mendengar kabar tentangmu. Terakhir kali aku mendengar kabar darimu adalah ketika Yoon Hee—ah, ma-maafkan aku, Seung Hyun.” Terdengar nada menyesal pada ucapannya tadi.

“Tidak apa-apa. Ya, aku dan keluargaku memutuskan untuk pindah ke Amerika. Rencana awalnya, kami akan menetap di Amerika dan tidak akan kembali ke Korea karena kondisi Yoon Hee sangat lemah pada waktu itu dan ia membutuhkan perawatan yang terbaik untuk kesehatannya. Maka dari itu, aku memutuskan untuk merawatnya di Amerika dengan perawatan medis terbaik disana. Tetapi,Tuhan berkata lain. Aku sudah berusaha yang terbaik—tetapi Tuhan memiliki jalan yang lain.” Terdapat keheningan beberapa saat ketika tuan Im menyelesaikan perkataannya. Tuan Lee menatap haru sahabat di depannya itu. Nyonya Lee menunduk berusaha menutupi kedua matanya yang sudah berlinang dengan air mata. Sedangkan Donghae tidak mengerti dengan perubahan atmosfer di ruangan ini. Ia menatap heran pada tuan Im dan kedua orang tuanya. Lalu, ia melirik ke arah Yoona. Gadis itu tengah memejamkan matanya sambil menundukkan kepalanya. Ada apa dengannya? Pikir Donghae.

“Dan pada saat aku bertemu denganmu di pesta waktu itu, aku diingatkan oleh perjanjian yang pernah kita buat dan aku berhasil diyakinkan dengan hal itu. Maka sejak itu, aku memutuskan untuk kembali ke Korea dan menyerahkan cabang perusahaanku yang ada di Amerika pada mendiang putra sulungku.” Tersirat nada kesedihan di akhir ucapan tuan Im. Yoona yang berada di sampingnya masih menundukkan kepalanya sambil menutup kedua matanya. Dibawahnya, kedua tangannya ia kepal dengan sangat erat. Ia berusaha menahan sesuatu. ‘Tidak. Jangan disini. Aku mohon.’ Batin Yoona. Donghae yang berada di depannya merasa bahwa ada yang ditutupi oleh gadis itu. Ia terus menatap gadis itu. Menatap kedua matanya yang terpejam erat.

“Tapi, kami berdua bisa melalui itu semua. Kami melanjutkan hidup.” Yoona menggigit bibirnya sambil masih menutup kedua matanya. Kedua tangannya mulai bergetar. Ayahnya telah berjanji padanya bahwa tidak akan pernah membicarakan tentang ini di depannya atau ketika dirinya ada di sekitar ayahnya. Ia harus keluar. Ia harus mencari oksigen. Rasanya sama sekali tidak ada oksigen di ruangan ini. Tiba-tiba, Yoona terbatuk yang membuat ayahnya langsung menoleh ke arah putrinya.

“Kau baik-baik saja, sayang?” Terdapat nada panik pada ucapan tuan Im. Tapi sepertinya tuan Lee dan nyonya Lee tidak menyadari itu.Tapi, Donghae menyadarinya. Kedua alis Donghae berkerut menatap gadis di depannya.

“A-aku permisi keluar s-sebentar.” Ucap Yoona sedikit terbata-bata. Ayahnya masih memandang khawatir padanya.

“Yoona—” Sebelum tuan Im menyelesaikan perkataannya, Yoona sudah terlebih dahulu berdiri lalu membungkukkan badanya dan berjalan menuju pintu keluar ruangan itu. Tatapan Donghae terus mengikuti Yoona sampai pada akhirnya sosok itu menghilang dari balik pintu.

“Apa ia sedang sakit?” Tanya nyonya Lee khawatir.

“Mungkin ia kelelahan karena pekerjaannya.” Jawab tuan Im. Nyonya Lee masih merasa khawatir terhadap Yoona. Ia menyenggol Donghae yang berada di sampingnya lalu memberi isyarat dengan menggerakkan kepalanya, menyuruh Donghae untuk menyusul Yoona. Donghae yang melihat itu menaikkan kedua alisnya seakan bertanya ‘mengapa aku harus menyusulnya?’. Nyonya Lee tahu bahwa Donghae akan menolak nya, maka ia segera menggenggam tangan Donghae lalu berkata, “Susul dia. Entah mengapa ibu khawatir.” Donghae melihat heran ke arah ibunya. Khawatir? Terhadap gadis itu? Bukankah ini pertama kalinya mereka bertemu? Ibunya terus membujuk Donghae. Akhirnya, Donghae berdiri dari tempat duduknya dan hendak menyusul Yoona.

“Aku permisi sebentar.” Setelah itu Donghae meninggalkan ruangan yang hanya tersisa tuan Im dan kedua orang tuanya.

*****

Yoona berjalan keluar dari toilet setelah merasa bahwa dirinya lebih baik dari sebelumnya. Ketika ia sedang merapikan rambutnya, langkahnya tiba-tiba terhenti. Laki-laki itu. Ia melihat Donghae yang sedang bersandar pada dinding yang tidak jauh dari toilet. Kedua tangannya ia masukkan kedalam saku celananya. Kelihatannya ia sedang menunggu. Tunggu, apa ia sedang menunggunya? Yoona tampak sedang bertanya-tanya apa yang sedang Donghae lakukan diluar dan bukannya berada di dalam bersama ayah dan kedua orang tuanya, ketika tiba-tiba Donghae menoleh ke arahnya. Yoona belum menyadari bahwa Donghae tengah menatapnya sampai Donghae melangkahkan kakinya dan ia berjalan ke arah Yoona.Yoona mengerjapkan matanya menyadari bahwa Donghae sedang berjalan ke arahnya. Ia tidak bisa bergerak dari tempatnya berdiri, walaupun ia ingin. Belum sempat Yoona beranjak pergi dari tempatnya, Donghae sudah berada tepat di depannya. Yoona melihat wajah datar itu. Wajah yang terlihat tidak asing. Sangat tidak asing malah. Ia sangat mengenalnya. Pertanyaan pertama ketika ia melihat sosok Donghae di depannya tadi ketika ia sampai di hotel ini adalah, kemana saja kau selama ini? Tapi tidak. Sekarang bukanlah waktu yang tepat. Lamunan Yoona buyar ketika Donghae berdehem cukup keras. Yoona mengerjapkan kedua matanya ketika ia sadar bahwa sedari tadi ia sedang menatap lurus pada laki-laki di depannya itu.

“Mengapa kau ada disini? Bukankah seharusnya kau ada di dalam?” Yoona langsung bertanya karena keingintahuannya.

“Aku disuruh oleh ibuku untuk ‘melihat keadaanmu’ nona Im.” Donghae sengaja menekankan kalimat tadi karena ia menganggap bahwa itu konyol.

“Aku baik-baik saja. Kau bisa katakan itu pada ibumu.” Ucap Yoona datar.

“Aneh…mengapa ibuku terlihat sangat khawatir ketika ia melihatmu tiba-tiba keluar dari ruangan tadi. Bahkan ia memaksaku untuk menyusulmu keluar. Bukankah ini pertama kalinya kalian bertemu?” Ucap Donghae dengan sedikit tawa yang terdengar meremehkan.

“Setidaknya ibumu mempunyai rasa peka yang baik. Tidak seperti anaknya.” Yoona menatap sinis pada Donghae. Donghae yang melihat itu memasang wajah seriusnya.

“Apa yang kau tahu dariku, hah? Kau tidak tahu apa-apa tentangku.” Dingin dan sinis. Kata-kata keluar begitu saja dari mulut Donghae. Donghae salah. Ia tahu semuanya tentang Donghae. Yoona tau semuanya. Dan sikapnya yang sekarang, membuat Yoona seakan melupakan kenyataan itu.

“Aku masuk duluan.” Baru beberapa langkah Yoona beranjak pergi dari Donghae, laki-laki itu memanggilnya.

“Kebetulan kita sedang berdua, aku ingin bicara sesuatu denganmu.” Kalimat itu membuat langkah Yoona terhenti. Ia mendesah pelan sebelum akhirnya ia berbalik dan berkata, “Tentu saja. Aku juga ingin bicara denganmu.”

Donghae melangkahkan kakinya mendekat ke arah tempat Yoona berdiri. Sekarang mereka saling berhadapan dengan jarak yang tidak begitu jauh. Keheningan menyelimuti mereka berdua sampai pada akhirnya Donghae memulai pembicaraan.

“Mengapa kau mau melakukan perjodohan ini?” Ucapnya seperti berbisik. Yoona tidak melihat ke arah Donghae. Ia hanya terdiam dengan pandangan yang kosong. Lalu perlahan ia menatap Donghae dan berkata, “Bukankah ayahku dan ayahmu sudah menjelaskan alasannya di dalam tadi?”

“Mereka mempunyai alasan tersendiri. Bagaimana denganmu? Apa alasanmu sehingga kau menyetujui hal konyol seperti ini?” Kedua alis Yoona berkerut mendengar pertanyaan Donghae barusan. Apa alasannya? Apa alasannya sampai-sampai ia menyetujui keinginan ayahnya untuk menikah dengan laki-laki yang sama sekali tidak dikenalnya. Koreksi, sekarang ia tahu betul siapa laki-laki itu. Yoona menelan ludah sebelum menjawab pertanyaan Donghae yang menurutnya sangat sulit untuk dijawab.

“Mungkin sama dengan alasanmu.” Kali ini kedua alis Donghae berkerut. Ia bingung. Sama seperti alasannya? Satu-satunya alasan yang terpikirkan oleh Donghae adalah bisnis. Semua ini karena bisnis. Kedua perusahaan ingin sama-sama diuntungkan maka dari itu perjanjian dan kerjasama pun dibentuk.

“Bisnis. Perusahaanmu dan perusahaanku akan saling menguntungkan apabila perusahaanmu mau berinvestasi di perusahaanku. Itulah alasannya.” Jawab Donghae dengan jujur. Apabila ia mempunyai perasaan terhadap gadis itu, ia mungkin akan merasa bersalah terhadap gadis itu karena ia baru saja berkata bahwa ia ingin menikahi gadis itu atas dasar bisnis keluarga. Keuntungan. Dan pastinya, uang. Tidak ada rasa cinta sama sekali. Tapi, berhubung ia sama sekali tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadap gadis itu, ia dengan santainya mengatakan kejujuran yang seharusnya tidak dikatakannya, tetapi ia tahu bahwa gadis itu juga mengerti. Yoona tersenyum masam setelah mendengar pernyataan Donghae. Tentu saja. Tebakannya benar. Semua hanya karena bisnis. Bayangkan saja, kedua perusahaan terbesar di Korea saling bekerja sama dan sebentar lagi akan bersatu menjadi sebuah perusahaan yang sangat besar. Keluarga mereka akan semakin terpandang dan dihormati oleh banyak orang. Kekayaan mereka akan bertambah. Semua itu sudah terbaca olehnya.

“Itu alasan ayahmu. Apa kau tahu alasanmu sebenarnya apa?” Tiba-tiba tubuh Donghae mematung. Otaknya seakan berhenti selama beberapa detik lalu kembali bekerja ketika ia mencari-cari alasan mengapa ia menyetujui hal yang dianggapnya konyol ini. Alasannya. Ia mencari-cari alasannya. Tapi nihil. Ia tidak mendapatkan sebuah jawaban yang bisa ia lontarkan kepada gadis itu.

“Mungkin saat ini kau masih berpegang pada alasan ayahmu. Tapi, suatu saat nanti, kau akan tahu dan kau akan mendapatkan alasanmu mengapa kau menyetujui keinginan ayahmu.” Yoona berbalik bermaksud untuk kembali ketika tiba-tiba perkataan Donghae menghentikannya. Lagi.

“Aku mempunyai seorang kekasih.” Saat itu seakan-akan pertahanan Yoona mulai ambruk. Ada sesuatu yang ia rasakan dan itu sangat tidak disukainya. Sakit. Hatinya sakit. Yoona tidak menoleh. Ia menunggu Donghae menyelesaikan kata-katanya karena sepertinya laki-laki itu masih belum selesai.

“Dan hubunganku dengannya sudah cukup serius.” Yoona mengerjapkan matanya sebanyak dua kali. Ia merasa napasnya kembali sesak. Ia lalu menutup kedua matanya dan menarik napas secara perlahan berusaha untuk menormalkan pernapasannya.

“Aku pikir jika kita bicara pada orang tua kita bahwa kita sama sekali tidak setuju dengan perjodohan ini, mereka akan mengerti.” Yoona berbalik lalu berjalan kembali ke arah Donghae. Donghae tidak tahu kalau ia sedang berusaha menahan agar dirinya tiba-tiba jatuh karena sekarang kedua kakinya terasa sangat lemas.

“Kau pikir aku tidak mempunyai kehidupan sepertimu? Aku juga mempunyai seorang kekasih. Dan aku… sangat mencintainya.” Donghae terdiam.Gadis itu berkata dengan suara yang…bergetar? Seperti ada sesuatu yang ditahannya. Ternyata gadis itu juga mempunyai kekasih. Lalu, bukankah semuanya akan menjadi mudah? Mereka hanya tinggal bilang bahwa mereka akan menikahi kekasih mereka masing-masing karena sudah jelas mereka mencintai pasangan mereka saat ini. Tapi, mengapa ada sebuah perasaan kecil yang muncul tepat ketika ia mengatakan itu? Perasaan tidak terima. Ya, itu dia.

Sebelum diantara mereka ada yang membantah ataupun berpendapat, mereka berdua menoleh ketika sebuah suara memanggil mereka.

“Kalian sedang apa?” Tanya tuan Im.

“Kami menunggu kalian daritadi tapi kalian tidak kunjung kembali. Kami khawatir jadi kami memutuskan untuk keluar.” Sahut nyonya Lee. Baik Donghae maupun Yoona masih tetap diam. Tidak ada diantara mereka yang menjawab pertanyaan orang tua mereka.

“Aku lihat kalian sudah berbicara dengan satu sama lain.” Tuan Lee, nyonya Lee, dan tuan Im berjalan menuju kedua anak mereka.

“Apa kalian sedang mencoba mengenal satu sama lain?”

“Bisa dibilang begitu, paman.” Ucap Yoona sambil tersenyum. Sedangkan Donghae hanya menatapnya dari samping.

“Kalian harus lebih sering mengobrol dengan satu sama lain supaya kalian lebih akrab.” Ucap nyonya Lee.

“Iya, bibi.” Nyonya Lee memberikan senyuman hangat pada Yoona.

“Kalau begitu, sebaiknya kita pulang.” Sahut tuan Im tiba-tiba. Yoona memandang heran ayahnya.

“Mengapa sudah mau pulang? Memangnya urusannya sudah selesai?”

“Nyonya Lee yang meminta kami untuk membicarakan hal ini di lain hari. Ayah lihat kau sedang tidak enak badan.”

“Iya. Bibi juga lihat kalau wajahmu pucat. Kau pasti kelelahan setelah seharian bekerja?” Yoona hanya membalas dengan senyuman kikuk.

“Kau butuh istirahat, Yoona.” Yoona tersenyum ketika mendengar perkataan nyonya Lee. Apa semua ibu seperti ini? Mereka mempunyai naluri yang sangat kuat, berbeda dengan para ayah.

“Baiklah, aku pasti akan mengabarimu lagi untuk membicarakan tentang pernikahan ini.” Ucap tuan Im pada tuan Lee.

“Sampai jumpa lagi kalau begitu. Istirahat yang cukup, Yoona.” Yoona sekali lagi tersenyum. Bahkan sebelum semuanya disepakati olehnya, mereka sudah sangat perhatian padanya.

“Terima kasih sekali lagi paman dan bibi Lee. Aku minta maaf karena telah merusak malam ini.” Yoona membungkukkan badannya di depan kedua orang tua Donghae.

“Tidak. Kau sama sekali tidak, Yoona.” Nyonya Lee mengelus lengan Yoona. Sentuhan seorang ibu. Ia merindukannya. Sangat merindukannya.

Tidak lama, kedua keluarga itu pun berpisah. Selama perjalanan, kata-kata Yoona tidak pernah pergi dari pikiran Donghae.

“Mungkin saat ini kau masih berpegang pada alasan ayahmu. Tapi, suatu saat nanti, kau akan tahu dan kau akan mendapatkan alasanmu mengapa kau menyetujui keinginan ayahmu.”

*****

“Hahh.” Donghae mendesah keras ketika merasa beberapa pekerjaan telah selesai dikerjakannya. Tiba-tiba ia melirik ke arah ponselnya yang bergetar lalu meraih benda kecil berwarna hitam itu.

“Oh, ada apa?”

“Sekarang? Di tempat biasa?” Donghae sempat melirik ke arah jam yang melingkar di tangannya.

“Baiklah, aku segera kesana.”

Sebuah bar yang terletak di tengah kota Gangnam menjadi tujuan Lee Donghae setelah mendapat telepon dari sahabatnya yang menyuruhnya untuk datang. Tanpa berpikir panjang, Donghae segera menerima ajakan sahabatnya dan langsung meninggalkan kantor menuju bar yang sudah menjadi tempat untuk meluangkan waktu bersama teman-temannya itu, atau hanya sekedar menenangkan diri.

“Ah, Donghae! Kau datang!” Heechul, pria berperawakan tinggi itu menyambut kedatangan Donghae dengan memberinya pelukan.

“Hi, Donghae.” Sapa wanita yang mengenakan baju bermodel crop tee putih dan rok mini hitam ketat dari balik meja bar.

“Hi, Yuri.”

“Tadi Jessica mengirim pesan padaku. Katanya ia mencoba menelponmu tadi tapi kau tidak mengangkat telponnya jadi ia menitip pesan kalau ia tiba-tiba mendapat tugas mendadak dari atasannya untuk mengulas tentang sebuah artikel penting jadi ia tidak bisa menemuimu.”

“Ya, aku sudah menelponnya tadi.” Jawab Donghae lesu. Ya, ia sempat mengajak kekasihnya untuk bertemu tapi ia tidak juga mendapat balasan dari Jessica. Donghae sempat kesal karenanya. Tetapi sepertinya, ketika Jessica bermaksud untuk mengabarinya, ia sedang sibuk dengan pekerjaannya sehingga ia tidak mengecek handphonenya.

“Baiklah. Kau mau pesan apa?”

“I’ll have the usuall.”

“Mukamu kusut sekali, man.”

“Aku stress.” Donghae langsung menjatuhkan dirinya pada kursi di belakangnya setelah memesan sebuah minuman.

“Ah, biar aku tebak! Masalah perjodohan itu?” Donghae hanya menutup kedua matanya, sama sekali tidak tertarik untuk membicarakan satu hal yang paling dibencinya itu.

“Ngomong-ngomong, kau belum pernah menceritakan tentang calon istrimu itu. Siapa namanya? Apa dia cantik? Apa dia seorang pewaris perusahaan keluarga sama sepertimu?” Donghae melirik sebentar ke arah Heechul dengan tatapan yang menunjukkan bahwa ia kesal. Heechul yang mengerti tatapan sahabatnya itu hanya bisa terkekeh lalu meminum minuman yang ada di depannya.

“Aneh. Sepertinya aku pernah melihatnya sebelumnya. Wajahnya sangat tidak asing.”

“Oh ya? Apa memang kau pernah bertemu dengannya sebelumnya?”

“Entahlah. Aku tidak yakin.”

“Siapa namanya?” Tanya Heechul yang lalu menyesap minumannya.

“Im Yoona.” Blurrr! Minuman yang sedang diteguk oleh Heechul seketika keluar dari mulutnya. Donghae sempat kaget karena sahabatnya tiba-tiba menyemburkan minumannya dan dirinya sedikit terkena semburannya.

“YAH!” Teriak Donghae kesal.

“Im-Im Y-Yoona ka-katamu?” Donghae aneh pada sahabatnya yang terlihat sangat terkejut ketika ia menyebutkan nama gadis itu. Dan sepertinya sahabatnya itu mengenal gadis itu.

“Kau mendengarku tadi. Memangnya kenapa? Kau mengenalnya?”

“Mengenalnya?! HAHAHA! Aku rasa semua orang tahu betul siapa calon istrimu itu. Ani, bahkan seluruh dunia tahu siapa dia.” Donghae mengerutkan dahinya ketika mendengar perkataan sahabatnya itu. Seluruh dunia tahu siapa Im Yoona? Sepertinya memang betul ia pernah melihat wajahnya kalau memang Im Yoona adalah seseorang yang terkenal. Siapa sebenarnya Im Yoona? Rasa penasaran Lee Donghae memuncak. Ia harus tahu dimana ia pernah melihat wajah gadis itu.

“Apa maksudmu seluruh dunia mengenalnya?” Sebelum pertanyaannya sempat terjawab oleh Heechul, Yuri datang membawa minuman yang dipesan oleh Donghae.

“Ini minumanmu.”

“Aku akan membuktikannya. Yuri-ah,” Yuri akan pergi ketika Heechul tiba-tiba memanggilnya.

“Ada apa?”

“Apa kau mengenal Im Yoona?” Kedua mata Yuri seketika berbinar. Donghae yang melihat perubahan wajah Yuri menjadi semakin penasaran. Siapa sebenarnya Im Yoona?!

“Tentu saja! Ia adalah seorang dewi! Aku selalu ingin menjadi seperti dirinya!” Heechul menganggukan kepala sambil tersenyum lebar lalu beralih kepada Donghae yang tengah diam kebingungan.

“Kau mengenalnya?” Tanya Donghae pada Yuri.

“Mengenalnya? Aku mengaguminya, Hae!” Donghae semakin bingung. Kerutan di dahinya semakin dalam.

“Lihat, kan? Apa kubilang.” Ucap Heechul enteng. Yuri menjadi bingung karena dirinya tiba-tiba masuk ke dalam pembicaraan kedua lelaki itu.

“Tunggu, kenapa tiba-tiba kau bertanya tentangnya?”

“Im Yoona adalah calon istri sahabatmu ini, Yul.” Seketika kedua mata Yuri melebar dan mulutnya terbuka selebar mungkin.

“A-APA?!” Ucap Yuri, tidak bahkan ia terdengar seperti berteriak karena suasana bar yang tidak terlalu ramai.

“Apa diantara kalian tidak akan ada yang menjelaskannya padaku mengapa kalian bereaksi seperti tadi?!” Nada suara Donghae meninggi karena sedari tadi ia tidak mengerti dengan reaksi para sahabatnya yang menurutnya berlebihan.

“Donghae-ah, kau benar-benar tidak tahu siapa itu Im Yoona?” Heechul merangkul pundak Donghae yang hanya mendapat balasan lirikan tajam dari Donghae.

“Ah! Aku baru saja membeli majalah HIGH CUT minggu ini dan terdapat ulasan mengenai Im Yoona. Sebentar, akan kuambil.” Yuri segera berjalan meninggalkan kedua lelaki itu untuk mengambil majalah dari tasnya.Tidak lama ia kembali dan menaruh majalah itu tepat di depan Donghae. Kening Donghae mengerut ketika ia melihat sosok gadis cantik dengan rambut coklat kepirangan dan gaun berwarna pink muda yang melekat sempurna di badannya di sampul depan majalah itu. Ia tahu gadis itu. Im Yoona. Ya, itu Im Yoona. Calon istrinya.

“Sekarang kau tahu dimana pernah melihatnya sebelumnya? Calon istrimu itu adalah seorang model terkenal. Model kelas dunia. Seluruh designer terkenal di Korea maupun di luar Korea telah mengakui kecantikannya. Mereka semua menyukainya.” Donghae tidak merespon Heechul. Ia masih terfokus pada foto gadis itu. Aneh, ia yakin tidak pernah melihat gadis itu di cover sebuah majalah atau iklan manapun. Ia tidak tahu sebelumnya kalau Im Yoona adalah seorang model terkenal. Bahkan ia merasa kalau ia sudah mengenal lama wajah gadis itu. Bukan melalui majalah atau apapun.

“Aku tidak tahu kalau ia seorang model terkenal. Aku pernah melihatnya sebelumnya, tapi aku yakin bukan karena ia seorang model terkenal.” Heechul mengerutkan keningnya mendengar perkataan Donghae tapi ia segera berucap lagi.

“Ia sangat cantik, bukan? Lihat, keningnya yang indah, kedua matanya yang lebar, badannya yang ehem—seksi, bokongnya yang uhhh…membuatmu ingin meremasnya—” Heechul mempraktekan ucapannya barusan dengan gerakan tangan yang langsung mendapat lirikan tajam dari Donghae. Entah kenapa, telinga Donghae panas mendengar Heechul menggambarkan sosok Yoona yang seksi di matanya. Ia merasa kesal ketika Yunho membayangkan tengah meremas kedua—kau tahu sendiri apa.

“Hentikan.”

“Ah, maaf Donghae. Aku lupa kalau Yoona adalah calon istrimu.”

“Mengapa kau bisa dijodohkan dengannya, Hae?” Tanya Yuri yang terlihat masih cukup kaget.

“Kau beruntung, man!”

“Aku masih punya Jessica.” Dan kedua sahabatnya itu segera sadar lalu mengangguk-anggukan kepala mereka.

*****

Donghae mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Jalanan kota Seoul mulai sepi. Dirinya sudah mulai merasakan kantuk yang amat sangat. Ia lelah. Pedal rem tiba-tiba ia injak ketika lampu lalu lintas menunjukkan lampu berwarna merah. Sembari menunggu lampu berubah menjadi hijau, Donghae menyenderkan kepalanya lalu menutup kedua matanya sejenak. Matanya terasa sakit ketika ia menutupnya. Apakah ia selelah itu? Memang, ia akui bahwa pekerjaan kantor telah menguras habis tenaganya. Baik fisik maupun mental. Tapi, apa yang membuat hatinya juga merasa lelah?

Ketika Donghae mengedarkan pandangannya ke luar mobil, ia mendapati sebuah mini market di pinggir jalan. Tiba-tiba ingatannya mengenai sesuatu kembali terulang.

Tumben sekali kau menjemputku. Ada apa denganmu?” Tanya Yoona yang duduk tepat di samping kursi pengemudi, yaitu Donghae. Sedangkan orang yang ia ajak bicara tak kunjung menjawabnya.

“Yah, Lee Donghae, apa kau tuli? Apa setiap bicara denganmu aku harus teriak?”

“Memangnya harus ada alasannya seorang laki-laki menjemput tunangannya sendiri?” Akhirnya Donghae menjawab tanpa melepas pandangannya dari jalanan kota Seoul. Tetapi, ia mendengar Yoona yang tertawa kecil disampingnya.

“Ayolah, itu konyol sekali. Aku yakin itu bukan alasanmu yang sebenarnya. Apa ayahmu yang menyuruhmu menjemputku? Atau ibumu?” Donghae terdiam cukup lama. Yoona sudah terbiasa dengan sikapnya, jadi ia tidak berharap Donghae menjawab pertanyaannya. Kalaupun menjawab, pasti jawaban yang tidak masuk di akal. Yoona menyerah lalu memilih untuk memandangi keadaan jalanan.

“Ayah dan ibu mengajakmu makan malam di rumah. Aku sudah bilang bahwa aku tidak bisa. Banyak pekerjaan yang harus aku selesaikan di kantor. Tapi, ibu tetap memaksa. Aku tidak punya pilihan lain.”

Yoona menoleh ke arah Donghae. Tentu saja. Orang tuanya. Tidak mungkin dirinya berinisiatif menjemputnya ke lokasi pemotretannya tadi sampai rela meninggalkan pekerjaan di kantor.

“Ah, kebetulan sekali. Aku belum sempat makan daritadi.” Sahut Yoona. Donghae yang mendengarnya sontak menolehkan kepalanya ke arah gadis itu.

“Belum makan daritadi? Daritadi kapan maksudmu?”

“Daritadi siang. Hm, tidak—aku rasa aku juga melewatkan sarapan tadi pagi.” Jawab Yoona dengan santai. Sedangkan Donghae masih menatapnya kaget.

“Jadi, kau belum makan apa-apa sejak tadi pagi? Sedangkan jadwalmu begitu padat hari ini.” Tanya Donghae. Alis Yoona seketika berkerut mendengar Donghae berkata seperti itu. Entahlah, ia menangkap sedikit kekhawatiran dalam nada bicaranya.

“Aku tidak sempat sarapan tadi pagi karena aku telah terlambat untuk datang ke lokasi syuting sebuah iklan. Lalu setelah selesai, aku segera pergi ke lokasi pemotretan sebuah majalah dan aku tidak boleh telat. Pemotretan berjalan cukup lama. Maka dari itu aku tidak sempat makan. Aku hanya makan roti yang dibawakan oleh salah satu staf disana.” Ucap Yoona panjang lebar menjelaskan secara detail kegiatannya hari ini.

“Bagaimana bisa kau bekerja dengan perut kosong? Itu tidak baik. Kau tahu itu.” Ucap Donghae yang membuat alis Yoona kini terangkat. Kemudian sebuah senyuman terukir di bibir Yoona.

“Tunggu, bagaimana kau tahu kalau hari ini jadwalku padat?” Tanya Yoona heran.

“Kapan aku bicara seperti itu?” Tanya Donghae balik.

“Tadi. Baru saja.”

“Kapan?”

“Tadi baru sa—kau tahu? Lupakan saja.” Yoona kembali melemparkan pandangannya pada jalanan Seoul. Mukanya terlihat kesal. Siapa lagi kalau bukan Lee Donghae penyebabnya.

“Sekali lagi aku bilang padamu kalau sarapan itu sangat penting. Kau jangan menganggap dirimu sebagai wonder woman. Kau tetap butuh makan, kau tahu itu?” Yoona dengan polosnya tersenyum.

“Hmm, jadi apakah bisa aku simpulkan disini kalau kau khawatir terhadapku, Lee Donghae?”

“Apa? Mengkhawatirkanmu? Cih, aku masih waras.” Ucap Donghae menimpali perkataan Yoona acuh tak acuh. Yoona mengerucutkan bibirnya lalu memilih untuk tidak berdebat dengan Donghae yang dimana ia tahu pasti tidak ada akhirnya. Dan juga karena ia merasa kepalanya pusing sejak tadi. Mungkin ini akibat dirinya yang tidak makan seharian.

Ketika mobil berhenti karena lampu merah, Yoona mendapati sebuah mini market di pinggir jalan. Lalu tiba-tiba lidahnya menginginkan sesuatu yang manis. Ia ingin es krim. Yoona menoleh ke arah Donghae lalu menatapnya. Hanya menatapnya, sampai pada akhirnya Donghae menoleh dengan wajah yang datar.

“Berhenti menatapku. Itu sangat mengganggu.”

“Aku ingin es krim. Tolong belikan.”

“Apa? Es krim?” Yoona hanya mengangguk mengiyakan Donghae.

“Tidak. Aku tidak akan membelikannya.”

“YAH, Lee Donghae!”

“Perutmu belum diisi makanan apapun dan sekarang kau malah ingin es krim?”

“Aku benar-benar ingin es krim. Lihat mini market di sebrang sana? Belikan aku satu.” Yoona mencoba membujuk Donghae tapi Donghae tetap tidak mau membelikannya sehingga Yoona merasa kesal dengannya.Yoona mendesah dengan kasar. Ia lalu melihat lampu yang masih berwarna merah. Sebuah ide terbesit di otaknya.

“Baiklah kalau kau tidak ingin membelikannya. Aku bisa membelinya sendiri.” Tiba-tiba Yoona membuka pintu mobil dan melangkah keluar tanpa mempedulikan Donghae yang meneriakinya untuk kembali ke dalam mobil.

“Im Yoona! Kembali kesini!”

Yoona akhirnya berhasil sampai di mini market itu. Dirinya sedang sibuk mencari-cari rasa es krim yang diinginkannya sekarang. Ia kemudian mengambil dua es krim dengan rasa yang berbeda. Yang satu rasa vanilla yang dimana rasa kesukaannya, dan yang satu lagi rasa cokelat. Yoona tidak tahu rasa favorit Donghae apa, jadi ia memilih rasa coklat yang ia pikir akan disukai banyak orang walaupun mereka tidak menyukai es krim. Setelah membayarnya Yoona bergegas keluar dan terkaget ketika menemukan mobil Donghae sudah ada di depan mini market. Ah, ternyata lampu sudah berganti menjadi hijau. Yoona berlari kecil menuju mobil Donghae. Ketika ia sudah masuk ke dalam mobil, ia menoleh ke arah Donghae. Wajahnya seketika berubah. Ia melihat Donghae yang diam menatap lurus ke depan dan rahangnya mengeras. Ia marah.

“Lee Donghae?” Donghae tidak menoleh sedikitpun. Ia justru menyalakan mesin mobil lalu mobil pun berjalan dengan kecepatan cukup tinggi. Tubuh Yoona sempat terhempas ke belakang karena dirinya belum sempat memakai sabuk pengaman. Yoona menggigit bibir bawahnya lalu menoleh ke arah Donghae dengan kesal.

“Kau gila?!” Donghae tidak menggubris sama sekali perkataan Yoona. Ia hanya fokus ke jalanan di depannya. Yoona menghembuskan napas kasar karena Donghae tak kunjung meresponnya.

“Baiklah, aku minta maaf. Tidak seharusnya aku melakukan itu.” Yoona melirik ke arah Donghae, melihat apa reaksi Donghae ketika ia sudah mengucapkan kata maaf. Dan…tidak ada reaksi apapun.

“Lee Donghae, kau benar-benar marah? Jawab aku.” Yoona akhirnya mendesah pelan lalu membalikkan tubuhnya kembali. Ia memutuskan untuk tidak memaksa Donghae. Yoona langsung membuka bungkus es krim yang ada di tangannya. Ia pun segera melahap es krim itu.

“Mmm! Enak! Hey, aku membelikan satu untukmu. Aku tidak tahu rasa favoritmu apa, jadi aku belikan coklat. Ini.” Yoona menyodorkan es krim yang ia beli tadi untuk Donghae.

“Tidakkah kau lihat aku sedang menyetir?” Yoona mengerucutkan bibirnya lalu menarik kembali es krim itu. Mereka berdua akhirnya terlarut dalam pikiran mereka masing-masing. Keheningan sekarang berbeda dari keheningan sebelumnya. Suasananya sangat…canggung. Mereka terbiasa saling berdebat satu sama lain. Tetapi sekarang, sangat berbeda. Tiba-tiba, suara Donghae memecah keheningan dan membuat Yoona menoleh ke arahnya lalu wajahnya perlahan menampakkan sebuah senyuman. Sebuah senyuman yang sama seperti senyuman sebelumnya ketika ia mengkhawatirkan dirinya.

“Jangan coba-coba berbuat seperti tadi lagi. Paham?”

Dan pada malam itu, Yoona menikmati makan malam bersama keluarga Lee. Yoona merindukan masa-masa seperti ini. Tertawa dan saling melempar candaan pada satu sama lain.Yoona benar-benar merasa bahwa ia telah mendapatkan kembali bagian dari dirinya yang hilang. Keluarga. Dan malam itu dirinya diantar pulang oleh Donghae. Karena desakan ibu Donghae tentu saja. Tanpa dirinya sadari, ia tertidur selama perjalanan dari rumah Donghae sampai sekarang mereka sudah berada di depan apartemen tempat Yoona tinggal. Yoona mengucapkan selamat tinggal pada Donghae, lalu ia segera memasuki gedung apartemennya karena ia sangat lelah. Sebelum mobil Donghae meninggalkan gedung apartemen Yoona, ia mengambil sebuah bungkusan yang berada di dalam mobilnya. Ketika ia mengambil sesuatu di dalamnya, ternyata itu adalah es krim yang tadi Yoona beli untuknya. Es krim itu sudah mencair. Disana tertulis, coklat. Donghae tersenyum melihat rasa yang dipilih Yoona untuknya. Rasa coklat adalah rasa kesukaannya. Donghae mengamati gedung apartemen Yoona sejenak sebelum akhirnya menjalankan mobilnya dan meninggalkan tempat itu.

Donghae tersenyum miris. Setelah lampu berubah menjadi warna hijau, Donghae menepikan mobilnya lalu ia turun dari mobilnya. Ia langkahkan kakinya memasuki mini market itu. Donghae mencoba mencari es krim yang waktu itu belum sempat ia coba. Es krim yang dibeli Yoona untuknya. Setelah mendapatkan apa yang dicari, Donghae segera meninggalkan mini market itu lalu menjalankan mobilnya yang kembali membelah jalanan Seoul. Donghae sempat melepas kemudinya untuk membuka bungkus es krim dalam genggamannya itu. Setelah terbuka, ia langsung melahap es krim itu.

“Kau benar, rasanya sangat enak.” Ucap Donghae dengan sebuah senyuman samar.

*****

“Selamat pagi, direktur Lee.” Sapa salah seorang karyawan yang berpapasan dengan Donghae. Donghae hanya membalasnya dengan anggukan singkat. Ia segera memasuki lift gedung kantor yang akan membawanya langsung menuju lantai tempat ruang kerjanya berada.

Baru saja Donghae menjatuhkan tubuhnya pada kursi kebesarannya itu, seseorang mengetuk pintu ruangannya. Ternyata itu Shin Se Kyung, sekretaris Donghae. Ia membungkukkan badannya setelah Donghae menyuruhnya untuk masuk.

“Permisi, direktur Lee. Saya hanya mau mengingatkan jadwal anda hari ini.”

“Silahkan.” Shin Se Kyung mulai membacakan rentetan jadwal kerja Donghae.

“Pukul 10 nanti anda harus menghadiri rapat bersama tim kerja yang bertanggung jawab mengenai properti hotel Sapphire, pukul 12 siang anda mempunyai janji bersama klien yang akan membahas mengenai rencana pembangunan resort di Jeju, lalu mengenai pembangunan gedung seni…” Shin Se Kyung terus berbicara mengenai jadwal Donghae yang memang sangat padat. Sedangkan Donghae, ia hanya menutup kedua matanya sambil tangan kanannya menopang kepalanya pada lengan kursi kerjanya. Seakan-akan omongan Shin Se Kyung hanya sebuah angin lalu yang masuk melalui telinga kirinya—tetapi tidak di serap oleh otaknya—lalu dengan segera keluar melalui telinga kanannya.

“Itulah jadwal anda hari ini, direktur. Kalau begitu saya permisi, saya akan mempersiapkan bahan untuk meeting nanti.” Donghae kemudian mengangguk ke arah sekretarisnya itu lalu dengan segera Shin Se Kyung meninggalkan ruangan Donghae.

*****

“What a nice concept you have here, mr. Lee Donghae.” Ucap salah satu klien Donghae yang memang berasal dari Australia itu. Ia bermaksud untuk membangun sebuah resort di Jeju karena ia sangat menyukai keindahan Korea terutama Jeju. Maka perusahaannya memutuskan untuk bekerja sama dengan perusahaan Donghae yang memang sudah terbukti dari bangunan-bangunan yang sudah diciptakan oleh SUNHWA GROUP yang hasilnya dikenal oleh dunia.

“Thank you. I’m so glad that you like the concept. We’ll do our best for this project.”

“What else can be expected from the best? I’m sure it will be a masterpiece!” Donghae hanya tertawa ringan menanggapi omongan kliennya itu. Sebenarnya, dirinya hanya ingin pertemuan ini segera berakhir dan ia akan melarikan diri sejenak sebelum kembali lagi bekerja.

“What a nice pleasure to meet you and to discuss about our project together.”

“No, the pleasure is on me. Thank you for choosing our company as a partner in this project.”

“Well, what can I say, you must choose the best if you want to bring out something extraordinary so the world can see it.” Donghae tersenyum atas perkataan kliennya.

“I wish I could stay here and discuss more about this project, but I have another appointment that I have to attend.”

“No,no, no. It’s okay, I understand that you must be busy and stuff. We’ll discuss this some other time.”

“Thank you for your understanding. Now, would you excuse me?”

“Yeah, sure. Have a nice day, mr. Lee Donghae.”

Donghae pun segera meninggalkan restoran mewah itu. Ia sengaja tidak menyuruh sekretarisnya untuk ikut ke pertemuan ini walaupun sekretarisnya sempat memaksa untuk ikut, karena walau bagaimanapun seorang direktur harus didampingi oleh sekretaris pribadinya bukan?

Donghae mulai menjalankan mesin mobilnya lalu meluncur membelah jalanan gangnam. Belum sempat Donghae menarik napasnya, telepon genggamnya bergetar menandakan ada panggilan masuk. Donghae kemudian memasang headset kecil yang terhubung melalui bluetooth dengan telepon genggamnya itu.

“Ya, ada apa?” Ternyata sekretarisnya yang menelponnya. Donghae mendesah pelan sambil kemudian menutup kedua matanya. Alisnya berkerut mendengar sekretarisnya yang kembali mengoceh mengenai serentetan jadwal pertemuan dan sebagainya yang harus Donghae datangi dan selesaikan. Jadwal-jadwal itu membuat kepala Donghae sakit. Tiba-tiba Donghae melepas headset itu lalu melemparnya ke sembarang arah. Sedangkan di sebrang sana, sekretarisnya terus memanggil Donghae.

“Sajangnim? Sajangnim, kau bisa mendengarku?”

Pegangan Donghae pada kemudinya menguat. Ia butuh udara segar. Ia butuh tempat yang jauh dari yang namanya pekerjaan. Tempat yang damai. Dan ia tahu harus pergi kemana.

*****

Mobil itu berhenti di sebuah tepi jalan. Sang pemilik keluar dari mobilnya. Sebuah senyuman terukir di wajahnya ketika sebuah pemandangan sungai yang luas dan tenang di depannya memenuhi kedua matanya. Ia kemudian berjalan menuju tepi sungai itu. Ia memutuskan untuk duduk di rerumputan. Rasanya seperti de javu ketika ia mendudukan dirinya di rerumputan ini. Ia tersenyum ketika angin menerpa wajahnya. Sangat damai. Dan ia benar, tempat ini membuatnya merasa sangat tenang.

“Mengapa kau menyuruhku datang ke sini? Aku kira kau akan mengajakku bertemu di sebuah restoran mewah atau café.” Ucap Donghae ketika dirinya ikut mendudukan dirinya di samping gadis itu. Laki-laki itu segera pergi ketika mendapat pesan dari gadis itu yang berisi, ‘Kau ada waktu? Aku butuh teman bicara.’ Donghae yang baru saja menyelesaikan pekerjan yang sempat tertunda langsung membalas pesan singkat dari gadis itu.

‘Kau dimana?’ Tidak lama gadis itu menjawab.

‘Temui aku di pinggiran sungai han.’ Donghae sempat mengerutkan dahinya. Tapi, tanpa pikir panjang, ia segera meraih jasnya yang ia taruh di kepala kursi kebesarannya itu lalu menyuruh sekretarisnya untuk menggantikannya dalam rapat yang menurutnya tidak terlalu penting. Donghae merasa pesan gadis itu berhasil ia jadikan alasan untuk keluar sejenak dari pekerjaannya. Toh, ia juga butuh seseorang untuk diajaknya bicara.

“Terlalu berisik.” Ucap gadis itu pelan. Tetapi sepertinya tempat ini terlalu sunyi sehingga suaranya dengan mudah terdengar oleh Donghae yang segera menoleh menatap gadis itu dengan wajah bertanya. Merasa di perhatikan, gadis itu menoleh ke arah Donghae.

“Terlalu banyak orang jika kau pergi ke restoran, café atau tempat publik lainnya. Aku tidak nyaman berada di tempat yang ramai dengan orang-orang. Dan bukankah aku hanya ingin bicara berdua denganmu? Aku rasa tempat ini cocok. Lihat, hanya kita berdua yang ada di tempat ini.” Ucap gadis itu panjang lebar.

“Mengapa tidak sekalian kau memilih perpustakaan? Aku yakin kau akan menyukainya. Walaupun ramai orang, setidaknya mereka diam dan fokus pada buku-buku yang sedang mereka baca.” Yoona memutar bola matanya mendengar ucapan Donghae yang bermaksud mengejeknya itu.

“Terserah padamu, Lee Donghae.” Donghae hanya tersenyum kecil melihat Yoona yang tampak kesal karena omongannya.

Seketika keheningan menyelimuti mereka berdua. Hanya ada suara angin yang samar terdengar. Suara burung-burung berkicauan dan suara air mengalir yang berasal dari sungai han di hadapan mereka.

“Aku menyukai tempat ini.” Suara gadis itu berhasil memecah keheningan diantara mereka. Donghae pun kemudian menoleh ke arah Yoona, menunggu gadis itu menyelesaikan ucapannya.

“Tempat ini sangat damai. Terpisah dari hingar bingar kota yang ramai. Tempat ini selalu membuatku tenang.” Yoona menutup kedua matanya, berusaha merasakan angin yang menerpa wajahnya dan membuat rambutnya tertiup ke belakang oleh angin. Donghae melihat itu karena ia masih tetap memandangi Yoona. Dan Donghae melihat senyuman itu. Senyuman yang terukir di wajah Yoona. Walaupun hanya sisi samping Yoona yang ia lihat, tapi senyuman itu terlihat sangat…indah. Ingin rasanya Donghae mencoba apa yang sedang Yoona lakukan sekarang. Ia ingin merasakan apa yang gadis itu rasakan sekarang sampai-sampai sebuah senyuman indah terukir di wajahnya. Pasti gadis itu merasa tenang seperti yang ia katakan padanya tadi. Donghae ingin mencoba “ketenangan” yang Yoona maksud. Tapi, karena rasa gengsi yang dimiliki Donghae sangat tinggi, ia memutuskan untuk tidak melakukan itu di depan Yoona. Tidak lama Donghae kembali membalikkan kepalanya menghadap sungai yang ada di depannya, dan pada saat yang bersamaan Yoona membuka kedua matanya.

“Aku selalu datang kesini ketika aku merasa lelah atau bingung. Dan aku akan melakukan apa yang baru saja aku lakukan tadi. Ternyata itu berhasil. Rasanya seluruh beban di pikiranku terangkat ketika aku memejamkan kedua mataku. Kau harus mencobanya sesekali.” Ucap Yoona yang kemudian menoleh pada Donghae yang masih diam menatap pemandangan di depannya. Merasa tidak mendapat respon, Yoona tersenyum samar lalu kembali menatap pemandangan di depannya. Sama seperti yang Donghae lakukan sekarang.

“Apa yang ingin kau bicarakan?” Donghae bertanya tiba-tiba. Yoona tidak langsung menjawabnya. Ia tampak berpikir.

“Hmm…harus mulai darimana?” Keheningan kembali menyelimuti mereka berdua. Sepertinya mereka senang menikmati semilir angin yang sesekali menerpa wajah mereka.

“Ibuku meninggal ketika aku berumur 17 tahun.” Donghae menolehkan kepalanya ke samping dan menunggu penjelasan Yoona yang tiba-tiba berkata seperti itu.

“Aku tahu kau selalu ingin menanyakan itu, kan?” Yoona tersenyum ke arah Donghae, sedangkan Donghae hanya diam menatap Yoona yang kembali memfokuskan pandangannya ke depan.

“Ia menderita lemah jantung. Ibuku pernah mengatakan kalau itu merupakan pernyakit turunan dari ayahnya yang juga menderita penyakit jantung. Waktu itu, ibuku sama sekali tidak diperbolehkan melakukan aktivitas berat yang akan memicu sakit pada jantungnya. Pada waktu aku tahu tentang keadaan ibuku, aku berumur 12 tahun. Aku sempat tidak bisa menerima itu karena aku terbiasa bermain bersama ibu. Ibu adalah orang terdekatku, berbeda dengan ayah. Hubungan antara aku dan ayah tidak sedekat aku dengan ibuku. Ketika aku menginjak SMA, ayah memutuskan untuk membawa kami ke Amerika. Ia bilang kalau ini hanya untuk sementara waktu karena ibu memerlukan pengobatan yang terbaik yang hanya bisa di dapatkan di Amerika. Ayah sangat mencintai ibu, aku tahu itu. Walaupun ia selalu sibuk dengan pekerjaannya sehingga membuat kami jarang berkumpul bersama, tetapi aku tahu kalau ia melakukan itu semua karena ia ingin membuat kami selalu hidup bahagia dan serba berkelebihan. Ketika kami sudah pindah ke Amerika, ternyata keadaan ibu bukannya semakin membaik. Jantungnya semakin hari semakin lemah. Ibu lebih sering merasakan sakit tiba-tiba pada jantungnya dan ia sering jatuh pingsan. Semua obat-obatan yang diberikan oleh dokter, itu semua hanya untuk mengurangi rasa sakit yang dirasakan oleh ibuku.” Yoona berhenti sejenak. Ia menarik napas dengan pelan sebelum kembali melanjutkan ceritanya. Donghae yang merasa bahwa Yoona hanya diam, kembali menatap Yoona yang saat ini sedang menutup kedua matanya. Donghae tahu bahwa tidaklah mudah baginya menceritakan masa-masa ketika ibunya sakit. Walaupun selama bercerita suara Yoona terdengar biasa saja, tetapi Donghae tahu bahwa Yoona menahan semua itu. Yoona menahan agar suaranya tidak terdengar lirih.

“Pada saat itu aku merasa takut. Pertanyaan-pertanyaan itu selalu aku tujukan untuk diriku sendiri, bagaimana hidupku nanti kalau tiba-tiba ibu pergi meninggalkanku untuk selamanya, apa yang harus aku lakukan, bisakah aku tetap menjalani hidup tanpa ada rasa sedih dan menyesal? Terkadang itu semua membuatku takut. Sampai pada akhirnya—sampai pada akhirnya, ibuku benar-benar meninggalkanku untuk selamanya. Ia meninggalkanku dengan semua janjinya, janji kalau ia akan selalu ada di sampingku, ia akan selalu memelukku sambil mengusap-usap punggungku jika aku sedang sakit, ia akan merencanakan pernikahan yang sulit untuk aku lupakan ketika aku menikah nanti, ia akan selalu ada untukku ketika aku melewati masa kehamilanku, dan ia mengingkari janji untuk melihatku hidup bahagia bersama suamiku nanti…” Dan saat itulah, air mata pertama Yoona menetes. Air pertama yang Donghae lihat keluar dari mata Yoona karena ini merupakan kali pertama dirinya melihat Yoona menangis. Yoona menggigit bibir bawahnya, berusaha untuk menahan agar ia tidak menangis sejadi-jadinya walaupun itu yang sangat ingin ia lakukan. Dan Yoona berhasil. Isakannya berhenti.

“Tapi aku rasa, ia tidak akan mengingkari janjinya yang terakhir.” Sekarang giliran Donghae. Ucapan Donghae sukses membuat Yoona menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Donghae.

“Maksudmu?”

“Ibumu akan melihatmu bahagia…dari sana.” Donghae menengadahkan kepalanya ke atas langit.Yoona mengikuti arah pandang Donghae dan seketika ia tersenyum setelah mengerti maksud Donghae.

“Kau benar, Donghae-ssi.” Keduanya kembali terdiam, sibuk dengan pikiran mereka masing-masing.

“Aku merindukannya, Donghae-ssi. Aku sangat merindukan ibuku.”

Entah keberanian darimana dan dorongan apa yang Donghae dapat, ia meraih tangan Yoona lalu meremasnya dengan lembut.

“Aku tahu.” Ia tersenyum pada Yoona. Dan semua itu memberikan Yoona kekuatan. Entah karena sentuhan Donghae atau apa. Yang pasti ia tahu bahwa ia tidak sendiri. Ia memiliki laki-laki itu. Walaupun bukan sebagai tempatnya bersandar, setidaknya sebagai tempat untuk menumpahkan segala isi hatinya.

“Aku merindukanmu…” Suara Donghae terdengar lirih. Ia mengerutkan dahinya ketika merasa hatinya benar-benar merindukan gadis itu. Ia ingin gadis itu berada di sampingnya, berada di jangkauannya. Tanpa ia sadari, setetes air mata telah jatuh dari kedua matanya. Laki-laki itu menangis.

*****

New York, Amerika Serikat.

Seorang gadis tengah duduk di balkon apartemennya dengan sebuah cangkir berisi susu coklat panas di genggamannya. Asap putih tampak terlihat setiap kali ia menghembuskan napasnya, menunjukkan suhu yang cukup dingin di kota itu. Langit kota New York telah diselimuti oleh awan hitam menandakan hari sudah malam. Tapi, gadis itu terlihat masih menikmati suasana New York pada malam hari. Dari tempatnya duduk sekarang, ia dapat melihat jalanan kota New York yang masih ramai dengan kendaraan, cahaya-cahaya lampu yang berasal dari gedung-gedung tinggi sehingga tampak seperti ratusan bintang. Sangat indah. Ia menyukai pemandangan seperti itu. Mungkin, ia harus menjuluki New York sebagai kota yang tidak pernah tidur. Tiba-tiba lamunannya buyar ketika sebuah suara kembali membawanya pada alam sadarnya.

“There you are.” Seorang gadis berperawakan tinggi, berambut coklat kemerahan yang panjang mendekati tempat gadis itu duduk.

“Aku kira kau sudah tidur sejak kita pulang tadi, Im.” Gadis itu memposisikan dirinya menghadap gadis yang ia panggil dengan sebutan Im itu.

“Aku tidak bisa tidur. Mungkin karena aku terlalu lelah jadi aku sulit untuk tidur.”

“Kau sangat aneh, Im. Orang normal akan langsung tertidur jika mereka kelelahan. Sementara kau?” Yoona tertawa mendengar penuturan sahabatnya itu. Ya, ia tinggal di sebuah apartemen yang cukup besar untuk menampung mereka berdua.

“Apa yang sedang kau pikirkan?” Tanya gadis yang ada di hadapan Yoona. Yoona sempat berpikir sebelum ia menjawab pertanyaan sahabatnya itu.

“Hahh…entahlah, Jamie. Begitu banyak yang sedang aku pikirkan sehingga aku tidak tahu apa yang sebenarnya sedang aku pikirkan.” Yoona berhenti lalu tertawa pelan ketika menyadari kalimatnya barusan membuat dirinya sendiri kebingungan.

“Kau pasti sedang merindukan ayahmu.” Yoona menoleh sejenak lalu menjawab,

“Tentu saja. Aku sangat merindukannya.” Jamie tersenyum lalu ia membuka kembali mulutnya.

“Apa kau merindukannya?” Pertanyaan kedua yang keluar dari mulut Jamie tidak langsung dijawab oleh Yoona. Bahkan Yoona sempat kaget ketika Jamie bertanya seperti itu. Tentu saja, Jamie menyadari perubahan Yoona yang tiba-tiba mematung ketika mendengar pertanyaannya tadi.

“Tidak ada hari yang aku lewati tanpa merindukannya…” Jamie tersenyum mendengar jawaban sahabatnya.

“Lalu, mengapa kau tidak kembali?”

“Aku tidak bisa.” Jawab Yoona lirih.

“Kau selalu bisa, Im.”

“Maksudku, a-aku belum siap bertemu dengannya…dan mungkin aku tidak akan pernah siap. Aku takut dengan reaksinya nanti.” Jamie mengenggam tangan Yoona lalu berkata,

“Cepat atau lambat, kau harus memberitahunya. Aku yakin kau bisa, karena aku mengenalmu. Kau orang yang kuat, Yoona. Jangan sampai kau menyesali ini semua. Jangan sampai suatu hari ketika kau membuka kedua matamu, kau berusaha untuk mengembalikan semuanya tetapi semua itu sudah hilang tanpa kau sadari. Tanpa sempat kau pertahankan. Beritahu dia. Tuhan mempunyai alasan kenapa kau dipertemukan dengannya untuk yang kedua kalinya.” Yoona menoleh menatap wajah sahabatnya itu. Ya, sepertinya tidak ada yang belum Yoona ceritakan tentang dirinya pada sahabatnya itu. Mulai dari ibunya, kematian kakaknya, perjodohan, laki-laki itu, dan sebuah rahasia yang hanya ayahnya, para pelayannya di rumah, dan sahabatnya yang tahu di dunia ini.

“Karena Tuhan ingin kau bahagia, Yoona. Sama sepertiku.” Yoona kemudian tersenyum. Entah untuk yang keberapa kalinya ia bersyukur dan berterima kasih kepada Tuhan karena telah mengirimkan seorang sahabat seperti Jamie. Jamie selalu ada untuknya. Jamie akan berusaha semampunya untuk membantu Yoona walaupun terkadang terdengar mustahil untuknya. Ia selalu percaya bahwa setiap ia merasa sedih dan ingin menangis sampai ia berteriak sekencang-kencangnya, Jamie akan selalu ada. Bahkan Yoona sempat berpikir bagaimana jadinya ia kalau ia tidak mengenal Jamie ketika ia pertama kali bekerja sebagai model di Amerika. Ia beruntung. Sangat beruntung.

“Terima kasih, Jamie.” Jamie tersenyum sambil mengusap-ngusap puncak tangan Yoona.

“Kau tidak boleh berlama-lama disini, Im. Udara sangat dingin. Kau harus segera tidur. Wajahmu terlihat sangat pucat. Apa yang kau rasakan sekarang?” Ucapan-ucapan dan pertanyaan yang diajukan Jamie terdengar seperti ibu yang sangat protektif terhadap anaknya. Bahkan sangat protektif. Yoona yang mendengarnya tidak bisa menahan dirinya untuk tidak tertawa.

“Aku tidak sedang bercanda, Yoona.” Seketika raut wajah Yoona menjadi serius.

“Tenang, Jamie. Aku baik-baik saja.”

‘Ya, aku akan selalu baik-baik saja.’

*****

Suara nyaring terdengar dari benda kecil yang berada di atas meja kecil tepat di samping sebuah tempat tidur yang cukup besar. Tangan itu mencoba meraih benda kecil itu, bermaksud untuk membuatnya diam. Ketika ia berhasil meraih benda kecil itu, kedua matanya terbuka lebar dengan sendirinya.

“Oh, tidak. Tidak, tidak, tidak! Aku telat!” Yoona segera bangun dari tidurnya lalu berlari menuju kamar mandi yang berada di luar kamarnya.

“Good morning, sweetie.” Yoona tidak menghiraukan orang yang baru saja menyapanya. Ia berlari tanpa menoleh sedikitpun pada kedua manusia yang sudah berpakaian rapi dan tengah duduk menikmati sarapan mereka.

“Dia tidak akan pernah berubah.” Kedua manusia itu hanya menggelengkan kepala mereka melihat Yoona yang berlari kesana kemari seperti ada kebakaran atau gempa bumi.

Setelah lebih dari lima belas menit berlalu, Yoona akhirnya bergabung dengan kedua sahabatnya.

“Wah! Sebuah rekor baru untukmu, Im.” Ucap seorang pria berperawakan tinggi dengan rambut yang di cat pirang. Atau mungkin itu warna rambut aslinya? Entahlah, sebab ia sudah mengganti warna rambutnya untuk yang…ya, intinya ia sering mengganti warna rambutnya.

“Maksudmu?”

“Ya biasanya kau membutuhkan kurang lebih satu jam untuk bersiap-siap.” Yoona memutar kedua bola matanya mendengar penuturan sahabatnya itu.

“Ini, makanlah dulu pancake buatan Daniel.” Jamie yang sudah rapi dengan pakaian kerjanya—kemeja putih yang dipadu dengan blazer biru tua dan rok mini berwarna hitam dan sebuah kalung yang melingkar cantik di lehernya—menyodorkan piring berisi pancake kepada Yoona.

“Yoona?” Yoona tidak mendengar Jamie yang memanggilnya dan terus terfokus pada benda kecil di tangannya. Sampai pada akhirnya Yoona mendongak setelah Daniel menyenggol sikunya.

“Apa?”

“Makan dulu sarapanmu. Perutmu tidak boleh kosong ketika kau bekerja.”

“Aku rasa aku harus melewatkan sarapan. Aku sudah sangat telat sekarang. Aku harus pergi.”

“Kau yakin kau tidak mau mencicipi pancake dengan saus apel buatanku, Yoong?”

“Mungkin lain kali, Kyu.” Yoona kemudian beranjak dari tempat duduknya dan langsung berlari kecil sebelum kedua sahabatnya sempat menahannya.

“Dia itu benar-benar!” Jamie kesal ketika Yoona tidak menghiraukan panggilannya.

“Sudahlah, ia pasti akan membeli sesuatu untuk dimakan di perjalanan. Jangan khawatir.”

Yoona pun akhirnya keluar dari flat mereka yang berada di lantai empat. Flat yang sudah ditempatinya kurang lebih satu tahun bersama sahabatnya itu memang tidak terlalu besar. Flat itu hanya terdiri dari dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur yang berhubungan langsung dengan ruang tengah, dan balkon yang memberikan pemandangan indah kota New York. Agensi tempat Yoona bekerja sempat menawarkannya sebuah apartemen mewah di kawasan Manhattan, tapi Yoona menolaknya. Ia benci tinggal sendirian di tempat yang besar. Ia pasti akan mati kesepian. Jadi, ketika ia tiba di New York, ia langsung menelpon sahabatnya—Jamie— yang dengan senang hati menerimanya.

Ketika ia sampai di depan lift, ia sempat ragu untuk memasukinya. Ia melirik sebentar ke arah tangga yang berada tidak jauh dari lift, lalu tidak lama kemudian ia menghembuskan napas pelan dan memutuskan untuk masuk ke dalam lift.

Ketika ia sampai di luar gedung flatnya, ia sedikit merapatkan jaket tebalnya karena cuaca yang cukup dingin menyelimuti kota New York. Musim dingin memang sudah datang selama seminggu. Yoona pun berjalan dengan cepat menuju stasiun.

*****

Setelah dua puluh lima menit perjalanan menggunakan kereta bawah tanah, ditambah sepuluh menit untuk berjalan melewati beberapa blok—karena jalanan yang macet total sehingga ia memutuskan untuk keluar dari taksinya—akhirnya Yoona sampai di lokasi tempat syuting video musik dimana ia adalah model utamanya. Yoona menerima tawaran kerja ini karena ia mengenal sutradaranya. Andrew Choi, salah satu sutradara terkenal di Korea. Walaupun ia sudah menetap di Amerika bersama keluarganya, ia masih tetap aktif di Korea. Dan ia merupakan sahabat dekat kakaknya, Im Yoonjin. Jadi, Yoona memutuskan untuk menerima tawaran kerja ini, karena ketika ia melihat Andrew, ia merasa melihat sosok kakaknya pada pria itu.

“Selamat pagi, saya Im Yoona. Maaf saya telat, jalanan macet sekali.” Yoona menyapa para staf yang sedang berkumpul disana. Para staf hanya bisa senyum-senyum ketika melihat Yoona datang. Sebagian besar staf disana tidak bisa berbahasa lain selain bahasa inggris. Itu bukan masalah bagi Yoona karena ia sudah sangat fasih berbahasa inggris, mengingat pekerjaannya yang seringkali menuntut ia untuk bepergian ke luar negeri.

“Yoona! Kau sudah datang!” Tiba-tiba seorang pria dari arah belakang Yoona memanggilnya. Yoona pun menoleh lalu tersenyum ketika melihat sosok pria yang memanggilnya itu. Andrew Choi dengan penampilannya yang sangat khas. Pria itu hanya menggunakan kaos hitam polos, celana yang pendeknya selutut, serta topi dan kacamata hitam.

Anyeong, oppa.” Sapa Yoona ketika pria itu sudah ada didepannya. Ia sudah menganggap Andrew sebagai kakaknya begitu juga sebaliknya, sehingga ia sudah bebas memanggilnya dengan sebutan oppa. Bahkan, ketika Andrew memeluknya, ia bisa merasakan aura kakaknya dalam diri Andrew.

“Apa kabarmu?”

“Sangat baik. Kau sendiri?”

“Aku juga. Bagaimana kabar paman?”

“Ayah sehat. Ia seringkali menanyakan kabarmu.”

“Aku merindukan paman. Aku sangat ingin bertemu dengannya.”

“Datanglah ke Korea. Bawa istri dan anakmu juga. Oh ya, Seo Jun dan So Eun sudah berapa tahun sekarang? Aku ingin sekali bertemu dengan mereka.”

“Mereka sudah lima tahun. Setiap hari tingkah laku mereka semakin menggemaskan. Aku sangat senang menjadi seorang ayah.” Yoona tersenyum mendengar penuturan Andrew.

“Aku bisa melihatnya.”

Well, karena bintang utama sudah datang, aku rasa kita bisa memulai pengambilan pertama.”

“Baiklah.”

Syuting pun berjalan lancar selama kurang lebih empat jam. Ketika Yoona melirik jam tangannya, waktu sudah menunjukkan pukul satu siang. Ketika ia hendak berdiri, ia merasa kepalanya pusing sehingga ia akhirnya terduduk kembali.

“Kau tidak apa-apa?” Tanya penata rias bernama Jun itu yang datang membawa sebuah cangkir berisikan kopi.

“Aku tidak apa-apa. Mungkin hanya kelelahan.” Yoona tersenyum pada penata riasnya.

“Kau sudah mau pulang?”

“Iya. Untuk hari ini. Besok akan dilanjutkan dengan adegan di dalam ruangan.”

“Oh, baiklah. Hati-hati di jalan, Yoona. Kau masih terlihat cantik, walaupun wajahmu terlihat…pucat? Wajahmu pucat, Yoona. Kau sakit?” Jun mengerutkan dahinya ketika melihat wajah Yoona yang lesu.

“Aku tidak apa-apa. Mungkin aku butuh istirahat sejenak.” Jun masih menatap Yoona khawatir. Tiba-tiba ponsel Yoona berdering dan keduanya menatap pada benda kecil yang terletak di atas meja rias itu. Yoona meraihnya lalu menghembuskan napasnya pelan.

“Ehm, baiklah, aku harus pergi. Aku ada janji dengan temanku. Sampai jumpa besok, Jun. Terima kasih untuk hari ini.”

“Sama-sama, sayang. Hati-hati di jalan!”

*****

Yoona menatap ke sekelilingnya. Ia sudah tiba di Central Park tempat Kyuhyun mengajaknya untuk bertemu. Central Park bukanlah tempat yang kecil, sehingga untuk mencari satu orang tentu tidaklah mudah. Sebuah pesan kembali diterima Yoona. ‘Aku sudah ada di depan INTERSECTION. Kau dimana?’ Yoona mencoba mencari restoran yang dimaksud sahabatnya itu. Ia tau persis bahwa restoran itu sudah dekat dari tempatnya sekarang. Ketika berjalan beberapa langkah, Yoona mendapati sahabatnya—Kyuhyun—sedang berdiri di depan restoran itu. Kyuhyun yang melihat Yoona pun melambaikan tangannya pada Yoona lalu menghampirinya.

“Mengapa kau mendadak sekali mengajak ku bertemu?” Tanya Yoona dengan napasnya yang sedikit terengah.

“Tiba-tiba saja aku ingin bertemu dengan sahabatku ini. Aku merindukanmu, Yoong.” Ucap Kyuhyun yang langsung merangkul Yoona.

“Bukankah kita bertemu tadi pagi di flat-ku?”

“Itu berbeda, Im Yoona. Kau dan aku belum sempat mengobrol berdua. Hanya berdua.”

“Aku juga merindukanmu. Kapan kau sampai di New York? Dan ada urusan apa kau datang kesini? Kau tahu aku sangat terkejut ketika kau tiba-tiba sudah berdiri di depan flat-ku dengan senyummu yang lebar itu. Kau tidak memberitahuku kalau kau akan datang.” Yoona sedikit kesal mengingat kejadian kedatangan sahabatnya yang tidak diundang itu.

“Aku sampai tepat hari itu juga. Aku bermaksud memberimu kejutan. Ketika aku tahu tempat tinggalmu, aku langsung pergi dari bandara menuju tempatmu. Seharusnya, aku memberitahumu, ya? Jadi, kau bisa menjemputku di bandara dan aku tidak perlu bersusah-susah mencari taksi.”

“Ya, seharusnya seperti itu. Tapi, kejutanmu berhasil. Aku benar-benar terkejut karenamu.”

Yes! Akhirnya aku berhasil mengejutkanmu. Ngomong-ngomong, aku kesini karena pekerjaan. Ada sebuah pameran furniture di Soho. Karya-karya dari beberapa artis terkenal akan ada di pameran itu. Berhubung klien-ku adalah seseorang yang sangat spesial dan ia sangat menyukai benda-benda berbau artistik, maka aku memutuskan untuk membeli beberapa karya terkenal dari artis-artis tersebut. Dan aku tahu persis karya siapa yang akan aku ambil untuk klien-ku.” Yoona menganggukan kepalanya sedari tadi mendengar penjelasan Kyuhyun yang masih merangkulnya.

“Jadi…ada apa kau mengajakku bertemu?” Kyuhyun diam sesaat, begitupun Yoona yang menunggu jawaban dari sahabatnya itu.

“Aku hanya ingin berbicara denganmu. Sudah lama rasanya kita tidak pernah mempunyai waktu berdua seperti dulu. Semenjak kau sibuk menjadi model dan bepergian ke luar negeri, dan aku yang mulai disibukkan dengan proyek-proyekku, waktu kita untuk sekedar bercerita, menonton film berdua, dan bersenang-senang sudah sangat jarang. Bahkah hampir tidak pernah! Aku merindukanmu, Yoong.” Yoona berhenti sejenak. Ia mendongak melihat sahabatnya itu. Kyuhyun pun begitu. Ia menunduk lalu tersenyum pada Yoona.

“Hmm…baiklah, tuan Cho. Kita akan melakukan apa yang dulu sering kita lakukan. Ceritalah, aku siap untuk mendengarkan. I’m all yours.” Kyuhyun tersenyum mendengarnya. Inilah Yoona. Satu-satunya pendengar terbaik yang ia kenal.

“Aku rasa, aku yang akan bertanya padamu. Kau keberatan?” Yoona sempat mengerutkan dahinya, tapi kemudian ia tersenyum.

“Tidak. Tentu saja tidak.”

“Hmm..baiklah. Apa kabarmu?” Yoona tertawa kecil mendengar pertanyaan yang keluar dari mulut Kyuhyun yang menurutnya sudah sangat umum untuk ditanyakan.

“Kenapa? Apa pertanyaanku tadi salah? Aku tidak ingat kapan terakhir kali aku bertanya tentang kabarmu, Yoong. Maka jawablah dengan serius.” Wajah Yoona berubah menjadi serius ketika melihat wajah Kyuhyun yang begitu serius. Yoona mendesah pelan sebelum menjawab pertanyaannya.

“Seperti yang kau lihat. Aku baik-baik saja.” Kyuhyun menghentikan langkahnya yang membuat Yoona juga mengikutinya. Ia melihat baik-baik wajah Yoona lalu keningnya tiba-tiba mengerut.

“Hey, wajahmu terlihat pucat. Kau sakit?” Ada nada kekhawatiran pada ucapan Kyuhyun. Yoona yang tidak ingin merusak momen bersama sahabatnya itu memaksakan sebuah senyuman untuk meyakinkan bahwa ia baik-baik saja, yang dimana sebenarnya ia merasakan pusing pada kepalanya sejak ia meninggalkan lokasi syuting.

“Aku hanya kelelahan, itu saja. Kau tidak usah khawatir. Andrew benar-benar membuat kita bekerja semaksimal mungkin tadi.”

“Kau benar tidak apa-apa?” Yoona segera melingkarkan tangannya pada lengan Kyuhyun, meyakinkannya sekali lagi kalau ia baik-baik saja.

“Aku sangat baik. Justru aku membutuhkan ini. Waktu santai bersama sahabatku.” Yoona tersenyum pada Kyuhyun. Kyuhyun pun akhirnya percaya pada Yoona lalu mereka berdua pun kembali berjalan.

“Bagaimana pekerjaanmu sebagai model terkenal? Apa semuanya berjalan dengan lancar? Apa ada masalah?”

“Sampai saat ini, semuanya berjalan dengan baik. Aku berharap akan terus seperti ini ke depannya.” Keduanya kembali diam. Terkadang, diam sangat dibutuhkan ketika kau memiliki banyak hal dalam pikiranmu dan kau tidak tahu apa yang harus kau ungkapkan. Kemudian, sebuah pertanyaan yang terlontar dari mulut Kyuhyun sempat membuat otak Yoona berhenti.

“Apa kau bahagia?” Seakan-akan semua hal yang sedang dipikirkannya hilang dan hanya ada satu kalimat di dalam otaknya, ‘apa kau bahagia?’. Pertanyaan itu…pertanyaan yang seringkali Yoona tanyakan pada dirinya sendiri. Apa ia bahagia? Yoona terdiam selama beberapa detik. Tidak yakin akan memberikan jawaban apa. Ia sendiri ragu tentang dirinya sendiri. Apa dirinya bahagia? Yoona sempat merasa bahagia. Ya, ia sempat memiliki waktu dimana dirinya merasa bahwa segalanya terjadi di waktu dan tempat yang tepat. Dan dengan seseorang yang tepat…itu arti bahagia sesungguhnya, bukan?

“Aku mencoba untuk bahagia. Maksudku, tidak selamanya kan seseorang akan merasa bahagia? Aku sudah melewati beberapa rintangan di dalam hidupku. It has been a roller coaster journey, you know? Tapi, selama proses itu, aku memiliki waktu-waktu dimana aku merasa bahagia. Seperti sekarang, bersama seorang sahabat yang sangat aku sayang.” Kyuhyun menatap Yoona disampingnya. Ia tahu bahwa Yoona adalah sosok yang kuat. Tapi, pada kenyataannya ia tahu bahwa Yoona hanya seorang gadis yang rapuh. Gadis yang akan menangis sendirian ketika orang-orang pergi, gadis yang akan meneteskan air matanya ketika akan pergi tidur, dan gadis yang akan datang kepadanya dan berkata “Aku merasa tidak baik sekarang. Aku ingin menangis. Apa boleh aku menangis?” Ia hanya menutupi semua yang ia rasakan dengan senyuman dan tawanya. Ia tahu persis seperti apa sahabatnya itu.

“Hey, don’t worry. I’m perfectly fine. I managed to handle everything. You know me, Kyu.” Sekali lagi Yoona melihat tatapan di wajah Kyuhyun yang seakan berkata, “Apa benar kau baik-baik saja? Jika kau merasa ingin menangis, menangislah.” Tapi, ini bukanlah waktu yang tepat. Yoona merasa dirinya terlalu lelah untuk menangis, walaupun percayalah, ia sangat ingin mengeluarkan semuanya yang selama ini membuat dadanya sesak. Ia tidak menyukai hal itu.

“I know. I’m not worry, I just—”

“Sudahlah, kita ganti saja topik pembicaraan kita. Bagaimana Seoul? Aku sangat merindukan Korea.” Kyuhyun tersenyum. Ya, inilah Yoona. Ia akan berusaha untuk menghindar dari sesuatu yang menggangunya, membuatnya tidak nyaman, atau sesuatu yang sedang ia tutupi. Kyuhyun pun mengerti dan ia berusaha untuk meyakinkan dirinya bahwa sahabatnya itu baik-baik saja. Dan akan terus seperti itu.

“Korea tidak akan berubah hanya karena ditinggal olehmu selama satu tahun, kau tahu?”

“Eyy, aku tahu itu. Aku hanya ingin tahu bagaimana kabar ayah dan yang lain.”

“Hmm…paman baik-baik saja. Kudengar ia baru berinvestasi untuk proyek yang akan digarap oleh perusahaan tunanganmu itu. Ah, ngomong-ngomong tentang tunanganmu, a.k.a Lee Donghae, ia juga baik. Ya, setidaknya secara fisik dia terlihat baik. Tapi, sepertinya dia sedang tidak baik-baik saja.” Deg. Sekujur tubuh Yoona seakan mengalami lumpuh sesaat. Mungkin itu terdengar berlebihan, tapi Yoona benar-benar mengalaminya. Mendengar nama itu, setelah hampir satu tahun tidak melihat sosoknya, membuat diri Yoona seakan lupa dengan semuanya. Lupa dengan kenyataan bahwa sekarang ia sudah bertunangan dengan Lee Donghae. Kyuhyun yang merasa bahwa Yoona tidak sedang berjalan disampingnya tiba-tiba berhenti. Ketika ia menoleh ke belakang, ia melihat ada perubahan pada wajah Yoona. Raut wajah yang menampakkan kebingungan dan terkejut. Merasa bahwa Yoona sedang menyembunyikan sesuatu, Kyuhyun pun segera menghampiri Yoona.

“Yoona? Ada apa?” Yoona sudah berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia tidak akan menangis. Ia terlalu lelah untuk menangis. Ia benci menangis, karena apabila dirinya sudah mulai menangis, ia merasa bahwa dirinya tidak akan mampu untuk berhenti. Tetapi, detik itu, ketika Kyuhyun menyebut nama yang selama ini selalu ada di pikiran dan hatinya, semuanya kembali pada ingatannya. Walaupun ia sudah berusaha untuk menyingkirkannya, tapi semuanya terasa sangat kuat sehingga Yoona tidak sanggup untuk tidak meneteskan air mata. Dan ketika air mata itu mulai jatuh, ia merasa gagal. Ia gagal melupakan Lee Donghae.

“Kyu…aku merindukannya.”

“Oh, Dear…don’t tell me…”

To be continue

83 thoughts on “Do You Know (Chapter 1)

  1. bener2 penuh misteri hanya aja thor jujur aku ketika baca chapter ini bingung sama alurnya soalnya alur maju mundurnya kurang jelas… cuma ffnya berhasil buat bikin penasaran tentang masa lalunya yoona

  2. FF nya menarik , tapi bingung juga sama alur nya , soalnya alurnya maju mundur dan ga ada tulisan Flashback nya .

    Apa sebener nya Donghae itu lupa ingatan dan lupa kalo dia dulu pernah mencintai Yoona .

    Daripada penasaran mending langsung baca chapter berikut nya aja 🙂

  3. cerita ny unik n menarik,, alur ny blm bisa ketebak.
    Yoona … Apakah Yoona adalah org yg terlupakan scra tak disengaja?? atau bagaimana??
    dan kakak yoona mati knp??
    ahh … kita tunggu saja

  4. Sebenernya rada bingung niih tapi ckp penasaran juga,,cewek yg bantu makein dasi yoona kaan?? Trs itu awal pertemuan mreka tapi knp pas mkn mlm d hotel itu donghae gag inget sm yoona?? Apa sbnernya yg terjadi??.. Dan kook tiba2 donghae punya jessi sbgi kekasihnya,, bingung… Tapi lanjuut aja deeh drpd penasaran
    Itu cc

  5. Agak bingung sama alurnya soalnya ga jelas kapan flashback sama masa skrng(?) trus juga bibgung mksdnya yoong sama donghae udah lama saling kebal sbelum tunangan? Atau gimana? Trus knp tibatiba stelah tunangan yoona ke newyork? Ahh ga tau binging bgt banyak prtanyaan bgt aku di part ini.. Smoga kdepannya makin jelas. Semangat nulisnya authornim;))

  6. Asli loh jadi bingung sendiri pas bacanya. Terus bolak balik scroll tetep aja ga ngeh, ini kurang jelas mana yg masa skrg mana yg flashback. Tp bikin penasaran ceritanya, semoga next chap lebih jelas yah pembagian alurnya

  7. jujur aku ngga paham sama ceritanya, alurnya aku juga bingung, dan itu pandangan dari siapa, tapi kalo pas baca kayanya ceritanya complicated yaa, bikin penasaran tapi juga bingung

  8. Suka ma ȋ̝̊̅̄ήȋ̝̊̅̄ ff.. Menarik bwt lanjutt.. Pnsaran sbnere yoona Ӄε̲̣̣ηɑ̤̈̊Ρ̥ɑ̤̈?? Sakitt?! Trus Ȋ̊†̥̥υ̲̣̥ Kő°˚°ºk yoona kyag Ʊϑa̲̅ђ knal ma donghaeny.. Mrka sma2 prnah ∂ȋ̊ NY .. Ǎ̜̣̍ρ̥̥Ω̶̣̣̥̇̊ mrka ªϑά moment ∂ȋ̊ NY..?? Hadeww bingung.. Niie Y̶̲̥̅̊a̶̲̥̅̊n̶̲̥̅̊g̶̲̥̮̅̊ bkin Ω̶̣̣̥̇̊ќ͡ʊ̤̥̈̇ mo ikuti ȋ̝̊̅̄ήȋ̝̊̅̄ ff.. Pinisirin bingitt.. #Sukses ȋ̝̊̅̄ήȋ̝̊̅̄ Author bikin gue Bertnya2.. Mo lanjutt ahh.. Izinn bca Ɣa̶̲̥̅̊a̶̲̥̅̊ά thorr.. (^.^)

  9. Nemu ff ini ketika sudah sampek chapter 16 , sebenernya uda mau baca dari dulu, tapi nunggu timing yang pas ajaahh wkwk, lagi nganggur eh? Ko jadi curhat sih*plak*.
    aku bakal lanjut baca thor
    success ! ☺☺

  10. 😭😭😭 nggak tau kenapa suka banget sama ff ini😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭😭 semuanya bagus banget. Dan aku baru baca sejarang hhh. Author ditunggu karya lainnya

  11. Finaly thanks kak udah bolehin baca
    Ff favorit yang judulnya keinget terus udah lama banget …
    Walaupun udah pernah baca rasanya kaya baru baca ff ini masih kebawa banget suasananya ….😍
    Nice banget😘😘😘

Komentarmu?