Haru, One Day (Oneshoot)

FF Poster Haru, One Day

Author              :           LeeHaena

Title                   :            Haru, One Day

Length               :           One Shoot

Cast                   :            Im Yoona

Lee Donghae

Jeno

Other Cast        :            Lee Seunggi

Genre                :            Romance, MarriageLife

Author Note     :            I am not doing plagiarism. Hanya judulnya aja di adaptasi dari brand-nya Donghae. Copy with full credit and no editing in after, just in case. Love from Lee HaenaJ

Synopsis : Kata siapa menikah adalah happily ever after without any problem in their life? Dan kata siapa menjalani peran orang tua sekaligus pekerja kantoran akan bisa tenang-tenang saja? Ini lebih rumit dari yang Donghae bayangkan… Apa lagi yang lebih menyedihkan daripada dilupakan?

oOo

Jam sudah menunjukkan pukul 10 malam dan pria itu masih berkutik dengan laptop serta beberapa berkas tebal sebagai temannya. Letih sudah pasti ia rasakan, sepi pun juga. Ditambah lagi di lantai tempat ia bekerja, kebanyakan sumber cahaya sudah dimatikan membuatnya ingin pulang seperti rekan kerjanya yang lain. Apa daya tanggung jawab seorang komisaris direktur yang diembannya jauh lebih besar daripada jabatan yang di duduki oleh pegawai yang malam ini mungkin sudah berbaring di tempat tidur.

Suara handphone tanda panggilan masuk menghentikan kegiatan mengetiknya sesaat,

“Ne?”

‘Yeobbseyo, Oppa. Kau masih di kantor?’

“Eum, sebentar lagi aku akan pulang… Kau tidur duluan saja,”

‘I tried but I can’t,’

“Don’t make me feel guilt on you, my dear…”

‘Not because of you… but him,’ tawa menyelingi perbincangan telefon itu.

“Aku akan pulang as soon as possible,”

‘Hati-hati, Oppa. Ku tutup ya, anyyeong~’

“Ne,”

Donghae menghembuskan nafasnya lelah, setidaknya tinggal seperempat dari tugasnya lagi yang belum di sentuh, ia bisa menundanya untuk besok kan? Segera ia menutup laptopnya yang setia dari pagi mengumbar radiasi dan mengambil jas yang tersampir pada stand hanger di samping mejanya. Tak lupa ia mengambil kunci mobil dari laci dan keluar dari ruang kerja ini.

“Tumben kau tak lembur, Hae?”

Suara sapaan yang amat dikenalnya membuat Donghae memperlambat jalannya menuju tempat parkir.

“Ah, anieo. Sekarang aku punya keluarga yang menunggu di rumah,”

“Aigoo… Auramu jadi beda sekali, kau tau? Aku seperti berbicara dengan tetua, padahal kau sahabatku dari sma,” ia menggeleng-gelengkan kepalanya entah kenapa.

“Kau juga harus membawa gadis ke altar juga, Hyuk-ah. Kau sudah cukup tua,” canda Donghae yang di balas wajah tak terima dari Hyukjae.

“Awas kau, eoh! Jika bukan karenaku, kau tak mungkin menikahi wanita menawan yang kau puja mati-matian itu,” Sewot Hyukjae tak mau kalah.

“Arraseo arraseo! Sudahlah, kau habiskan lembur malam ini baru keluarkan pembelaanmu yang lain esok hari. Aku duluan, geurom!” Donghae berjalan melewati Hyukjae yang di hidungnya bertengger kacamata full-frame dan tangan penuh dengan tumpukan map.

“Chhh… ikan itu sekarang sudah dewasa. Bagaimana bisa ia bisa merubah ikan bodoh itu menjadi seperti ini ya…” gumam Hyukjae sendiri.

oOo

Suara pintu terbuka dan memunculkan sosok pria berbadan tegap namun tergurat keletihan di wajahnya. Jas tersampir asal di lengannya yang menekuk dan menggantung kunci mobil di jarinya. Donghae disambut ruang-ruang berlampu padam, hanya satu lampu kecil di dekat dapur yang menyala remang. Yah beginilah Donghae, pulang saat orang rumah sudah memasuki alam mimpi.

Ia terus berjalan tanpa semangat menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Undakan tangga seakan menjadi tebing curam yang harus ia daki dengan susah payah. Tapi entah kenapa ia menemukan lampu kamarnya belum dimatikan yang dilihat dari sela-sela pintu dari luar.

Donghae membuka perlahan pintu kamar, ia tak mau membangunkan wanita yang ia yakin sudah tidur di ranjang besarnya. Namun sesaat setelah ia membuka pintu itu, ia justru tersenyum. Senyum bahagia yang selalu muncul tanpa ia sadari saat melihat pemandangan ini.

Tak ada yang membuat Donghae begitu bahagia setelah melewati hari yang melelahkan selain melihat istri dan anaknya dengan keadaan baik-baik saja.

Yoona memberi isyarat agar tak membuat suara mengagetkan pada Donghae yang baru melangkahkan kaki mendekati dirinya, karena bayi mereka sudah ingin terlelap dalam dekapan ibunya. Dengan sangat hati-hati –dan justru membuat Yoona mengikik tertahan akibat gerak gerik Donghae yang menjadi konyol-, Donghae menaruh jas serta handphone nya di atas meja. Ia mendudukkan dirinya pada pinggiran ranjang bermaksud untuk melihat lebih dekat buah hatinya, namun tangan Yoona menghalangi Donghae begitu saja layaknya mengusir lalat pengganggu.

“Ya!” seru Donghae tertahan, yang bisa dikatakan teriakan namun berbisik.

“Oppa, cuci tanganmu dulu! Baru kau boleh menyentuhnya,” titah Yoona sepelan mungkin.

Dan Donghae akhirnya berdiri kembali dengan sedikit  kesal seperti anak empat tahun yang dilarang ibunya membeli permen. “Arraseo eommonim, aku akan mandi biar kau sekalian puas,” sindir Donghae pada Yoona yang masih setia mendekap sambil memberi asi pada bayinya.

Yoona hanya mendelik saja sepeninggal Donghae menuju kamar mandi dengan wajah kesal-kesalannya, “Oppa,”

Donghae mengalihkan kepalanya malas, “Hm?”

Yoona menaikkan alisnya sambil tersenyum dengan artian yang mungkin Donghae saja yang mengerti. Segera ia terkekeh pelan dan mendekati Yoona, mencium keningnya lembut dan diakhiri dengan kecupan singkat pada bibir ranum yang bisa dibilang membuatnya lupa kendali.

oOo

Gemericik air yang jatuh dari shower sudah tak ada lagi, meninggalkan semburat embun pada kaca kamar mandi yang mengharuskan Donghae untuk menyapunya agar bisa meihat pantulan dirinya. Sejenak ia tersenyum sendiri sambil menghanduki kepalanya yang basah, mengulang kejadian-kejadian yang selama ini telah ia lewati bersama istrinya, Yoona.

FLASHBACK

Hampir seluruh tempat duduk dalam ruangan itu sudah terisi, berbagai ornamen bernuansa putih gading menambah kesan suci dan sakral atas pernikahan yang terselenggara. Entah mengapa kaki Donghae tak bisa diam begitu saja, hatinya seakan tak sabar melihat calon pengantinnya berjalan menuju dirinya yang sudah lebih dahulu berada di hadapan pendeta. Ia tak sabar membuka gerbang baru kehidupannya bersama orang yang ia cintai.

Benar saja, dentingan piano terdengar dan menguak rasa yang ada dalam diri pria itu. Seakan semua menjadi pandangan blur; para tamu, pendeta, orang tuanya, orkestra kecil itu, semua menjadi tampak tak tampak di mata Donghae. Yang nyata ia melihat Yoona dengan balutan gaun putih dan tiara kecil menghias rambutnya yang di gelung manis dengan jelas.

Dengan begitu saja ukiran senyum pada wajah yang tadinya cukup cemas terlihat. Dua manusia yang akan menjalani hidup bersama dalam beberapa menit lagi itu saling bertatap. Ini adalah mimpi Donghae. Dan ini juga merupakan mimpi Yoona. Mimpi dari seorang gadis cilik yang menginginkan ayahnya mengantar  dan menggenggam tangannya melewati beberapa tamu menuju altar tempat pujaan hatinya menunggu kedatangannya.

Siapa yang tak bermimpi begitu?

Tentu semua gadis menginginkannya. Yoona menunggu bertahun-tahun untuk momen ini, tak ada keraguan atau drama lagi saat ini. Ia merasakan lengan ayahnya membimbingnya pada tangan Donghae yang terbuka itu. Ah, sekali lagi Yoona harus berkedip cepat agar ia sadar bahwa ini bukanlah mimpi semata.

Ikrar janji suci telah terlewati dengan sempurna, ciuman tanda kebersamaan juga sudah mereka rasakan. Apalagi? Apalagi yang membuat Donghae dan Yoona begitu gembira lebih dari ini?

Mungkin jawabannya adalah masa depan.

Masa depan yang akan menyambut mereka dengan cerita lain dari saat mereka masing sendiri. Entah itu masalah rumah tangga, keluarga, atau… anak.

“Terima kasih, Yoona. Mulai saat ini kita akan hidup bersama,”

“Terima kasih, Donghae Oppa. Kau memulainya dengan satu kata terima kasih,”

FLASHBACK END

Donghae keluar dari kamar mandi dengan handuk kecil tersampir pada satu pundaknya. Ia berjalan menuju ranjang tempat istrinya tadi sedang menyusui anaknya dan mengusirnya begitu saja dengan canda. Tapi sekarang ia tak menemukan siapa-siapa disana.

“Yoong?”

Tak ada jawaban terdengar. Apa mungkin ia di dapur atau di ruang televisi? Pikir Donghae. Namun ia tersadar, memang hanya dua ruangan itu yang dulu tempat favorit Yoona selain kamar tidur. Tapi sekarang ada sebuah ruangan baru di rumahnya.

Kamar bayi.

Dan benar saja, ia melihat Yoona yang sedang menidurkan bayinya di box bayi itu. Menata bantal serta selimut kecil yang memenuhi tempat tidur hangat milik anaknya.

“Oppa, lihat. Ia tersenyum dalam tidurnya,”

Donghae melihat anaknya terbaring damai dengan sedikit senyuman di wajahnya. Senyuman yang sudah lama ia kenali, senyuman yang sama seperti milik istrinya. Ia memeluk Yoona dari belakang, merangkul pinggang wanita itu dan mendudukkan dagunya pada bahunya sambil melihat bayi mereka tertidur.

“Apa Jeno sudah setampan ini saat ia lahir?”

“Entahlah, mungkin ia bertambah tampan seiring waktu,”

Just like his dad,

Yoona tertawa tak terima, “Peranku dimana di diri Jeno kalau semua ini tentangmu, Oppa”

“Ia memiliki senyummu, Yoong. Tenang saja,”

“Hanya senyuman?”

“Eoh,”

“Kuharap ia tak memiliki sifatmu yang over confident itu, Oppa” sindir Yoona.

“Yaaa aku tak seperti itu,”

“Ne, kau seperti itu. Kau pria paling gombal yang pernah aku temui,”

“Mwo? Tapi kau akhirnya jatuh juga pada pesonaku kan,” sombong Donghae.

Yoona berdecah tak habis pikir, “Baru saja kubilang…”

Donghae tertawa dalam diam, “Oppa jadi tak sabar melihat adiknya Jeno, kuharap itu yeoja,”

“Aish,” Yoona mengerucutkan bibirnya, “…Jeno saja belum genap sepuluh bulan dan kau mengharapkan adiknya? Eosh jebal Lee Donghae,” cercah Yoona.

“Tenang saja, Oppa akan mewujudkannya dengan cepat!”

Yoona berjalan cepat keluar kamar anaknya meninggalkan Donghae disana, “Lee Donghae pervert,”

Donghae mengejar istrinya itu yang sudah mendahului menuju lantai bawah dengan tawa menyelingi langkahnya, “Yaaa~ Lee Yoona, jangan kabur kau eoh,”

oOo

“Mau nonton apa malam ini?”

“terserah, Oppa hanya ingin meminjam pangkuanmu saja,”

Yoona mengambil remote yang terselip diantara sofa yang ia duduki, dan kepala Donghae sudah terbaring begitu saja pada pahanya, “Kau sangat lelah ya Oppa?”

Donghae merespon dengan sekali anggukan kemudian matanya terpejam. Yoona mengelus rambut coklatnya yang masih sedikit lembap itu dan mulai menyetel sebuah film American-romantic-drama yang ia temukan dalam channel smart TV itu.

Mereka mulai menonton film itu dengan sama-sama diam. Namun lama kelamaan, -seperti biasa- mereka malah jatuh pada perbincangan atau bisa disebut night talk dibanding menonton film itu.

“Bagaimana harimu?”

“Seperti biasa, Jeno selalu memberontak jika ku beri vitamin tambahan pemberian Eomma. Selebihnya ia tenang, walaupun kutinggal mandi atau masak di dapur,”

“Eum, dia cukup pintar untuk tak menyusahkanmu. Kenapa Jeno tumbuh sangat cepat, aku tak menyangka ia sudah mau sepuluh bulan…” Donghae memainkan rambut Yoona yang tergerai.

“Kurasa karena kau menghabiskan banyak waktu di luar rumah, Oppa. Jadi tak mengikuti perkembangannya secara intens. Maka dari itu bisa-bisa kau sadar ia sudah masuk taman kanak-kanak,” Pernyataan Yoona lebih menggambarkan sindiran dibandingkan penjelasan rinci yang masuk akal.

“Oppa tak mau menjadi ayah durhaka seperti itu. Apa menurutmu ku harus libur untuk Jeno, Yoona-ah?”

For god sake… Kenapa Lee Donghae itu harus bertanya lagi? Sudah pasti jawabannya,

“Tentu, kau itu lambat atau memang bodoh, Oppa… Jeno butuh sentuhan ayah agar ia menjadi anak yang selama ini kita dambakan,” jawab Yoona tak tahan.

Donghae mendudukkan badannya yang semula terbaring berbantal paha Yoona. “Kau benar, Yoong. Aku harus meluangkan waktu untuk Jeno. Bosan juga hanya melihatnya tidur saat berangkat kantor, dan tidur lagi saat pulang kantor… Kalau begitu mungkin akhir pekan ini Oppa akan di rumah saja,”

Good father Lee Donghae. Jika kau sudah berhasil meluangkan waktu untuk Jeno, aku akan mengizinkan kita menambah satu anggota keluarga lagi,”

Donghae membulatkan matanya menatap Yoona yang masih menatap layar televisi, “Jinjjayeo?!” Ya, Donghae berteriak seperti anak kecil seperti biasa, dan ditanggapi anggukan kecil Yoona yang sedikit malu.

“Saranghae, Yoona” Donghae mengecup bibir istrinya itu, namun siapa sangka satu kecupan kecil bisa menjadi lumatan jika seorang Donghae yang melakukannya di bibir ranum Yoona. Ciuman hangat itu tak mau mereka lepaskan mengingat jarang merasakan momen itu akhir-akhir ini akibat urusan masing-masing.

oOo

“Jeno-ya~ Kau merindukan Appa? Eoh?”

Jeno yang belum bisa berbicara hanya bisa menanggapi sekilas apa yang sedari tadi diocehkan ayahnya itu. Mungkin Jeno hanya bisa membatin ‘Ribut sekali ayahku ini, cepat lepaskan aku! Aku ingin eomma!’, ya jika suara hatinya bisa terdengar.

Dan benar saja, Jeno meronta saat melihat Eomma-nya melintas dari kamar menuju dapur. Sementara Donghae masih saja bersih keras agar Jeno betah di gendongannya, entah bagaimanapun caranya.

“Jeno-ya, waegeure? Kau mau main dengan Appa? Di luar? Di taman belakang?” Donghae makin mengeratkan pelukannya dan berjalan pada jendela besar yang mengarah pada taman belakang rumahnya.

Tindakan yang kurang tepat…

Jeno makin meronta dan mulai menangis. Yoona yang berada dapur hanya bisa melihatnya sekilas karena ia sedang sibuk menyiapkan bekal untuk perjalanan hari ini. Toh sudah ada Donghae yang sedang memeluknya, tapi kenapa anak itu masih menangis?

“Oppa, Jeno kenapa?”

Tangan Jeno meraih-raih udara yang mengarah pada sosok ibunya yang kurang lebih lima meter darinya. Yoona masih memperhatikan dari jauh tingkah anaknya itu sambil menutup beberapa kotak bekal. Mungkinkah Jeno…

Asing dengan ayahnya?

“Oppa, bisa kau lanjutkan memasukkan kimbab ke wadah ini? Kurasa Jeno membutuhkanku,”

“Ani… Ani… Aku bisa menangani Jeno, tenang saja!” Donghae hendak membawa Jeno keluar ke taman belakang.

Bukan masalah tenang atau tidaknya Yoona, Donghae. Jeno-lah yang tak tenang sekarang ini…

“Anieo, biarkan Jeno padaku. Kau bisa selesaikan memasukkan selusin kimbab ini untuk Eomma,” Yoona dengan cepat mengambil alih Jeno yang sudah memerah mukanya.

Lima detik kemudian, Jeno sudah jauh lebih tenang daripada sebelum Yoona dekap. Walau masih ada sedikit senggukan dari mulutnya, namun ia bisa bersandar tenang pada dada ibunya.

“Aigoo… Kenapa dengan Appa-mu, eoh? Kau tak nyaman?” bisik Yoona.

“Mwo? Kenapa ia berhenti menangis?” tanya Donghae dari dapur menyadari tak ada lagi tangis dari mulut anaknya.

Yoona menimang Jeno di dekat Donghae, “Molla… Kurasa ia tak nyaman denganmu, Oppa”

“Jinjja?! Aku Appanya, Ottohkae arra?”

“Kan sudah kubilang, kau jarang bersamanya saat ia tidak tidur. Pergi ke kantor, kau mencium pipinya saat tidur. Pulang kantor, kau mencium keningnya saat tidur. Bagaimana ia bisa tau wajahmu… Jadi ia menganggapmu orang asing,” Yoona menjelaskannya lebih rinci seakan menghakimi Donghae yang terlalu workaholic.

Donghae tak terima jika seperti ini. Setelah memasukkan potongan kimbab terakhir, ia bertolak pinggang sambil mendesah kesal, “Bagaimana bisa begini? Jeno tak mengenal ayahnya sendiri,” sedih Donghae.

Ia mendekati Yoona dan menatap Jeno yang menyusup dibalik leher ibunya. Jeno menatap Donghae tanpa arti, dan Donghae membuka lengannya untuk menggendongnya. Benar sekali, Donghae ditolak mentah-mentah oleh Jeno dengan membalikkan kepalanya ke arah lain.

Yoona hanya tertawa sesaat, “geogjeong hajima, ia masih terlalu kecil untuk kau merasa bersalah. Setidaknya ini waktu yang tepat untuk mengenalkan dirimu kembali padanya,”

oOo

Di sinilah mereka. Karena mall sudah terlalu dan akan menjadi pathetic bagi Jeno dan taman hiburan akan sangat anti klimaks karena tak banyak wahana yang bisa dinaiki bocah dibawah satu tahun, Olympic Park menjadi tujuan mereka.

Lahan luas dengan pohon rindang serta angin sejuk sudah sangat cukup menyenangkan bagi Jeno untuk bersenang-senang bersama orang tuanya. Beberapa kelinci yang sengaja dilepas di beberapa lahan juga membuat Jeno bisa lebih mengenal alam sekitar. Tak lupa Yuki, anjing putih milik mereka turut dibawa kemari untuk berjalan-jalan.

“Uwaah! Segarnya hari ini!” ucap Yoona merasakan angin menghempas wajahnya dengan lembut, membuat helai-helai rambut tersingkir dari wajahnya. Jeno yang di dekap Yoona juga mengedarkan pandangan pada taman yang amat sangat luas dan menggugah hati untuk berlari disana.

Dan bagaimana Donghae sekarang? Dimana tiga anggota keluarganya –termasuk Yuki- senang merasakan angin kebebasan, ia malah susah payah membawa keranjang makanan dan tas berisi perlengkapan bekal serta tikar.

Petinggi kelas atas seperti Lee Donghae yang penuh wibawa saat di kantor akan berubah drastis jika sudah begini ceritanya. Bahkan tampangnya lebih menyedihkan daripada anjing peliharaannya sendiri.

“Oppa! Cepatlah sedikit menggelar tikarnya,” omel Yoona melihat Donghae yang ogah-ogahan menempatkan barang-barang mereka.

“Yak sabar sebentar! Kenapa kau yang tak membantuku!”

“Aish, kalau Jeno bisa digendong olehmu, aku juga akan segera membantu,” sindir Yoona yang ditanggap tak acuh oleh Donghae.

Ya, Donghae sudah kesal dari saat ia mengetahui anaknya menolak untuk didekapnya. Tentu Jeno tak berhak untuk Donghae sesali karena ia belum tahu apa-apa. Donghae kesal pada dirinya sendiri.

Setelah tikar berhasil digelar sempurna, Jeno mau duduk disana tanpa di pegangi Yoona. Makanan pun di tata apik oleh Yoona dan Donghae, mulai dari sandwiches, kimbab, salmon salad, sampai minuman kaleng. Dan Yuki… Ia hanya berlari kesana kemari menikmati kebebasan sesaat yang jarang terjadi ini.

“Oppa,” Donghae melirikkan mata sesaat pada Yoona setelah ia mengambil sandwich untuk segera ia makan. “…Suapi Jeno,”

Well… Donghae baru sekali menggigit sandwich nya dan tugas berat pun datang menghampirinya. Perut laparnya hampir meronta menahan ego sampai Yoona mengingatkan ia tentang ‘Perkenalan kembali dengan Jeno’.

Tangannya menaruh kembali sandwich pada kotak bekal itu, dan berganti mengambil sendok kecil dan bubur bayi di sebelahnya. Donghae harus membayar ‘hutang-hutang’-nya pada Jeno agar bisa merebut kembali hati anak ini.

Sudah lama sekali Donghae tak menyuapi Jeno, dan ini kali keduanya ia mengambil bubur untuk disuapkan ke mulut kecil itu. Oh, dadanya sungguh bertalu. Bagaimana jika Jeno menolaknya kembali? Bagaimana jika jeno memuntahkannya? Bagaimana jika Jeno malah menangis? Bagaimana Donghae akan menaruh muka di hadapan istri dan ankanya nanti?

Pertanyaan janggal itu terhenti saat Jeno dengan lahap menelan buburnya dari sendok yang dipegang Donghae. Ia mengecapnya sambil melihat Yuki yang berlarian di depannya.

Nafas kelegaan berhembus dari mulut Donghae dan ia kembali bersemangat mengambil suapan keduanya. Yoona melihatnya dengan tatapan ‘kau boleh juga’ yang dibalas cengiran bangga Donghae.

“Great job, Oppa. Lanjutkanlah,” Yoona mengambil kimbab dan mengunyahnya sambil menunggu reaksi selanjutnya dari suapan untuk Jeno.

“Jeno-ya~ aaaaa…”

Yang dipanggil mengarahkan mulutnya girang menuju sendok yang terisi bubur kesukaannya sampai ia melihat siapa yang menyuapinya kala itu.

Siiing~

Jeno merangkak ke arah lain menjauh dari pandangan yang baru saja ia lihat dan kembali memperhatikan Yuki berlari. Ia menutup mulutnya seakan ‘aku sudah kenyang’.

Oh, seakan sebuah batu raksasa terjatuh di atas kepala Donghae dan meninggalkan tangannya yang masih memegang sendok mini itu. Harga dirinya tak tau dikemanakan, ditambah Yoona tertawa tak tahan dari apa yang baru saja ia lihat sampai nyaris tersedak oleh kimbabnya.

“Oppa.. hahaaa, gwenchanaa?” hibur Yoona tanpa meninggalkan cekikikannya.

Donghae menatap anaknya dengan tanpa nyawa. Masihkah ia tak mengenali ayah kandungnya sendiri? Jika kontrak kerja dan rapat-rapat perusahaan bisa disalahkan karena membuat anaknya tak mengenali dirinya, ia sudah menuntut itu semua di pengadilan.

“Aigoo… Donghae Oppa, kau makan saja sana. Biar aku yang menyuapi Jeno,” Yoona beranjak mengambil alih. Dan Donghae dengan lesunya menyingkir dan melanjutkan memakan sandwich.

Ia melihat Jeno baik-baik saja dengan Yoona. Ia malah tertawa saat Yoona menjahilinya. Pikiran Donghae tentang ‘bahagia selama-lamanya’ saat mengucapkan janji suci di altar memang tak benar nyata. Semenit kemudian ia malah merencanakan pemotongan jam kerja bagi dirinya sendiri demi mendapatkan perhatian Jeno yang selama ini tak diperhatikannya.

Namun rencana itu terhenti saat seorang pemuda menghampiri tikarnya, lebih tepatnya menghampiri Yoona yang bersama dengan Jeno.Wajahnya tak asing dengan pemuda itu. Sepertinya ia pernah melihatnya sebelum ini.

“Eo? Seunggi Oppa?”

Seunggi hanya tersenyum lebar mendapati Yoona kaget akan kehadirannya yang sudah jelas tiba-tiba. Jeno pun hanya melihatnya sekilas dan kembali dengan kesibukannya mengecap makanan. Dan orang terakhir, orang yang paling bertanya-tanya dengan mata menatap tajam layaknya elang… Donghae.

“Anyyeong, Yoona. Hari yang indah, eoh?”

“Opp- Oppa bersama siapa ke sini?”

“Sendiri. Aku kesini untuk menyegarkan pikiranku dari rutinitas, tak kusangka malah bertemu denganmu. Long time no see…”

Ah, pria itu mulai dengan basa-basinya, pikir Donghae. Ia jelas tak berubah dari SMA yang selalu mengejar Yoona yang sudah jelas menjadi pacarnya waktu itu. Dan apa ini? Ia malah duduk di sebelah Yoona?! Apa ia memakai kacamata kuda sehingga tak melihat Donghae yang duduk tak jauh dari sana?

Donghae layaknya batu, hanya bisa diam dan memperhatikan mereka dari tempat ia duduk sambil mengunyah sandwich yang rasanya mendadak hambar.

“Seunggi Oppa, aku bersama Donghae Oppa juga. Ia disana,” toleh Yoona pada Donghae yang bermuka datar di belakangnya.

“Eoh. Donghae-ssi, apa kabar? Sudah lama kita tak bertemu, eo?” Sapa Seunggi menyodorkan tangannya untuk bersalaman pada mantan rivalnya itu. Rival SMA dalam memperebutkan Yoona… Yang sudah pasti dimenangkan Donghae. Lihat saja sekarang, sudah ada Donghae junior yang lahir dari Yoona. Kira-kira itu batin Donghae.

“Ya, aku baik saja. Bagaimana denganmu?”

“Tentu saja baik, hanya sedikit penat oleh urusan manajemen artis yang kubangun,” cengir Seunggi. Dan perbincangan pun mati dengan canggungnya, karena mereka sibuk dengan pikiran masing-masing.

Menyadari itu, Seunggi mencoba mengakhiri kesunyian itu, “Ah, Jeno sudah berapa usianya? Ini kali pertamaku melihat Jeno,”

“Sepuluh bulan,” jawab Donghae cepat.

“Aigoo lucu sekali… Ia sangat mirip denganmu, Yoona-ah” Elus Seunggi pada pucuk kepala Jeno.

‘Heol. Bagaimana bisa ia menyimpulkan seenak jidatnya seperti itu? Apa ia benar tak terlihat wajahku yang terjiplak di kepala Jeno sebegitu jelasnya,’ batin Donghae panas.

“Anieo, ia perpaduanku dan Donghae Oppa,” Tanggapan Yoona membuat Donghae sangat puas seakan dendamnya terbalaskan.

Seunggi tertawa dan mengambil sendok kecil dari tangan Yoona, “Bolehkah aku menyuapinya?”

“Eoh tentu saja,” jawab Yoona.

‘Harusnya kau meminta izin ayahnya, eoh’ sungut Donghae dalam hati.

Perlahan Seunggi bangkit dan mendekati Jeno yang tak jauh dari Yoona. “Jeno, aaaaa~”

Ini pemandangan yang terus diamati serius oleh Donghae dengan mata tajam serta rahang kerasnya. Sungguh, jika Jeno mau melahapnya, Donghae akan mengaku kalah dan berhenti dari jabatannya sekarang. Layaknya waktu menjadi berjalan lambat dan pandangan jadi slow motion, baik Yoona maupun Donghae mengamati detik-detik itu. Dan…

Jeno membuka mulutnya…

Dan berteriak.

Keras.

Seakan terdengar gema terompet tanda kemenangan yang meraung keras di kepala Donghae, ia berdiri dan tersenyum tersembunyi. Ia seperti memenangkan jackpot luar biasa besarnya dan tak bisa di menangkan oleh siapapun juga. Donghae berjalan mendekati Jeno yang menangis kencang untuk berusaha menenangkannya. Lebih tanggap dari Yoona yang masih tercengang dalam duduknya.

“Aaaa Jeno-ya… Appa disini…” Donghae mengangkat anaknya dari hadapan Seunggi dan menimangnya dengan lihai, seperti ia sudah sangat dekat dengan Jeno selama ini. Dan entah mukjizat apa yang jatuh pada Donghae, Jeno mulai tenang dalam dekapannya dan malah memeluk leher sang ayah.

Apa Donghae berhalusinasi?

Donghae tak percaya momen ini berjalan sungguh tepat pada waktunya. Oh, ini lebih indah dari mendapatkan kontrak milyaran Won. Inilah yang membuat Donghae terharu, bangga, dan sedih di waktu bersamaan.

Jeno seperti tersadar dari amnesianya pada Donghae, ayahnya. Ia memeluk dan menggumam agar Donghae membawanya jalan ke lahan luas sana. Bahkan ia tertawa saat Donghae membawanya berlari kecil.

Yoona tersenyum melihat Donghae akhirnya mendapatkan jati diri seorang ayahnya kembali. Ia juga ikut tertawa saat mereka tertawa di kejauhan, melupakan Seunggi yang juga melihat Donghae dan Jeno.

“Seunggi Oppa, maafkan kelakuan Jeno… Ia tak terbiasa dengan orang asing,” ucap Yoona.

“Ah, gwenchana… sepertinya aku harus mempunyai Jeno yang lain agar bisa bahagia seperti Donghae. Kau sungguh beruntung, Yoona-ah.”

Yoona hanya menunduk malu dan tak tahu harus menanggapi apa selain senyuman kecil di wajahnya.

“Kalau begitu aku pergi dulu. Masih banyak pekerjaan di agensi, keurom~”

“Ne, Oppa. Hati-hati di jalan, sampaikan salamku untuk Chaewoon Eonni,”

Seunggi berlalu sambil mengangguk tersenyum mendengar nama pacarnya disebut Yoona. “Ne! Opaa akan menyampaikannya!”

Dan begitulah mereka. Bahagia dengan kehidupan masing-masing. Tak ada yang iri atau merasa tak adil, baik Yoona, Donghae, maupun Seunggi. Walau terlihat badai saat masa lalu, bukan berarti badai itu ada selamanya. Walau dulu seperti tak ada harapan lagi, jalan tuhan selalu ada lagi. Tak masalah jurang apa yang ada di depan, jika kita punya sayap, apa kau mau menggunakannya?

.

70 thoughts on “Haru, One Day (Oneshoot)

  1. 👏👏👏Ngakak ngeliat jeno sama donghae 😂😂

    Ditunggu karya yg lainnya, atau yg ini bkn sequel hehe ✌

  2. Donghae lucu sifatnya agak kekanakan jg ya..hhe untung jeno ttp inget sm appanya..ditunggu cerita yg lainnya ya

  3. Paling demen kalau baca FF Lee family kaya gini 🙂
    Akhirnya Donghae berhasil menarik perhatiannya Jeno yang sempat menolak Hae.. Kkk
    buat squelnya dong..

  4. Yg penting D0nghae sabar & mau usaha, pd akhir.a Jen0 mau sama dia., Cuma kurang aja intensitas prtemuan.a.,,

  5. Keren ffnya, aku ikut deg2an jg wkt mr. S mo ikut nyuapin Jeno, kirain tuh bocah mau di suapin.
    Hello apa kbrya Donghae kl ampe Jeno nerima suapan dia, kl aku jd Donghae pst sedih bgt dah.

    Wkt Donghae gendong Jeno jg kupikir si baby mo nolak bs turun harga diri Donghae kl di tolak anaknya sendiri di depan rivalnya dulu, tp syukur dah itu ga kejadian malah Jeno sng di gendong appanya.
    Ffnya bagus thor 🙂

Komentarmu?