The Lost Wife Sequel of ‘Anathema’ – (Chapter 1)

TLW - Remake

Tittle:

The Lost Wife (Anathema’s Sequel)

Author:

misskangen

Cast:

SJ’ Donghae || GG’s Yoona

Support:

SJ’s Eunhyuk || f(x)’s Victoria || OC

Genre:

AU, Romance, Angst

Rating:

PG-16

Length:

Chapters

Disclaimer:

This story is purely mine. All the characters and plot are just fiction. Never take any plagiarism action of this story. Please apologize for unidentified typo(s).

Happy Reading…

CHAPTER 1

Ruang kerja mewah, kursi yang empuk, dan air conditioner yang bekerja dengan baik seolah tak memiliki arti apapun bagi seseorang bila sedang merasakan kekesalan. Laporan kerja yang lengkap pun akan terlihat seperti sebuah kertas kosong yang tak berisi apa-apa.

Seharusnya Lee Donghae sadar betul jika bukan saat yang tepat baginya untuk menunjukkan amukan di dalam ruang kerja mewahnya. Meskipun di ruang itu hanya ada seorang Sekretaris tua dan seorang pria yang berusia sebaya dengannya.

Frustasi, bisa jadi adalah penyebab utama pria yang dikenal tak pernah menyerah pada sebuah negosiasi alot itu menjadi uring-uringan. Seolah tiba-tiba ia menjadi sosok pria putus asa yang tak bisa memikirkan cara untuk bertahan hidup.

“Sudah dua tahun dan sama sekali belum ada titik terang!” sungutnya berang, tidak jelas mengarahkan kemarahannya pada siapa. Dua folder yang tergeletak di atas mejapun terlempar oleh tangan kekarnya.

Lee Hyukjae mendengus, ia sama kalutnya dengan Donghae. Tapi justru dirinya yang paling tahu kenapa pria berkepala batu itu menjadi kalap. Hyukjae tahu Lee Donghae tampak mengenaskan karena pencarian terhadapa istrinya yang menghilang tak juga menampakkan hasil.

“Aku pikir dia benar-benar pergi ke luar negeri. Sama sekali tak ada jejaknya di Korea.” Mungkin sudah yang ke berapa puluh kali Hyukjae melihat Donghae menatapnya tajam lalu membuang muka seolah tak mendengar ia berkata seperti itu.

“Bagaimana mungkin ia bisa pergi keluar negeri bila situasi dan kondisinya sama sekali tidak mendukung?”

Hyukjae menyeringai, “Segala kemungkinan bisa saja terjadi. Kau yakin tidak menyimpan banyak uang dalam brankas di Apartemenmu?”

“Yak! Berapa kali kukatakan bahwa istriku bukan seorang wanita penipu atau materialistis!” Donghae siap untuk mengamuk dan bisa saja ia menerkam pria di depannya ini jika ia tidak mengingat bahwa Hyukjae sangat tahu segala permasalahannya saat ini. Bahkan pria bergusi pink mempesona itu masih bisa melontarkan lelucon yang Donghae sendiri sangat muak untuk terus merasa tersindir karenanya. “Cukuplah dengan candaanmu, Hyukjae-ssi!”

Tidak ada tawa apapun yang pecah di antara mereka. Sementara wajah Hyukjae kini berubah serius. Selama ini ia menjadi orang yang paling sabar menghadapi perubahan emosi sahabatnya itu, meski ia sendiri tahu bahwa Donghae bukanlah seseorang dengan kadar humor yang tinggi.

Hyukjae memang tidak pernah berniat melempar lelucon apapun padanya. Lebih tepatnya Hyukjae ingin terus memastikan bahwa Donghae memang masih pada jati dirinya sebagai seorang pria yang selalu memikirkan bisnis, keuntungan, maupun kekayaannya – sebelum ia menjadi seorang pria menyedihkan karena kehilangan istrinya.

“Kenapa kau tidak berpikir untuk berhenti mencari, Donghae-ssi? Setidaknya kau berpikir bahwa kepergian Yoona adalah keinginannya untuk menjauh darimu sekaligus menjauh dari rasa sakit yang mungkin saja akan ia dapat setiap saat bila bersama denganmu?”

Donghae susah payah menelan salivanya. Hyukjae mungkin bukan orang pertama yang memberinya ide untuk menghentikan pencarian sia-sia nya selama dua tahun ini. Bahkan tak secuil jejak pun ia dapatkan informasi mengenai keberadaan Kim Yoona maupun sepupunya Kim Hyoyeon. Donghae sudah cukup banyak mengeluarkan uang sebagai biaya pencarian orang yang selalu berakhir pada laporan ‘nihil’.

“Bagaimana kau bisa berbicara seperti itu padaku, Lee Hyukjae? Aku tahu bahwa aku adalah pria paling buruk dalam sejarah pernikahan dalam keluarga Lee, yang juga pantas mendapat kutukan paling tragis di dunia. Tapi aku tetaplah seorang pria dan seorang suami yang menginginkan istriku kembali ke sisiku.”

Hyukjae mengangguk pasrah, sekedar menunjukkan bahwa ia paham pada kegundahan hati Donghae. Ya, Hyukjae paham meski ia tak dapat menyembunyikan sedikit keraguannya pada atasannya itu.

“Tapi banyak orang yang meragukan itu. Apakah kau memang berharap pada kehadiran istrimu atau kau hanya menginginkan kemunculan anakmu disini?”

Suara gebrakan dari meja kerja Donghae tentunya mengejutkan satu-satunya orang yang berada di depannya saat ini, siapa lagi kalau bukan Hyukjae. Rahang Donghae tampak sangat mengeras mengikuti emosi yang semakin memuncak di kepalanya.

“Aku tidak akan mendengar suara sumbang itu. Semua orang harus tahu bahwa aku adalah pria paling egois yang menginginkan semua itu. Aku ingin istriku dan juga bayiku untuk terus bersamaku!”

***

Ruangan gelap itu tidak menjadi momok apapun baginya. Seperti halnya kegelapan yang menyelimuti apartemennya, seperti itu juga warna hati Donghae saat ini. Begitu kelam hingga tak satupun warna yang bisa mengindahkannya.

Donghae duduk terpekur. Hanya berselonjor di lantai dengan punggung yang bersandar pada sisi ranjang yang telah terbiarkan dingin selama hampir dua tahun. Bagaimanapun kehangatan menjadi hal yang mustahil diraih ketika tidak ada sosok yang bisa melengkapi.

“Harusnya kau mendengarkanku terlebih dahulu,” bisik Donghae di udara, sementara matanya nyalang dan sesekali menatap foto pernikahan yang tergantung di salah satu dinding kamarnya.

Penyesalan memang selalu datang sebagai penutup cerita, tapi tak selalu akhir cerita itu ingin dikenang jika terlalu banyak luka yang ditawarkan. Donghae memang terluka, namun ia tahu bahwa seseorang lebih terluka karenanya. Ia memang tak bisa menyalahkan siapapun dalam hal ini. Semua murni karena keegoisan dan kebodohannya – setidaknya itu hal yang selalu menjadi tameng dalam pikirannya.

“Kapan kau kembali ke sisiku, Kim Yoona? Setidaknya kau memberiku satu petunjuk bahwa kau baik-baik saja,” lagi Donghae seakan merayu udara untuk menanggapi kesedihannya.

Sejauh ini Donghae masih belum bisa bangkit dari keterpurukan. Ini adalah kali pertama ia merasakan kelebihan dari kebersamaan dengan seorang wanita – yang selama ini tak pernah ia peduli untuk dimiliki – dan ini langsung jadi kali pertama pula ia merasakan kekecewaan amat dalam untuk sebuah perpisahan yang tak diinginkannya sama sekali.

Seandainya waktu bisa berputar kembali maka Donghae tidak akan pernah ingin mengulang perkenalannya dengan wanita itu – yang telah membuatnya masuk ke dalam jurang penuh sesal – yang pada akhirnya membuatnya mengenal kata ‘cinta’, ‘kecewa’, ataupun ‘patah hati’.

Tak lagi peduli dengan pandangan orang tentangnya, kini Donghae lebih memilih menjadi pesakitan. Biarpun dulu ia pernah mendapat kutukan paling nista – pun hingga kini rasanya itu masih melekat padanya – ia hanya ingin memastikan semuanya akan kembali.

Semua demi kelangsungan hidupnya. Setelah ia sebelumnya ingin mati saja karena pengalaman pertama ini langsung membuatnya kalut hingga ke ubun-ubun. Jika saja ia tak pernah menemukan sebuah testpack dengan dua garis tergeletak di bawah wastafel kamar mandinya, maka ia takkan mendapat serangan sesal lebih dalam.

Bahkan sebuah kutukan ditambah keegoisan telah mampu menghancurkan satu harapan kecil untuk memiliki kesempurnaan sebagai keluarga bagiku.

Kalimat sarkatis itu terus tercipta di dalam kepala Donghae tanpa ia bisa menutup telinga untuk menghindarkannya terngiang berkelanjutan. Lalu pada akhirnya membuatnya semakin kritis pada tahap keinginan untuk menanggalkan segala ego dan kebanggaan terhadap semua yang dijunjungnya begitu tinggi selama ini.

“Jika sekali saja wajahmu kembali muncul di hadapanku, aku tidak peduli apapun ribuan alasan dan kelitanmu… aku bersumpah kau akan menjadi milikku kembali walau aku harus menempuh cara paling mustahil sekalipun.”

Donghae menatap tajam tepat pada wajah cantik dalam gambar indah yang terpampang luar biasa megah di dinding kokoh di depannya. Entah setan apa yang merasuki sehingga ia memiliki sebuah seringaian di bibirnya.

***

Mobil sedan mewah buatan Jerman itu baru saja berhenti di depan sebuah hunian yang bisa dikatakan cukup mewah. Seorang wanita turun dari dalam kendaraan berwarna hitan itu, lalu memandang ke arah rumah dengan sedikit kerutan di dahinya. Sesekali ia membenarkan letak kacamata hitamnya lalu terdengar dengusan dari hidungnya.

“Apa gubuk reot ini yang kau sebut dengan rumah layak huni, Vic?” ujarnya sarkatis. Ia bahkan tak menoleh sedikitpun pada satu sosok wanita yang berdiri sedikit ke belakang di sisi kanan tubuhnya.

My apologize for your uncomfortable, Miss. Tapi menurutku rumah ini sudah sangat baik sebagai tempat tinggal sementara anda di Seoul mengingat kita tak punya cukup waktu karena keterburuan rencana ke Korea.” Wanita itu adalah Victoria – seorang asisten – yang sudah paham dengan karakter atasannya yang tergolong sangat cerewet dengan namanya kenyamanan.

Decakan lidah wanita cantik berambut cokelat lurus itu pun sedikit membuat Victoria cemas. Ia menduga jika sebentar lagi akan ada makian yang keluar dari mulut atasannya itu.

“Kapan seleramu akan berubah lebih baik, Vic? Kau benar-benar ingin menjatuhkan pamorku bahkan ketika aku baru menginjak negara ini lagi?” sebelum sempat Victoria menjawab, wanita itu sudah lebih dulu berjalan angkuh sambil membenarkan tas Christian Loubotin miliknya yang tersampir di lengan. “Kau membuatku kembali berpikir untuk memecatmu.”

Victoria menghela napas berat. Rasanya ingin sekali ia melemparkan sesuatu kepada wanita yang baru saja memberikan umpatan sadis padanya. Ya ampun… bahkan ini entah kali ke berapa ia mendengar ancaman pemecatannya lagi. Sulit sekali membedakan keseriusan dan candaan dari Nona yang usianya masih lebih muda dari Victoria itu. Namun apa boleh buat, Victoria yang selama ini berpikir ia telah melakukan segala sesuatu dengan kemampuan terbaiknya hanya bisa pasrah bila suatu hari ia benar-benar ditendang oleh atasannya itu.

Sebenarnya rumah yang baru akan ditempati itu tidaklah buruk, bahkan bisa dikatakan sangat baik dan nyaman. Tetapi tidak bagi Calistha Im. Dia punya sejuta satu kriteria penilaian sendiri untuk kenyamanan itu. Calistha punya standar kualitas yang sangat tinggi untuk apapun yang diinginkannya.

“Maaf jika anda benar-benar tidak nyaman, Miss. Aku akan usahakan besok anda akan mendapat hunian yang lebih baik dari ini,” rayu Victoria setelah mengejar langkah lebar Calistha menuju ruang tamu.

Calistha yang sudah duduk dengan kaki yang dilipat – sebelumnya ia sudah mengoleskan ujung jarinya di atas sofa itu – memandang malas pada Victoria. “Sudah, tidak perlu. Aku tahu kau sudah kesal hingga ke ubun-ubun hanya untuk negosiasi ulang dengan pemilik rumah mewah lainnya.” Calistha masih menoleh ke kanan dan kiri, memberi penilaian bagi rumah yang akan menjadi tempat tinggalnya selama berada di Seoul.

“Setidaknya tempat ini tidak berdebu. Hanya saja mungkin tugasmu bertambah sedikit untuk mengubah interior rumah ini sesuai dengan seleraku. Kau pasti mengerti kan, Victoria-ssi.”

Ucapan Calistha penuh dengan nada apatis. Ya, ia tidak akan mau ambil pusing bagaimana repotnya Victoria nanti untuk memenuhi segala keinginannya. Dan Victoria sendiri hanya bisa mengangguk dan tersenyum miris. Setelah ini kepalanya pasti akan memanas dan hampir botak sekedar untuk memikirkan pemenuhan keinginan Nona Im.

***

Calistha tersenyum melihat satu sosok pria pada wallpaper ponselnya. Ia dan pria itu benar-benar sangat terikat dalam hal perasaan. Ia baru menginjakkan kakiknya di Korea beberapa jam yang lalu, tetapi ia sudah sangat merindukan pria itu. Mungkin sekedar mendengar suara merdunya akan mampu mengurangi rasa rindunya. Tapi ia masih terlalu banyak berpikir untuk menghubungi pria itu.

Calistha mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru kamar barunya. Memang ia masih belum puas dengan dekorasi kamarnya ini, meskipun sedari tadi ia tak berhenti mengomel dengan permintaan ini dan itu pada beberapa orang yang bertugas untuk melayaninya khusus di rumah barunya.

Kehidupannya sebagai putri bungsu dari keluarga yang sangat kaya ditambah dengan kehidupan yang tidak pernah kekurangan apapun menjadikannya sebuah karakter yang amat sangat tergila-gila dengan ‘kesempurnaan’. Ia takkan pernah sungkan untuk menyingkirkan siapapun yang menjadi penghalangnya untuk mendapatkan semua keinginannya.

Calistha Im hanyalah seorang pribadi yang dingin, kaku, dan cukup arogan. Ia terbentuk dari keluarga yang hampir sama seperti balok es itu. Tidak ada yang berani menghakimi, karena hampir semua orang yang ada di dekatnya paham dengan karakter wanita cantik ini.

Kecuali satu orang…

Ponselnya yang tadi sudah tergeletak manis di atas nakas, kini berdering memperlihatkan ID ‘private’. Ia sempat berpikir sebelum akhirnya buru-buru mengangkat panggilan itu.

“Akhirnya kau menghubungiku juga,” Calistha berbicara seakan tahu siapa yang sedang menghubunginya di seberang sana. Kini wajahnya sudah terbentuk raut cemberut meski ia tak mampu menahan senyum kecilnya.

“I’m just finishing my meeting, love…” sahut seseorang dari seberang telepon dengan nada merayu dan lelah. “Kau ingin aku segera menyusulmu ke Korea, kan? Maka dari itu aku seperti kejar setoran disini.”

Calistha malah tertawa. Ucapan pria itu terdengar seperti rengekan di telinganya. Pria itu adalah satu-satunya orang yang selama ini paling bisa membuatnya seakan melupakan dunianya yang penuh dengan egoisme dan kekakuan.

“Baiklah aku mengerti. Segeralah selesaikan urusanmu dan kembali ke sisiku, Cho. Aku merindukanmu,” ujar Calistha begitu manis seraya membayangkan senyuman hangat pria itu di kepalanya.

“Pasti… Istirahatlah, aku tahu kau lelah menempuh perjalanan panjang dari New York.”

“Okay.”

“I love you, Cal.

Calistha lagi-lagi tersenyum lebar. Ia sangat tahu ketulusan pria itu lewat suaranya. Kebersamaan mereka yang cukup lama sudah cukup membuatnya mengenal pria itu luar-dalam. “I love you too, Marc.”

***

Dengan emosi Donghae membanting berkas itu di atas meja kaca di depannya. Matanya menyorotkan kepedihan dan keraguan. Ia masih tak sanggup berkata-kata menanggapi apapun pernyataan yang ada pada berkas itu.

Sementara Hyukjae masih memilah-milah kalimat yang harus dikatakannya pada Donghae. Hasil penyelidikan yang tertera dalam berkas itu serta-merta juga membuatnya terpuruk. Ia tahu Donghae pasti merasa sangat hancur jika ia benar-benar menerima apa yang tertera di dalamnya.

“Itu adalah hasil penyelidikan terakhir. Kecelakaan bus maut di Gyeonggi-do dua tahun lalu beserta fakta-fakta yang terkait. Aku…” Hyukjae masih berpikir keras, ia juga tak bisa melanjutkan kalimatnya.

“Kau apa?” tanya Donghae ketus. “Kau percaya bahwa data-data korban kecelakaan ini sepenuhnya benar?”

Hyukjae tetap diam. Ia sangat bingung akan bersikap bagaimana melihat reaksi Donghae yang masih abu-abu antara ingin mengamuk dan shock.

“Jadi kau ingin menyimpulkan bahwa istriku benar-benar sudah mati karena kecelakaan itu?” suara Donghae meninggi dan membuat bulu roma Hyukjae meremang.

Hyukjae menelan salivanya terlebih dahulu sebelum bicara, berharap mendapat kekuatan lebih untuk menghadapi situasi ini. “Dengar, Donghae-ssi… data-data korban itu yang paling akurat aku dapatkan dari kepolisian Gyeonggi-do. Jika ada nama Kim Hyoyeon dan Kim Yoona di dalamnya, aku pikir itu bukan suatu kebeteluan. Atau kau ingin—“

“Istriku tidak mati, Hyukjae!!” bentak Donghae penuh emosi.

Hyukjae terkejut dengan suara keras yang keluar dari mulut atasan sekaligus sahabatnya itu. Inilah Donghae yang sebenarnya bereaksi – bukan lagi berada pada warna keabu-abuan – terhadap kondisi istrinya yang baru saja di dapat.

“Tidak. Istriku belum mati, Hyukjae. Aku yakin Yoona masih hidup dan dia menungguku menjemputnya. Yoona akan kembali ke sisiku, Hyukjae-ssi.” Kali ini Donghae berbicara dengan nada lebih pelan dan intonasi yang menggambarkan kegetiran hatinya. Rupa Donghae dalam sekejap berubah menjadi tampak menyedihkan. Seakan tampilannya yang tampan dan gagah layaknya seorang gentleman itu hanya serupa topeng yang hancur dalam satu kali remasan.

“Tapi bagaimana jika memang kenyataan berbicara seperti itu, Donghae-ssi? Sudah cukup kau terus berkubang dalam kehancuranmu. Kau harus bangkit.”

Donghae tergelak sesaat, meski tawanya justru terdengar sangat miris. “Hancur? Aku sudah hancur bahkan ketika Kim Yoona meninggalkanku begitu saja. Dan sekarang kau ingin aku menerima kenyataan hanya karena selembar kertas yang menyatakan kematiannya?”

Donghae berdiri dari duduknya, tampak semakin gagah hanya dengan rahang yang mengeras dan tatapan matanya yang tajam pada Hyukjae. “Aku tidak cukup gila untuk menerima begitu saja cerita selembar kertas itu.”

Donghae mengarahkan jari telunjuknya di udara tepat lurus ke wajah Hyukjae. “Kau… aku perintahkan untuk tak mengendurkan pencarianmu terhadap istriku. Katakan padaku jika kau sudah lelah dan putus asa, karena aku masih punya ribuan harapan untuk menemukannya.”

Hyukjae melongo begitu Donghae meninggalkannya dalam ruangan itu sendiri. Ia masih tidak percaya dengan reaksi pria tampan itu.

Apa kehilangan istri sudah membuatnya kehilangan kewarasan? Atau Donghae terlalu takut untuk menerima kenyataan kematian istrinya akan membuatnya kembali jatuh pada kutukan itu?

Pikiran itu memenuhi kepala Hyukjae. Ia menggeleng-geleng cepat ketika mulai datang hal-hal yang di luar nalar otaknya.

“Ya Tuhan… bantulah aku dan sahabatku itu,” Hyukjae mengelus-elus dadanya sendiri sambil memanjatkan doa. “Jangan Kau buat ia menjadi orang yang gila dengan kesengasaraan karena saat ini saja ia sudah terlihat seperti zombie.”

***

Victoria masih setia menunggui Calistha yang mungkin sudah menyadari kehadirannya tetapi tetap tak bergeming dari percakapannya di telepon. Calistha memang tak pernah mau diganggu saat sedang berinteraksi dengan teman bisnisnya yang berbahasa Perancis itu. Ia tidak segan untuk segera terbang ke Paris demi sebuah limited edition item dan meninggalkan urusan penting lainnya di New York. Hal ini tentunya berakhir pada teguran keras yang kerap diterima oleh Victoria – selaku asisten pribadi Calistha – dari orang-orang yang semestinya sudah menyelesaikan urusan dengan Calistha.

Sungguh Victoria seakan tak bisa berbuat banyak untuk membenahi kebiasaan seorang Calistha. Banyak orang yang justru merasa heran melihat Vic bisa bertahan lama – yang menurut mereka diperlakukan seperti seorang jongos – di sisi Calistha. Tidak ada yang tahu mengapa, bahkan Victoria sendiri tak bisa menjawab. Vic merasa cukup nyaman bersama Calistha, justru ia malah tak tahu ingin berbuat apa saat Calistha tidak ada.

“Kau sudah menghubunginya?” akhirnya Calistha menyelesaikan percakapan panjangnya yang ditutup dengan wajah sumringah. Victoria berani bertaruh bahwa Calistha baru saja mendapat ‘deal’ untuk sebuah barang mewah beredisi terbatas yang harganya selangit.

Victoria kemudian mengangguk tegas. Ia baru saja selesai membuat kesepakatan pertemuan dengan seseorang yang telah memaksa Calistha Im meninggalkan istana emasnya di New York – dan hal ini sungguh membuat Calistha kesal. Victoria harus susah payah mendengar umpatan-umpatan Calistha sebelum benar-benar memutuskan untuk berangkat ke Korea – tanah kelahirannya.

“Aku sudah mengatur semuanya, Miss. Menurutnya kita akan bertemu dengan CEO perusahaan itu langsung untuk bernegoisasi.”

“Baguslah… itu artinya aku tak harus melihat wajah keriput wanita itu. Kau tahu, dia benar-benar menyebalkan!” Calistha malah mengamini situasi yang menurutnya tak menguntungkan sebelum ini.

Victoria mengernyit tak paham, “Kupikir kau belum pernah bertemu dengan wanita itu sebelumnya. Bagaimana mungkin kau tahu wajahnya penuh keriput?”

Calistha tertawa mendengar keluhan unik dari asistennya itu. “Oh itu mudah saja. Wanita itu me-lobby ayahku hingga memaksaku yang turun tangan untuk  mengurus kerja samanya. Kau tahu sendiri ayahku tidak suka berurusan dengan wanita paruh baya yang cerewet dan penuh muslihat.”

Victoria mengangguk paham dan bibirnya membulat. Ia tahu persis bagaimana saat-saat mengesalkan bagi Calistha karena harus mendapat limpahan tanggung jawab dari sang ayah demi proyek kerjasama dengan sebuah perusahaan Korea ketika ia juga sibuk mempersiapkan pernikahannya.

“Jadi kau bisa terka sendiri bagaimana nanti jika aku bertemu dengan wanita itu langsung. Bisa jadi aku tak bisa menahan mulutku untuk tak mengomentari segala hal yang dikenakannya. Apa CEO perusahaan itu seorang pria tua juga?”

Pertanyaan Calistha membuat Vic sedikit gelagapan karena tiba-tiba berubah topik. “Oh tidak, Miss. CEO nya adalah keponakan wanita yang kau sebut tua dan keriput itu. Aku pikir ia pasti seorang pria matang yang bijaksana.”

Calistha memutar bola matanya dan berkeinginan menertawakan omongan Victoria tadi. “Yah, kalau ia cukup tampan kurasa kau boleh saja menebar pesona… siapa tahu dia tertarik padamu. Kau sudah cukup umur untuk menikah, Vic!”

Rasanya Victoria tersedak dengan ludahnya sendiri. Umpatan hampir saja keluar dari mulutnya dan memaki Calistha untuk hal yang tidak disukainya – topik tentang ‘pernikahan’.

“Ah iya… sebaiknya kau pikir ulang lagi untuk menggodanya. Di usia nya yang matang, pasti dia adalah pria beristri. Ckckck… itu tidak baik untukmu, Vic!”

Apa kau tak bisa menutup mulutmu walau semenit, Calistha Im? Teriak Victoria dalam hati dengan gemuruh di dadanya. Namun kemudian ia menghela napas panjang setelah berpikir tidak ada gunanya ia memaki Calistha saat ini. Justru ia akan ditertawakan oleh wanita angkuh itu.

“Aku sama sekali tidak tertarik dengan idemu, Miss. Menikah bukan prioritasku,” jawab Victoria tegas.

“Lalu kau memberi penawaran itu padaku, Nona Song?” Calistha menatap wajah datar Victoria dengan menahan tawa. Tentu ia sadar sudah menyinggung Victoria dengan topik yang sengaja dialihkannya. Victoria sendiri tak memberikan jawaban apapun. “Kau pasti tahu kalau aku juga tidak tertarik. Sudah cukup cinta seorang Marcus Cho untuk kumiliki.”

Jawaban Calistha membuat Victoria mendengus pelan secara spontan. Ia juga memutar bola matanya diam-diam. Ada begitu banyak pria dari beragam latar belakang bisnis menguntungkan – baik pria asing maupun blasteran Korea – yang menyatakan ketertarikannya pada Calistha, tetapi gadis itu hanya memandang pada satu pria. Marcus Cho, seorang eksekutif muda pebisnis ritel yang memiliki kerja sama milyaran Dollar dengan perusahaan telekomunikasi asal Mexico (fakta: pemiliknya dinyatakan sebagai orang terkaya nomor satu di dunia).

Calistha yang tak pernah bisa mengalihkan perhatian pada pria lain dan Marcus Cho yang terlalu memuja Calistha untuk segala hal dari wanita itu. Menurut Victoria, Marcus adalah pria yang sangat perhatian, gentleman, dan tetap memiliki sisi ambisius tentunya. Wajah putih pucat yang tampan dari pria itu tak pelak juga menarik banyak perhatian wanita-wanita di luar sana – dari yang bergelar Nona hingga Nyonya sekalipun.

Tetapi tidak tahu apa yang sebenarnya menjadi penghalang sesungguhnya hingga saat ini kedua sejoli yang saling mencintai itu tak kunjung melangsungkan pernikahannya. Padahal mereka dipertemukan pada rencana perjodohan 7 tahun lalu dan memutuskan untuk bertunangan dua tahun kemudian. Lima tahun sepertinya tak cukup bagi mereka untuk hidup bebas dari tetek-bengek kerumitan pernikahan. Dan Victoria sama sekali tak ingin mencampuri urusan yang satu itu.

***

“Oh keponakanku sayang… aku punya berita bagus untukmu!” Lee Min Jung memekik begitu memasuki ruang kerja Donghae. Wanita paruh baya itu berjalan cepat mendekati meja Donghae dimana pria itu sedang terpekur dan larut dalam keburukan prasangka dalam hatinya.

“Donghae-ah… hei, kau tak mendengarku??” ujar Min Jung lagi karena tak ditanggapi oleh sang keponakan.

Donghae dengan malas mendongak, mengangkat kepalanya yang sedari tadi tertunduk dengan bertopang pada tangan kekarnya. Mata Donghae terlihat memerah, entahlah ia selesai menangis atau karena kepalanya terlalu panas hingga menyebabkan kontak pada matanya juga.

“Berhentilah meratapi nasib burukmu karena aku membawa berita yang sangat bagus untukmu. Lihatlah… apa yang kubawa, sebuah nota kerja sama,” Lee Min Jung membuka map yang dibawanya dan menunjukkan lembaran-lembaran kertas ke hadapan Donghae.

“Kerja sama apa yang gomo maksud?” suara Donghae sama sekali terdengar tak bersahabat. Moodnya terlalu buruk hingga ia tak punya gairah untuk meladeni proyek bisnis dari bibinya itu.

Min Jung tersenyum lebar dan penuh kelicikan ia mendekati Donghae ke sisi tubuh pria itu yang sedang duduk di singgasana kebesarannya. Ia langsung menyodorkan selembar kertas mengenai pasal-pasal perjanjian kesepakatan yang harus dinegosiasikan dalam waktu beberapa hari ke depan.

Donghae berjengit ketika membaca nama perusahaan C&T (Construction & Trading –red) asal Amerika yang ia yakin pernah mendengar wacana kerjasama itu sebelumnya. “Kenapa nama ini muncul kembali? Gomo benar-benar tidak mempertimbangkan baik-buruk ke depannya soal kerjasama ini…”

Lee Min Jung melipat lengannya di depan dada hingga memperlihatkan pose paling meremehkan yang ia punya kepada keponakannya tersebut. “Kau lupa kalau ini bukan pertama kalinya aku melakukan lobby dengan perusahaan besar? Aku bukan orang bodoh yang suka bertindak asal, Lee Donghae.”

“Tapi kenapa harus perusahaan ini?”

“Ya ampun, apa otakmu ikut menjadi rusak dan mengalami amnesia mendadak, eoh? Kau sendiri sudah membahas keuntungan besar yang bisa didapat dari kerjasama ini setahun yang lalu.” Kepala Min Jung menggeleng-geleng heran. “Ayahmu sudah menyetujuinya dan tak ada alasan bagimu untuk menolak.”

Donghae mendengus tak senang. Ternyata bibinya itu sudah lebih dulu menghasut ayahnya untuk menindaklanjuti wacana kerjasama yang dirintis oleh Lee Min Jung sendiri untuk SocFine. Situasi ini membuat Donghae seolah kehilangan kendalinya atas roda kehidupan SocFine sendiri karena bukan ia yang menjadi ujung tombak pengambilan keputusan.

“Aku sudah mengatur pertemuanmu dengan Dotch’s C&T lusa. Oh… dan kau harus siapkan dirimu dengan baik karena perusahaan itu diwakili oleh sang Putri. Mungkin saja kau benar-benar tertarik dengan ideku untuk mengambil perhatian gadis—“

Geumanhae… tidak cukupkah Gomo terlalu mencampurkan urusan bisnis dengan pribadiku?” protes Donghae memotong perkataan Min Jung sebelum wanita paruh baya intu sempat menyelesaikannya. “Berulangkali aku katakan, aku tidak tertarik dengan ide gila itu.”

Min Jung mendesis seakan mengolok suara protes Donghae tadi. “Ah, kupikir kau tak lupa bahwa posisimu belum aman tanpa adanya keturunan. Dan… dimana istri malangmu itu? Terima saja jika mungkin wanita itu benar-benar sudah hilang ditelan bumi. Sudah saatnya bagimu untuk menemukan sosok yang sepadan denganmu.”

Brak!!!

Donghae menggebrak meja kerjanya penuh emosi. Ia bahkan menatap bibinya dengan tatapan seakan ingin menelan wanita itu. Dengan tangan terkepal ia pun memperingatkan bibinya itu, “Hidupku adalah wewenangku. Apapun keputusanku itu bukan urusanmu, Nyonya Lee Min Jung.”

***

Lee Hyukjae baru saja membuka pintu mobil saat seseorang yang berada di dalamnya membuka matanya yang terpejam. Hyukjae menuruti keinginan Donghae untuk menemaninya ke acara Konferensi Pengusaha Muda di salah satu gedung pusat perdagangan di Incheon.

“Semakin hari kau terlihat semakin menyedihkan,” ujar Hyukjae begitu ia duduk di samping Donghae, pada bangku penumpang bagian belakang. Sopir pribadinya pun langsung menggerakkan mobil itu menuju tempat tujuan.

Donghae kembali memejamkan matanya lalu menyandarkan kepalanya dengan posisi yang dirasanya paling nyaman pada jok empuk itu. Kepalanya masih terlalu panas untuk memikirkan banyak hal mulai dari kesibukan kerja, jadwal menggila di depan mata, hingga pikiran tentang kondisi istrinya yang membuatnya semakin gelisah.

“Aku yakin kau mendapat masalah baru setelah melihat bibimu keluar dari ruang kerjamu dengan wajah seputih pualam,” lanjut Hyukjae lagi tak peduli jika Donghae menginginkan ketenangan sejenak.

“Kau benar.” Donghae tetap dengan posisinya yang duduk dengan mata tertutup. “Gomo tidak pernah menyerah dengan rencana gilanya untuk menarik wanita Amerika itu untuk bersanding denganku.”

Hyukjae mengerjapkan matanya kaget, “Aku pikir ia sudah melupakannya. Lalu apa rencanamu?”

Donghae malah tergelak seperti orang yang sedang tersedak. “Apa rencanaku? Tentu saja aku hanya akan menjalankan negosiasi itu tanpa perlu memandang apapun pada wanita milik orang lain tersebut. Kau pikir aku sudah ikut gila untuk melakukan hal itu… sementara aku adalah pria beristri.”

Helaan napas Hyukjae terdengar panjang. Ia menggelengkan kepala lemah merutuki kebodohan sahabatnya. Kapan kau akan sadar jika istrimu sudah tiada, Lee Donghae? Umpat Hyukjae dalam hati.

Hyukjae masih terdiam lama. Kali ini ia memberikan waktu untuk Donghae agar bisa mengistirahatkan pikirannya sejenak sebelum kembali penuh dengan hal-hal berbau bisnis yang sudah menunggunya di Incheon.

“Aku pikir aku perlu segelas kopi saat ini,” akhirnya Hyukjae membuka suara lagi begitu ia melihat sebuah coffee shop ternama yang akan mereka lewati. Hyukjae meminta sang sopir berhenti dan memarkirkan mobil tak jauh dari halaman coffee shop itu. “apa kau juga ingin kopi, Donghae-ssi?”

“hmm… kurasa segelas Americano tidak buruk,” jawab Donghae dengan mata yang masih terpejam.

Bunyi pintu mobil yang tertutup menandakan Hyukjae sudah keluar meninggalkan Donghae dalam keheningan di dalamnya. Sopirnya sendiri tak mengeluarkan suara apapun sehingga mobil itu benar sangat nyaman baginya saat ini untuk rehat sejenak.

Napasnya teratur dan pikirannya mulai tenang setelah melakukan konfrontasi yang melelahkan hati dengan bibinya beberapa jam yang lalu.

Suara-suara yang berasal dari luar mobil terdengar kecil mengingat mobilnya adalah jenis sedan mahal buatan Eropa yang telah dirancang sedemikian rupa untuk kenyamanan penggunanya. Entah kenapa suara heels sepatu dari hentakan kaki seseorang dirasa Donghae terdengar keras di telinganya dan itu cukup mengganggu.

“Kenapa mobilnya diparkirkan terlalu jauh, Vic? Kau pikir teriknya matahari ini tidak merusak perawatan kulitku, eoh!”

Suara omelan milik seorang wanita serta merta membuat mata Donghae terbuka. Suaranya… suara tadi mengingatkan Donghae pada seseorang. Ia yakin tidak salah dengar. Ia sangat yakin telinganya sendiri yang menangkan suara itu.

“Tidak mungkin… Yoona…” lirih Donghae.

Pria itu pun bergegas menoleh ke samping kirinya dan melihat keluar kaca hitam mobil mewah itu. Ia jelas melihat punggung seorang wanita berambut cokelat panjang dengan pakaian modis dan sepatu high heels mahal. Wanita itu berjalan dengan anggun meski terlihat sedikit mempercepat langkahnya dan masih tak segan untuk mengomel pada seseorang lain di belakangnya.

Donghae buru-buru membuka pintu mobil, takut wanita itu semakin jauh berjalan. Ia masih sempat berdiri terdiam, menelaah situasi jika apa yang dilihatnya bukanlah fatamorgana.

Napasnya memburu dan kakinya mulai dilangkahkan untuk mengejar wanita itu, wanita yang disangkanya sebagai istrinya yang hilang.

“Kim Yoona…” panggilnya pelan dengan leher tercekat.

Lebih cepat lagi ia melangkah dan akhirnya ia bisa sangat dekat dengan tubuh wanita itu. Tanpa pikir panjang ia menarik tubuh sang wanita dari belakang, lalu memeluknya erat dengan napasnya yang masih tampak sedikit terengah.

“Akhirnya aku menemukanmu. Kau kembali padaku, Sayang…” bisik Donghae tepat di telinga wanita yang sedang memberontak dalam dekapannya.

“hey, what are you doing, Sir??!!”

To Be Continued…

@misskangen2015

 Halo readers~~

Terakhir aku posting Anathema banyak banget yang nge-demo minta sekuel. Sebenarnya cerita itu memang sengaja dibuat gantung karena sudah ada cerita lanjutan yang terpikirkan. Jadi semoga kalian ga semakin stress baca kelanjutan cerita ini karena aku sendiri memprediksi kisah ini akan menjadi karya paling complicated yang pernah aku buat hohoho….

Okay, setelah membaca jangan lupa meninggalkan komentar, kritikan, saran, dan sebagainya….

See you next chapter!!

102 thoughts on “The Lost Wife Sequel of ‘Anathema’ – (Chapter 1)

  1. pas d awal2 agak nggax ngerti tu calista siapa?
    eh pas ada si gomo bru ngeh kl tu cwex yg mau d cmblangin ama donghae,

    tp gx mgkin itu im yoona kan, cz tu cwex emg da ada pas yoona masih ada mski cm nama doang, trus dia jg dah pnya tunangan udah 7 tahun kenal malah,

    yg bikin pnasaran apa yg bkln trjadi kl donghae jtuh cinta sm calista trus yoona nya msih hidup.

    wah bkln compleceted banget author…
    lanjut bcanya…

    author daebak!!!

  2. Kasian juga liat kondisi donghae yg bner-bner kehilangan orang yg dia sayang bnget,tpi calistha im itu jangan-jangan rekarnasi dari kim yoona wk.tpi makin penasaran yoona kmna apa bner yoona sma hyohyeon kecelakaan

Komentarmu?