Compromise : A Man’s Secret (2)

Image

Tittle                                        : Compromise

Author                                     : misskangen

Genre                                      : Romance, Family

Rating                                      : Mature

Type                                        : Chapters

Length                                     : 5000+ words

Main Casts                              : Im Yoona, Lee Donghae

Minor Casts                            : Kim Youngwoon, Park Jungsoo, Choi Sulli, Kim Taeyeon

Disclaimer                              : All the story and plot is mine. Do not copy or doing plagiarism. Please apologize for unidentified typo(s).

Hello Pyros… Sorry for late update…

Aku sibuk sama kerjaan jadi ngetiknya nyicil sedikit demi sedikit sampai aku sendiri bosan ga ketulungan karena ga selesai lebih cepat. Terima kasih untuk semua komentar, kritik, dan saran yang readers berikan di chapter yang lalu. Aku apresiasi semua yang masuk, dan berharap semoga kalian suka dengan cerita kali ini walau sedikit mainstream hehehehe…

Happy reading all~

COMPROMISE : A MAN’S SECRET (2)

All the story in ‘Yoona POV’

 

Keberuntungan yang membawa kesialan. Tahukah kalian makna apa yang sebenarnya terkandung di balik kalimat yang berisi kata-kata tak sinkron satu sama lain dan menduduki peran penting untuk pengertiannya? Baiklah, menurutku itu adalah sesuatu yang kau anggap menjadi hadiah yang menyenangkan saat kau mendapatkannya tetapi kesenangan itu hanya bersifat sesaat sebelum semua berbalik menjadi menyedihkan. Ambil saja kesimpulan bahwa keberuntungan tidak selalu diikuti oleh kebahagiaan, bisa saja yang datang adalah bencana.

Seperti itulah aku menggambarkan sosok Lee Donghae. Kalau dikatakan beruntung, aku memang harus bersyukur karena Lee Youngwoon tidak berbohong soal anaknya yang tampan, sukses, kaya, dan tentunya idaman semua wanita bila melihat dari segi visualnya. Padahal aku sudah mempermalukan diriku sendiri dengan mengatai anaknya yang mungkin saja tidak normal. Nah, aku berubah menjadi seseorang yang mendapat kesialan saat kutahu bahwa kembali Lee Youngwoon tidak berbohong soal putranya yang berkarakter ‘unik’, berupa mentalitas aroganisme yang tinggi, dingin, dan parahnya memiliki mulut yang tajam serta stok segudang kata-kata sarkatis yang bisa dijadikannya senjata untuk menyerangmu kapan saja.

Tiba-tiba saja aku menjadi orang yang harus rutin memantau tensi darahku setelah bertemu dengan pria bernama Lee Donghae itu. Aku hanya takut tekanan darah yang tinggi akibat kewajibanku menahan kesal dan emosi di depan Lee Donghae suatu saat akan membuatku terkena stroke ringan.

Pada pertemuan pertama dalam scene yang cukup memalukan di depan pintu toilet, ia sukses menyelamatkanku dari bencana mencium lantai setelah aku dengan santai melamun dan menabrak tubuh kokohnya. Tidak banyak kata yang keluar mulutnya selain berbicara dalam bahasa Prancis beraksen Amerika yang berartikan ‘are you okay?’ padaku, setelah itu ia pergi begitu saja tanpa meninggalkan kesan apapun, bahkan tanpa seulas senyumpun.

Pertemuan kedua adalah ketika secara mengejutkan Lee Youngwoon memperkenalkanku padanya. Tanpa aba-aba atau secuil pemberitahuan, pria paruh baya itu berhasil membuatku tampil canggung dan mengenaskan di mata Lee Donghae. Aku sudah seperti pajangan yang baru diantarkan dari pabrik untuk menjadi hiasan di ruang kerja berukuran jumbo itu, yang cukup dikagumi sekali saja lalu dianggap tidak ada.  Dan lagi-lagi ia berbicara padaku dengan bahasa Prancisnya yang menyebalkan. Hei… jangan remehkan aku dengan bahasa asing satu itu. Walaupun bahasa Prancisku tidak sebaik yang ditunjukkan oleh Sica Eonni, tetapi setidaknya aku bisa menggunakannya dengan struktur yang tepat tapi kaku. Ck!

 

Untuk yang ketiga kalinya hmm… kali ini dia mulai menunjukkan taring dan identitas aslinya sebagai pria yang kusebut ‘berotak encer tapi berhati es batu’.  Lee Donghae tak lagi menutupi sikapnya yang tak suka basa-basi tak penting. Dia menanyaiku soal motif menyetujui perjodohan yang diajukan oleh ayahnya. Aku sama sekali tak akan mengaku, karena ini baru awalnya. Aku baru saja bertemu dengannya dan ia bahkan belum sedikitpun memperlihatkan sisi manisnya kepada seorang wanita.

Hari berikutnya, ketika aku kembali menjalani aktivitas pekerjaanku di kantor Taesan, tidak heran jika ada begitu banyak pertanyaan yang ingin dilemparkan kepadaku seperti hujan kupon undian dengan hadiah milyaran Won. Mereka –para karyawati penggosip- sukses membuatku risih, masih dengan tatapan sinis dan curiga.

“Im Yoona-ssi, ada hubungan apa kau dengan putera Presdir? Aku lihat kemarin ia sengaja menemuimu untuk bicara. Apa ada sesuatu yang spesial di antara kalian?”

Victoria, salah seorang karyawan Taesan yang duduk tepat di sebelah kubikelku dan satu-satunya orang yang cukup baik menerimaku di kantor ini. Walaupun ia juga punya sifat ingin tahu yang sangat besar termasuk mengorek informasi dari ranah pribadi orang lain, namun aku tahu ia bukanlah seorang penggosip murahan melihat dari sikapnya yang sedikit skeptis dengan sikap kekanakan yang ditunjukkan oleh karyawan lainnya.

“Ah itu, bukan apa-apa. Hanya sebuah diskusi singkat soal pekerjaan,” sedikit berdusta aku rasa tidak ada salahnya mengingat nasibku juga masih belum jelas soal hubungan dengan Lee Donghae. Aku tidak ingin mengumbar kenyataan palsu layaknya kampanye politik yang mengatakan kalau aku adalah calon istri Lee Donghae, anak pimpinan mereka. Karena jika gagal sebelum waktunya, jelas ini akan sangat memalukan.

“Tapi semuanya merasa aneh, kau ini karyawan baru dan kau terlihat sangat dekat dengan keluarga Lee terutama Presdir dan putra nya. Atau mungkin kabar angin yang mengatakan Lee Donghae akan menikah itu benar, dan kau adalah wanita yang akan dinikahinya?”

Leherku tercekat, ternyata Victoria bukan tipe orang yang mudah menyerah untuk mendapatkan apa yang diinginkannya. Wanita ini memang lebih tua dariku, mungkin juga dia sudah berumah tangga. Entahlah, aku tak ingin mencampuri urusan pribadi orang lain karena selain itu aku juga merasa tak begitu perlu menanyai soal status pernikahannya.

“Kau mencurigaiku, Victoria-ssi?” tanyaku tajam.

“Oh, maaf kalau kau tersinggung. Aku hanya mengatakan apa yang ada dalam pikiranku. Seperti yang kau tahu, semua orang disini juga pasti berpikir begitu.”

Sudah pasti begitu, tidak diberitahu juga aku sudah mengira seperti itu. Mereka jelas tak menyukaiku sebagai orang baru yang secara tiba-tiba akan membawa warna baru dalam lingkungan kerja mereka. Lebih tepatnya aku dianggap sebagai primadona baru sebagai lahan gosip paling subur di Taesan.

***

Bekerja di Taesan sudah membuat semua schedule harianku jadi berantakan. Bagaimanapun aku harus menunjukkan kedisiplinan menjadi seorang ‘karyawan biasa’ yang datang pagi dan pulang di sore hari lalu sisanya aku pulang ke rumah atau menganggur di kala weekend. Tidak seperti ketika aku bekerja di Jeongsil, terkadang aku akan bekerja sampai malam hari mengingat saat itu Jeongsil sedang mengalami masalah. Dan pada saatnya akhir pekan aku akan mengunjungi sebuah panti asuhan yang mendapat sokongan dana dari Jeongsil. Tapi, aku sedikit kehilangan ritme itu karena dua minggu terakhir Presdir Taesan selalu menyibukkanku dengan berbagai hal yang diberinya judul ‘persiapan menjadi menantu’ itu.

Memang benar Jeongsil sudah berangsur pulih sedikit demi sedikit beranjak dari keterpurukan karena bantuan dari Taesan. Tapi tidak semua orang yakin, terutama Paman Park yang percaya kalau Jeongsil masih memiliki potensi besar untuk kembali mengalami kolaps. Semua jadi sangat bergantung pada keputusan Presdir Taesan. Pria satu ini benar sangat ulung dalam dunia bisnis, ia bahkan dengan mudahnya sengaja menggantung nasib Jeongsil pada keputusanku. Lee Youngwoon sangat serius ingin menyiksaku hingga akhir. Ia hanya meredam keingintahuan publik tentang kondisi Jeongsil. Ini sengaja dilakukannya untuk menutupi dari Donghae dan juga semakin menjerumuskanku ke dalam pernikahan konyol itu. Jika aku mengubah keputusanku untuk menikah, maka berakhir pula kehidupan Jeongsil. Benar-benar miris!

Lee Youngwoon berhasil mendikteku untuk melakukan semua yang diinginkannya, mulai dari hal pekerjaan hingga kencanku dengan putranya. Sepertinya ia bisa memprediksi bahwa aku dan Donghae tidak akan semudah itu bisa dekat atau akrab mengingat karakter kami yang nyaris sama – sama saja keras kepala dan gengsinya – jadi ia memutuskan untuk ikut campur. Aku hanya memutar bola mata tiap kali ia memanggilku ke ruangannya dan menanyakan apa saja yang sudah terjadi antara aku dan Donghae.

“Tentu saja kami seperti orang asing karena kami memang orang yang asing satu sama lain,” jawabku seadanya.

“Bagaimana kalian bisa menikah kalau tak pernah berusaha untuk mendekatkan diri?” gerutunya dari balik meja kerja dan duduk di kursi kebesarannya. “Kau harus berusaha menarik perhatiannya dan membuatnya jatuh cinta padamu, Yoona-ssi!”

Aku mendengus. Pria ini punya otak yang encer dalam dunia bisnis tetapi tiba-tiba saja menjadi tumpul ketika berbicara soal perasaan. Apa dia tidak pernah memikirkan kalau mengubah cara pandang seseorang tidak semudah membalik telapak tangan? Apalagi membuat orang jatuh cinta! Dia berbicara begitu mudah seolah jatuh cinta adalah sesuatu yang bisa dipaksa, semudah seorang salesman yang merayu untuk membeli barang dagangannya.

Abeonim… bukankah kau tahu seperti apa putramu itu? Kami baru bertemu beberapa kali. Kalaupun aku sering bertemu dengannya di kantor, ia lebih memilih bersikap seperti tak mengenalku. Kurasa itu menyedihkan!”

Suara tawa Lee Youngwoon memecah keheningan di ruang kerjanya yang hanya berisi dirinya dan aku. Ia pasti menertawakanku yang tidak punya langkah maju untuk mendekati anaknya. Sebenarnya bukan aku tak mau berusaha, hanya saja sikap Lee Donghae itu membuatku harus waspada sehingga aku sedikit mengulur waktu walaupun aku ingin sekali menaklukannya dalam waktu singkat.

“Aku rasa kau memerlukan bantuanku, Yoona-ssi. Kalau begitu malam ini datanglah ke restoran Perancis di Apgujong. Aku sudah mengatur agar kau bisa bertemu dengan Donghae disana. Bicaralah dari hati ke hati, dan usahakan Donghae mau mendengarkanmu.”

“Ck,kau bahkan mengaturkan kencanku,” sungutku pelan dengan wajah datar.

“Ya, karena menurutku kau masih lamban seperti siput. Kau ingin Donghae lebih dulu tahu rahasiamu bahkan sebelum kau sempat menyeretnya ke altar, eoh?”

Ya ampun, dia bahkan mendengar suara bisikanku! Aku jadi sedikit menyesali kenapa harus memiliki perjanjian dengan orang ini. Ia sama saja seperti rentenir atau debt collector yang mempunyai seribu satu cara untuk mengancam mangsanya.

Arasseoyo, Abeonim…” tukasku tajam.

Setelah itu, aku sudah tak tahan lagi menjadi bulan-bulanan leluconnya soal kelambananku untuk menjerat Donghae. Aku segera meninggalkan ruangannya dan menjauh dari kesinisannya. Tapi aku malah bertemu dengan si penyebab bencana di depan pintu ruangannya. Lee Donghae!

Ia menatapku datar dan wajahnya lebih tepat kalau digambarkan sebagai ekspresi meremehkan. Sekali lagi aku terpaku pada matanya yang bening dan sendu namun sangat menenangkan untuk dipandang ketika ia tak memperlihatkan sikap arogannya. Aku bahkan merasa ia mungkin adalah pria yang hangat jika menyesuaikan mata yang dimilikinya.

“Aku perhatikan kau rajin sekali datang ke kantor Presdir. Padahal, kau hanya karyawan yang tidak harus berurusan langsung dengan Presdir,” Ia berbicara dengan nada curiga.

“Apa kau keberatan jika aku mempunyai urusan pribadi dengan Presdir, Lee Kwanjangnim?” Kekesalanku terhadap Presdir Lee ternyata masih terbawa-bawa hingga aku berbicara dengan nada dingin seperti ini.

Ani… sama sekali bukan masalah.” Jawabnya dengan seringaian kecil. “Aku hanya berpikir kalau kau sedang berperan menjadi calon menantu yang baik disini. Sangat membanggakan sekaligus menjijikkan…”

Kata-katanya membuat bahuku menegang. Kasar dan cukup menyakitkan… apa dia memang tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan orang yang mendengarnya berbicara?

“… seperti itulah yang akan dipikirkan orang-orang disini melihat kelakuanmu.”

“Aku tidak akan memaksakan diri datang kesini kalau bukan ayahmu also known as my future father-in-law yang memintaku menemuinya. Aku hanya menghormatinya seperti apa yang kau tunjukkan kepada orang tuamu.” Aku mengarahkan satu telunjukku tepat di dadanya dan sedikit memberikan dorongan disana. “Tahukah kau, Donghae-ssi… bahwa mereka tak pernah menganggapku menjijikkan seperti yang kau katakan. Tetapi mereka iri dengan keistimewaan yang aku dapatkan sebagai calon menantu yang baik.”

Setelah membalasnya dengan cukup kasar dan tajam aku pun buru-buru meninggalkan tempat itu. Ini tidak tepat jika harus bertengkar dengannya di kantor, apalagi malam ini kami harus menjalani kencan yang telah diatur oleh Presdir Lee.

***

“Kau akan pergi?” langkahku terhenti saat mendengar suara Bibi Im yang memergokiku sedang berjalan menuju pintu keluar rumah. “Kau terlihat rapi dan sangat cantik dengan dandananmu. Apa kau akan berkencan?”

Bibi pasti bisa melihat kalau tampilanku sedikit berbeda dari biasanya yang kulakukan bila kan pergi ke luar bersama teman atau rekan kerjaku. Aku sengaja  berdandan total –sebenarnya bukan hal yang sering kulakukan- karena malam ini aku ingin menggoda Lee Donghae. Bukan ‘menggoda’ dalam pengertian negatif. Aku hanya ingin pria itu terkesan padaku dan sudah seharusnya menganggapku sebagai seorang wanita yang istimewa dan berharga.

Ne. Aku akan pergi makan malam dengan Lee Donghae.” Aku memang tak perlu menyembunyikan sesuatu dari Bibi tentang pria yang akan kunikahi itu. Saat pertama kali aku menceritakan padanya tentang Lee Donghae, Bibiku itu memasang wajah memelas yang prihatin dengan nasib sialku bertemu dengan pria dengan karakter seperti itu. Bibi jelas mengkhawatirkan masa depanku bila harus hidup bersama Donghae, apalagi berdasarkan sebuah perjanjian bisnis.

“Hmm… aku hanya bisa berpesan agar kau bisa menjaga diri dan tingkah lakumu di depan pria itu. Jalankan segala hal yang telah kau rencanakan dengan baik dan selalu waspada.”

Aku tersenyum mendengar nasehat yang disampaikan oleh Bibi. Kekhawatirannya mungkin sedikit berlebihan, tapi aku sangat mensyukuri dengan pengertian yang diberikan olehnya. “Arasseo, Imo… Aku pergi dulu.”

Di depan aku sudah ditunggu oleh Yoo Ahjussi, supir keluarga yang sudah bekerja cukup lama pada Paman Park dan juga Jeongsil. Dia akan mengantarku sampai ke restoran Prancis di Apgujong. Aku tidak akan menyuruhnya menungguku, karena aku tidak tahu pasti akan pulang cepat atau justru menghabiskan waktu lebih lama dengan calon suamiku itu.

***

Aku sampai di Restoran yang bergaya klasik Prancis ketika sudah melangkahkan kaki ke dalamnya. Semua pengunjung di Restoran bernama La Grandè ini tampak berkelas. Aku mengira restoran ini pasti sangat mahal bila melihat semua yang terkait mulai dari gedung, pengunjung, bahkan mungkin nantinya aku akan menemukan menu makanan yang harganya selangit.

Aku diantarkan oleh seorang pelayan restoran, seorang pria Korea yang cukup tampan dengan senyuman ramah dan berbahasa Prancis seadanya untuk menyapa tamu. Aku dibawa ke salah satu bilik khusus yang dirancang untuk tamu-tamu VIP.

Lee Donghae sudah berada disana, duduk menunggu dengan kesibukan memainkan ponselnya sendiri. Hanya ada dirinya, itu berarti aku memang harus berusaha keras agar terlihat nyaman berada bersamanya hanya berdua.

“Maaf, aku terlambat. Aku terkena macet di jalan,” kataku dengan tenang sambil duduk di kursi yang telah ditarik oleh pelayan untukku. Donghae mengangkat kepalanya yang tertunduk dan menatap ponsel ke arahku yang duduk tepat di depannya.

Donghae tersenyum. Meski tidak begitu lama, namun itu adalah senyuman pertamanya yang diberikan padaku tanpa embel-embel seringaian atau ejekan di wajahnya. Senyumnya seperti tulus. Aku tahu Lee Donghae sedang berusaha bersikap baik untuk memulai acara makan malam ini, walau aku tahu sebenarnya ia nyaris bosan menunggu sendirian disini.

Donghae menatapku, seperti sedang menilik atau mencari sesuatu yang salah dalam diriku. Ia memberiku tatapan yang mungkin bisa melumerkan cokelat dalam sekejap. Aku balik menatapnya, lebih tepatnya mengaguminya yang memang selalu terlihat tampan dan kali ini cukup istimewa dengan jas biru tua dan rambutnya yang tersisir rapi kebelakang. Aku ingin mengatakan kalau Lee Donghae selalu mempunyai nilai lebih di mataku tapi hanya secara visual, dia masih sulit mendapat nilai postif untuk sikapnya.

“Haruskah kita mengikuti remaja-remaja yang berkencan pada umumnya? Seperti kau yang terlambat pada kencan pertamamu.” Donghae mengatakan itu tanpa ada kesan sinis atau sindiran.

“Jadi kau menganggap ini sebuah kencan?” kataku cuek tidak bermaksud menantangnya. “Tidak buruk juga. Aku pikir kau sudah lupa bagaimana caranya berkencan ala remaja Korea karena terlalu lama di Kanada.”

Jawabanku sepertinya tidak mengandung unsur komedi, tetapi ia malah tertawa singkat. Hanya tertawa singkat! Dan wajahnya pun sedikit berkurang kekakuannya. Semoga saja pertemuan kami kali ini tidak akan berujung pada perdebatan atau mungkin pertengkaran yang tidak perlu.

Buku menu yang memiliki tampilan sangat menarik dari desain gold yang mewah itu harusnya bisa membuat siapapun yang membacanya menjadi tidak sabar untuk melihatnya. Begitu juga diriku, aku juga tidak sabar melihat bagaimana bentuknya menu-menu yang akan kupesan nanti ketika muncul di atas meja. Aku khawatir akan muncul menu yang aneh yang membuatku terpaksa menelannya dengan tak ikhlas. Aku memang tak seperti Sica Eonni yang tergila-gila dengan all about France, lidahku benar-benar lidah orang Korea.

“Apa kau tak suka menu makanan disini? Atau kau bingung ingin memesan yang mana?” Aku tersentak mendengar suara Donghae. Tampaknya ia melihat jelas kerutan di keningku ketika membaca buku menu. “kau baik-baik saja, Yoona-ssi?”

Nde? Ya, aku baik-baik saja. Aku hanya tidak terlalu menyukai western food.”

Really? Aku jadi penasaran ada berapa banyak pria yang kau kencani sebelum aku yang mengajakmu makan malam di Restoran asing? Jangan-jangan aku pria pertama…” Donghae menahan senyum saat mengatakan semua itu.

“Jangan mengejekku, Donghae-ssi. Aku tidak suka makanan western bukan berarti tidak pernah datang ke restoran asing.” Sahutku tajam dan bibirku mencebik.

Arasseo.. kau tidak perlu marah karena aku hanya bercanda. Aku tahu wanita kelas atas sepertimu tidak mungkin kurang pergaulan seperti itu.” Aku menghela napas. Pria di hadapanku ini ternyata bisa melontarkan candaan padaku. Aku pikir ia hanyalah sebuah robot yang sudah diprogram untuk selalu bersikap sarkatis.

“Aku pikir mulai sekarang kau harus berlajar terbiasa dengan western food sebagai persiapan jika aku membawamu ke Kanada setelah kita menikah. Kecuali, kau bisa memasak semua makanan Korea itu sendiri. Karena semua maid di rumahku bukanlah orang Korea.”

Setelah kita menikah… Oh, dia mengatakannya seakan-akan hal itu benar-benar akan terjadi dan dia menganggapku sebagai istri yang dibawa ke rumah pribadinya. Sungguh sangat menyenangkan seandainya aku dan dia adalah pasangan yang akan terikat dengan landasan cinta. Sedangkan kami hanyalah dua orang yang berasal dari kubu yang berbeda yang mengemban masing-masing misi. Jadi aku hanya memutar bola mata menganggapi pernyataannya.

“Kenapa? Kau tidak bisa memasak?” tanya lagi.

“Aish… kau senang sekali meremehkanku, Donghae-ssi,” seringaiku. “Meskipun keluargaku kaya, bukan berarti aku manja dan tak bisa melakukan pekerjaan rumah. Aku selalu diajari memasak oleh Bibiku di rumah.”

Donghae mengangguk dan wajahnya masih saja dengan ekspresi meremehkan dan mengejekku. Dasar menyebalkan! “Baiklah, promosimu tidak buruk. Lain waktu aku ingin mencicipi langsung masakanmu, apa benar-benar enak seperti yang kubayangkan.”

“Oh baiklah, aku terima tantanganmu.” Ucapku mantap dengan dagu terangkat. Aku sudah tidak sabat ingin membuktikan kualitasku sebagai wanita. Kalau boleh berbangga diri maka aku akan mengatakan kalau diriku adalah salah satu calon istri idaman pria di Korea. Tapi itu hanya pendapatku dan tentunya mendapat dukungan dari keluargaku. Sebab, aku masih lebih baik dinilai dari segi seorang wanita dibanding Sica Eonni yang sangat cuek menyangkut wacana ‘ibu rumah tangga’.

Selepas pembicaraan tak penting yang berisi ejekan tidak penting itu, makanan pun diantarkan ke meja. Sudah ku tebak kalau menu yang kupesan pasti biasa saja. Aku hanya memesan makanan yang sudah beberapa kali kudengar atau coba kumakan ketika aku pergi ke Perancis mengunjungi kakakku.

Sepanjang makan malam hingga selesai, tidak ada pembicaraan penting yang dilalui, hanya beberapa topik remeh namun menurutku cukup membuatku mengerutkan kening. Bayangkan saja ia menanyaiku soal latar belakang pendidikanku, deskripsi pengalaman kerja yang pernah kujalani, bahkan prestasi yang pernah kuperoleh. Aku bertanya-tanya dalam hati, Donghae tidak bermaksud melakukan wawancara kerja denganku kan? Aku akan menjadi istrinya atau malah jadi sekretarisnya?

“Kau pasti berpikir kalau sikapku sedikit aneh karena menanyai hal-hal yang sebenarnya tidak penting ditanyakan seorang calon suami kepada calon istrinya, begitu kan?” Aku tertegun karena ia berbicara seolah ia bisa mendengar semua pikiranku.

“Ya, aku seperti sedang melakukan walk interview.” Donghae tergelak mendengar istilah yang terdengar seperti lelucon di tengah-tengah kencan orang dewasa

“Maaf jika kau tak nyaman. Aku terbiasa berkencan dengan wanita-wanita asing. Kau bisa jadi wanita Korea pertama yang kukencani, sehingga aku tidak begitu tahu seperti apa hal yang harusnya dibicarakan. Aku hanya tak ingin menyinggung perasaanmu.”

Menyinggung perasaan? Apa Donghae tidak sadar bahwa sejak awal sikapnya dan caranya berbicara sudah membuatku kesal setengah mati? Dan sekarang ia berbicara seolah dia tak pernah melakukan semua itu layaknya seorang pria innocent. Lalu, bila aku adalah gadis Korea pertamanya, bagaimana ia tahu tradisi kencan remaja Korea yang disebutkannya tadi? Mungkin ia juga suka menonton drama yang marak di televisi.

Aku tidak habis pikir dengan tingkahnya!

***

“Kau akan langsung pulang ke rumah?” tanya Donghae ketika kami sudah sampai di luar Restoran menuju parking lot.

Ne…” jawabku sambil celingukan mencari mobil yang dikemudikan Yoo Ahjussi. Mungkin saja ia sudah datang untuk menjemputku setelah aku mengiriminya pesan singkat tadi.

“Aku akan mengantarkanmu pulang,” Aku menolehkan kepalaku, berhenti celingukan dan beralih menatapnya penuh tanya. “Kenapa? Aku pikir tidak ada yang salah jika aku mengantarkan calon istriku pulang ke rumah.”

“Tapi aku sudah meminta supirku untuk—“

“Kau tinggal membatalkannya saja kan? Aku pikir supirmu tidak akan keberatan” Seenaknya dia memotong kata-kataku. Aku menghela napas pasrah. Tetap saja aku tak boleh menolak atau sama saja aku akan membuang kesempatan untuk lebih dekat dengannya.

Aku mengikuti Donghae berjalan menuju mobilnya yang terparkir tak jauh dari pintu keluar. Sebuah sedan mewah yang tentu saja menyilaukan mata orang biasa, terpampang sebagai bagian dari gaya hidup seorang Lee Donghae. Tidak mengherankan mengingat siapa dia dan bagaimana latar belakang keluarganya. Walau hidupku tak jauh berbeda dengannya, namun aku tidak terlalu terkesan untuk memamerkan segala bentuk kemewahan yang kupunya. Apalagi dengan keadaan perusahaan keluarga yang tidak baik, bisa jadi aku dianggap seorang madame defisit oleh para karyawan Jeongsil.

Layaknya seorang gentleman, Donghae membukakan pintu mobil untukku di kursi penumpang di bagian depan. Dengan senyuman singkat yang kuberikan padanya, aku melangkah mulus masuk ke dalam mobil dan langsung memasang seatbelt.

Situasi di dalam mobil terkesan lebih kaku dari pada ketika kami berada dalam ruang VIP di Restoran Perancis tadi. Aku hanya sesekali melirik padanya, dan aku juga sering memergokinya yang melirikku. Walau ia selalu memasang wajah serius untuk konsentrasi menyetir, tapi aku tahu kalau pikirannya juga melayang-layang tak jelas sepertiku.

“Jadi kau tinggal bersama Paman dan Bibimu?” Tanya Donghae menghentikan keheningan dalam mobil dan memaksaku memberanikan diri menoleh kepadanya. Baru saja beberapa menit yang lalu aku memberitahunya alamat rumahku dan sekarang ia menanyaiku soal keluarga yang tinggal bersamaku.

“Ya, aku tinggal dengan paman dan bibiku beserta dua sepupuku.”

“Lalu dimana orang tua kandungmu?”

Aku menatapnya tak percaya, mengapa ia harus menanyakan hal itu bila ia sudah tahu semuanya. Aku tahu bahwa Donghae memerintahkan seseorang untuk menyelidiki latar bekangku mulai dari keluarga hingga perusahaan. Hanya, ia tak bisa mendapat informasi akurat tentang Jeongsil dan kondisi keuangan Jeongsil sekarang setelah sebelumnya sempat diberitakan akan mengalami kebangkrutan. Aku harus berterima kasih pada Lee Youngwoon karena sudah membuat segalanya berjalan dengan baik agar rahasiaku tersembunyi dari Donghae.

“Orang tuaku sudah meninggal, jadi sejak kecil aku diasuh oleh Bibiku. Bukankah kau sudah tahu semua informasi tentangku, Donghae-ssi? Untuk apa kau menanyakannya lagi?” tanyaku penasaran dan sama sekali tidak bisa menebak motifnya.

“Sebagai tunanganmu aku ingin memastikan bahwa kau nantinya akan baik-baik saja hidup bersamaku. Seperti halnya jauh dari orang tua dan keluarga atau seakan melupakan bahwa mereka ada. Seperti halnya hidup sebagai yatim piatu walau kau tak kekurangan satu apapun…”

Aku terdiam dan berpikir keras untuk menelaah kata-katanya. Aku tidak tahu tiba-tiba saja otakku sulit berpikir cepat saat ini, Mungkin itu karena aku melihat bagaimana rahang Lee Donghae mengeras saat mengatakan kalimat terakhirnya.

“Melupakan orang tua dan keluarga? Aku tidak mengerti maksudmu, Donghae-ssi,” aku tak bisa bertahan lama-lama memendam kejengkelanku karena tak bisa memahami maksud perkataannya.

“Bisakakah kau berpikir bagaimana seandainya bila kau hidup dalam sebuah rahasia yang membuatmu terus berupaya mengungkapnya dan menjadikan kenyataan seperti yang kau inginkan?”

Aku mendengus karena kembali ia melontarkan kalimat-kalimat berkonotasi yang tak bisa kupahami maksudnya untuk saat ini. Dia berbicara tentang rahasia dan kehidupan. Apa dia tahu sesuatu tentang rahasiaku? Aku rasa tidak. Aku percaya Lee Youngwoon tidak akan teledor membiarkan semua hancur begitu saja. Tapi Donghae, apa yang disembunyikan pria ini?

“Berhentilah menghujaniku dengan kalimat-kalimat ambigu itu, Donghae-ssi. Semua yang kau katakan justru membuatku bertanya-tanya tentangmu dan aku selalu berusaha menebak jalan pikiranmu.”

Donghae menghentikan mobilnya perlahan saat aku sepintas melihat bahwa aku sudah sampai di depan rumah. Aku kembali mengarahkan tatapanku pada Lee Donghae dan ia membalas memandangku penuh keseriusan.

“Jadi hal apa yang paling membuatmu penasaran tentangku, Yoona-ssi?”

“Kau….” Pelan-pelan aku mencoba mengucapkan pertanyaan yang selalu muncul dalam kepalaku. “… sebenarnya apa tujuanmu menerima pernikahan yang diajukan oleh Presdir Lee? Padahal jelas sekali kau terlihat seperti membenci ayahmu walaupun kau masih menghormatinya. Apa yang sebenarnya kau inginkan, Lee Donghae-ssi?”

Dia tersenyum. Senyumannya berubah, bukan lagi sebuah senyuman selamat datang atau senyuman meremehkan yang sering ditunjukkannya. Senyuman itu lebih tepat dikatakan sebagai isyarat bahwa ia sudah menduga aku akan menanyakan hal ini. Sementara matanya menatapku tajam, menusuk walau aku yakin ia hanya berniat mengintimidasi.

“Kau sangat ingin tahu?” aku tak menjawab. Aku terus membalas tatapannya, membuktikan bahwa aku sedang tidak ingin bercanda.

“Aku tidak akan memberitahumu sebelum semua berjalan seperti yang kurencanakan. Aku akan memberitahumu saat kau sudah menjadi istriku dan aku yakin kau bisa kupercaya sebagai seorang partner. Jadi, lakukanlah apa yang ingin kau lakukan. Keinginanku sekarang adalah menjalani pernikahan ini sebagaimana yang telah ditetapkan, sebuah pernikahan bisnis.”

Ternyata Donghae juga mempunyai motif tersendiri dalam wacana persetujuan pernikahan ini. Aku dan Donghae, kami sama-sama mempunyai keterikatan dengan sebuah kepalsuan hati untuk menjadi pasangan suami istri. “kau seseorang yang sangat pintar menyembunyikan muslihat di balik sikap manismu, Donghae-ssi.”

“Kau tidak perlu mengkhawatirkan apapun dengan apa yang kusembunyikan, Yoona-ssi. Sebagai istriku, kau akan hidup bagai ratu yang akan mendapatkan semua yang kauinginkan. Aku jamin itu.”

Seringaian kecil terpatri dibibirku, menanggapi dingin kepercayaan diri Lee Donghae yang menurutku sedikit berlebihan sekaligus mengesankan. Pria itu sudah berpikir sangat jauh, bahkan mengikutsertakanku dalam list jangka panjang yang dipersiapkannya sebagai antisipasi realita.

“Aku sudah sampai,” kataku sambil membuka seatbelt. “Terima kasih sudah mengantarku pulang, Donghae-ssi.” Aku memutar tubuh hendak membuka pintu mobil tapi suaranya kembali mencegahku.

“Yoona-ssi…” Aku kembali menoleh padanya dan mengangkat alisku. “Aku rasa aku belum mengatakannya. Kau… malam ini sangat cantik.”

Aigoo… dia memperlihatkan senyuman lebar yang membuat pipiku berhasil memanas. Tanpa kuperkirakan bahkan Donghae berani memajukan tubuhnya mendekatiku dan tanpa aba-aba dia mencium bibirku. Aku diam tak bergerak, begitu kaget dengan perlakuannya. Entahlah berapa detik itu terjadi, tapi aku merasa melewatinya sangat lama meski ia hanya memberi sentuhan bibir bukan sebuah ciuman dalam ala French kiss.

“Harus kuakui aku beruntung karena Ayahku memilihkan tunangan yang cantik. Anggap saja ciuman pertamaku untukmu ini adalah ungkapan rasa syukurku. Aku menyukaimu malam ini.”

Setelah sempat membisikkan kata-kata penuh godaan itu, ia menyempatkan diri mengecup pipiku pelan. Reflek, aku mendorong bahunya setelah kesadaranku kembali. Mataku membulat, menatapnya tak percaya. Menurutku kelakuannya tadi tidak sopan. Walaupun ia adalah tunanganku, tetap saja aku tidak ingin ia menciumku seperti itu.

Nappeun…” lirihku sambil terburu-buru membuka pintu mobilnya. Aku juga tidak mau lagi menoleh atau meliriknya yang masih berada di dalam mobil. Pintu mobil yang terbanting menjadi saksi betapa kesalnya aku pada kejadian barusan.

“Yoona-ssi…” panggilnya lagi, dengan jendela mobil yang terbuka. Aku hanya berdiri membelakanginya. Saat ini aku tak ingin ia akan menilaiku sebagai gadis manis yang mudah dirayu pria karena aku yakin saat ini pipiku masih merona.

“Lain kali aku akan datang berkunjung ke rumahmu untuk bertemu dengan paman dan bibimu secara resmi sebagai calon suami yang baik.”

Whatever!” umpatku pelan setelah Donghae menyelesaikan kata-katanya. Aku tidak peduli kalau ia mendengarnya. Mungkin akan lebih baik jika begitu, biar dia tahu kalau aku tidak peduli dengan sikap baiknya yang menurutku hanya sebuah kamuflase.

Dengan langkah tegap aku meninggalkan mobilnya. Terserah jika Donghae mau berlama-lama di depan rumahku karena aku tidak akan sudi untuk bertemu dengannya lagi untuk malam ini. Tadi dia bilang menyukaiku untuk malam ini… lalu bagaimana dengan malam-malam selanjutnya? Apa aku harus terus berdandan dengan make up tebal untuk membuatnya terkesan? Apa Lee Donghae hanya menyukai wanita-wanita pesolek yang mengagung-agungkan kecantikannya di mata publik?

Oh Tuhan… sesulit itukah jalan yang ku tempuh untuk melewati krisis ini…

***

“Eonni!!” suara dari kegelapan kamarku sangat megejutkan. Sebuah gerakan samar dalam gelap itu membuat jantungku berdegup kencang. Kalau saja aku tidak mengenali suara yang memanggilku tadi, mungkin saja aku sudah berteriak karena mengiranya maling atau hantu yang singgah ke kamarku.

“Yak, Sulli… apa yang kau lakukan di kamarku tanpa menghidupkan lampu, eoh? Aku rasa Halloween sudah lewat.” Omelku sambil meraba-raba dinding mencari saklar lampu. Setelah lampu menyala terang, aku melihat Sulli sedang asyik duduk di atas ranjang sambil memainkan bantal.

“Aku tadi ketiduran di kamarmu. Bukannya sedang merayakan Halloween,” Sulli memberikan cengiran khasnya yang membuatku langsung tersenyum. Anak itu memang suka bermain di kamarku, apalagi jika dia punya suatu kepentingan mendesak yang membutuhkan bantuanku untuk menyelesaikannya.

“Lalu mengapa kau tak tidur di kamarmu? Pasti ada sesuatu yang ingin kau tanyakan padaku,” karena lelah akupun ikut berbaring di kasur, di sebelah Sulli yang kini sedang menatapku bingung.

“Kau selalu tahu apa yang kuinginkan, Eonni.” Sulli menarik lenganku, membangunkan aku agar duduk seperti halnya dia yang menungguku untuk memberikan jawaban-jawaban yang di inginkan. Mau tidak mau, aku mengikutinya dan menanti pertanyaannya dengan mata yang mulai berat padahal jam masih menunjukkan pukul sembilan. Berkonfrontasi dengan Donghae memang melelahkan hingga aku merasa ingin tidur begitu sampai ke rumah.

“Aku dengar tadi kau bilang pada Eomma kalau kau pergi berkencan. Benarkah itu? Eonni benar-benar sudah berpisah dari Jonghyun Oppa?”

“Kenapa kau membahas orang itu lagi, eoh? Aku sudah putus darinya setengah tahun yang lalu..” gerutuku tak senang karena nama mantan kekasihku kembali disebutkan oleh Sulli.

Dia pasti masih merasa penasaran dengan keputusanku berpisah dengan Jonghyun beberapa bulan yang lalu. Sulli sangat menyukai Jonghyun sebagai kekasihku. Menurutnya Jonghyun adalah sosok yang tepat menjadi suamiku kelak. Tapi kurasa aku dan Jonghyun memang tidak berjodoh, ada banyak hal yang membuat kami sulit menyatukan visi dan misi. Jadi jika perpisahan itu terjadi, tidak lagi menjadi hal yang aneh.

“tapi bagaimana dengan perasaanmu padanya? Kau masih mencintai Jonghyun Oppa, kan?” Sulli terkesan mendesakku untuk berbicara panjang lebar dengannya. Aku mendorong kepala Sulli, lebih karena aku tidak ingin mengungkit masa lalu.

“Tahu apa kau soal cinta?” Ayolah… Sulli baru berumur 17 tahun dan dia sudah ingin menguliahiku soal cinta. “Unfortunately, Jonghyun and I… we won’t work for that word, Sulli-ah! Terlalu banyak yang menjadi penghalang bagiku untuk bersama Jonghyun.”

Termasuk… ketidakjujurannya. Entahlah, aku merasa Jonghyun tidak sepenuhnya menunjukkan kepadaku tentang siapa dirinya. Lee Jonghyun seperti menyembunyikan sesuatu yang dia tidak ingin aku tahu. Berawal dari kisah ketidakberuntungan itulah aku menutup buku tentang asmara lama antara aku dan Jonghyun. Sekarang hanya ada Lee Donghae yang akan menjadi masa depanku, meski sulit bagiku untuk membayangkan bagaimana kisahku akan berjalan nantinya.

Suara helaan napas panjang terdengar keluar dari mulut Sulli. “Kalau memang begitu, akupun tidak bisa memaksa. Apalagi kemarin Minho bilang dia melihat Jonghyun Oppa menggandeng wanita baru. Walau aku sedikit kecewa, tapi aku tak bisa memprotes apapun.”

“Baguslah kalau begitu. Itu artinya aku dan Jonghyun sama-sama sudah bisa move on!” sahutku dengan antusias yang dibuat-buat. Aku kembali berbaring dan menarik bantalku dari pelukan Sulli.

“Lalu, siapa kekasih barumu? Apa aku mengenalnya?”

Aishh… tidak bisakah anak ini berhenti menginterogasiku. Aku sudah pusing dengan urusan Donghae selama makan malam tadi. Jika ia ingin infromasi lebih banyak, nanti akan ada saatnya Sulli terkejut ketika aku mengenalkan Donghae sebagai calon suamiku.

“Kau tidak mengenalnya. Nanti kau juga akan tahu…” jawabku dengan mata terpejam. Biar saja Sulli menjadi sebal padaku karena menggantungkan keingintahuannya soal pria itu. “ya sudah, sana kembali ke kamarmu. Aku sudah mengantuk sekali!”

***

Ponselku berdering sesaat menandakan satu pesan singkat masuk. Tatapanku langsung beralih dari layar komputer kepada ponsel. Pesan singkatnya berhasil membuatku mengerutkan kening karena menurutku isinya aneh dan membuatku penasaran.

~Jika Presdir menanyaimu sesuatu nanti, kau hanya cukup menjawab seperlunya.

Pesan ini dikirim oleh Donghae, namun tidak dijelaskan mengapa ia mengirimi aku hal seperti ini. Apa yang dia maksud aku harus menjawab seperlunya pada Presdir? Apa yang sedang direncanakan Donghae untuk menghadapi ayahnya yang sangat ambisius terhadap pernikahan ini?

Kemarin malam ia sempat menyebutku sebagai ‘partner’ yang diharapkan bisa dipercaya. Mungkin saja Donghae memerlukan bantuanku untuk mencapai tujuan pribadi yang telah direncanakan dan masih disembunyikannya itu? Lalu bagaimana dengan aku sendiri, aku mempunyai sebuah rahasia berupa misi berjangka lima tahun yang diberikan Lee Youngwoon dan ini berkaitan dengan bagaimana aku akan menjalani hidup dengan Donghae. Aku merasa sudah berada di depan pintu gerbang dilema.

“Yoona-ssi, Presdir memanggilmu ke ruangannya.” Sekretaris Presdir mendatangi kubikelku hanya untuk menyampaikan pesan Lee Youngwoon agar aku menemuinya. Kebetulan sekali, mungkin saja Donghae sudah memperkirakan kalau hari ini aku akan bertemu dengan ayahnya. Sudah bisa ditebak kalau Presdir Taesan itu pasti ingin tahu banyak soal kencan kami kemarin malam.

Harus seperti apa aku bersikap? Aku akan mengikuti keinginan Lee Youngwoon atau aku akan beralih pada keinginan Lee Donghae, menjadi partner yang dipercayanya?

To Be Continued…

97 thoughts on “Compromise : A Man’s Secret (2)

  1. yoonhae udah mulai deket…walaupun keduanya masih sering ga cocok…
    penasaran sama misi terselubung donghae…
    lee jonghyun apa ada hubungannya ma donghae..sama sama marga lee….
    next part buruan thor…ditunggu

  2. lanjut author ..
    donghae misterius likk..
    jonghyun itu mungkinkah ada hubungan dengan dongek ?
    i dont no ..
    hanya author yg tau kekeke

  3. Ceritanya misterius banget,
    Semoga yoonhae cepat2 saling jatuh cinta dalam percintaan yang dilandasi bisnis itu,
    Ayo authooor lanjuuut, tambah penasaran !!!

  4. Hae udah mulai tertarik ma yoong.
    Wah bagus tuh.
    Dan hae juga mencium yoong.
    Wah so sweet.

    Gg sabar nunggu nextnya.
    Fighting.

  5. wiihh..makin seru aj,dua2nya punya misi yg satu udah d ketahui yg stu lagi msih misteri…bkin penasaran,akankah nanti Jonghyun dtang mnemui yoona dan ikut mnghncurkan smua? nextt

  6. a man secret haha yoona d ambang kebimbangan kkk,,makin lama kocak ceritanya..saling bantu mmbantu dah ntar –“

  7. Uuuhhhhh
    Pasti yoona onnie binggung y mau dipihak mna yang jelas ikuti kta hati aj donghea oppa bener misterius
    Semngat onnie

  8. wow…..!!!!!
    keren,menegangkan hehe
    suka dg karakter hae oppa*ga bisa byangin muka oppa kyak apa klo berkarakter sprti tu???#@

  9. Sepertinya hubungan YoonHae mulai ada sedikit ketegangan ni, tapi aneh ya dgn sikap Haeppa meski arogan dan dingin kok dia bsa romantis gtu sama Yoona. Tapi aku penasaran apa maksud perkataan Haeppa tadi?
    Jadi gregetan ni

  10. Yoona jadi dilema sendiri deh, entah siapa yang mau dipercaya.. Habisnya mereka semua sama2 pnya rencana.. kalo rencana yoona ama appa donghae kan dah tau.. Tinggal donghae?? Sebenernya apa rencana donghae??

  11. Yoona jadi dilema sendiri deh, entah siapa yang mau dipercaya.. Habisnya mereka semua sama2 pnya rencana.. kalo rencana yoona ama appa donghae kan dah tau.. Tinggal donghae?? Sebenernya apa rencana donghae?? Next chapter selanjutnya.

  12. nie koq jadi kucing2an gini, punya misi sendiri2 hehe
    penasaran sama rencana donghae..
    tp tetep keren kq ffnya eonni 🙂
    ada karakter baru nih, lee jonghyun.. sama2 lee nya

  13. donghae udah mulai terang2an ngungkapin perasaanya sama yoona,tapi yoona masih takut kalo bakal jatuh cinta sama donghae

  14. waw yoona mantannya jonghyun ternyata hihi, sebenarnya motifnya apa sih donghae nerima perjodohan itu ?ga sabar baca next chapternya

  15. donghae tau aja ya kalo ayahnya mau nyuruh yoona dateng ke kantornya hehehe
    oh ya aku suka banget sma donghae yg udh mulai perhatian sma yoona dan sempet2nya cium yoona sampek 2 kali lagi…
    dan aku pengen banget moment mereka lebih banyak

  16. caranya donghae buat nunjukin kalo dia mulai tertarik sama yoona itu lhoo dicium. seneng mereka idah ada ketertarikannya

  17. duuhhh yonna dilema antara milih anak apa bpk nya pilih ngikuti donghae aja yon
    huwaa bikin greget
    next thor

Komentarmu?