Late Night Cinderella (Chapter 3)

Image

Author                                     : misskangen

Tittle                                        : Late Night Cinderella

Length                                     : Sequel

Genre                                      : Romance, Drama, Family

Rating                                     : G

Main Cast                                : Im Yoon Ah, Lee Donghae

Support Cast                           : Kim Taeyeon, Park Kahi, Choi Sooyoung, Lee Taemin

Disclaimer                               : This story is mine including the plot and characters. But the casts are belong to themselves and god. Please don’t do plagiarism or bashing anything from this story. Sorry for unidentified typo(s).

Happy Reading all…

CHAPTER 3

Choi Sooyoung hanya bisa menggelengkan kepala, sedari tadi melihat sosok sahabatnya bertahan duduk gelisah di satu meja café tempatnya bekerja. Bukannya Sooyoung tidak mau menemani temannya itu, bukan pula tidak peduli. Tapi semua hal yang ada di kepalanya sudah diutarakan dengan sangat baik, hanya saja sosok keras kepala yang menjadi objek pengamatannya itu menolak begitu saja. Alasan demi alasan keluar dari mulutnya, menyangkal semua ide yang diberikan Sooyoung.

“Dari pada terus-terusan gelisah tidak jelas begitu, lebih baik kau pulang saja dan istirahatlah di rumah.” Akhirnya Sooyoung berbicara lagi setelah sempat diam cukup lama.

Im Yoona melirik kesal, bukan itu hal yang diinginkannya saat ini. Ia masih sibuk memandangi ponselnya, menunggu panggilan telepon dari seseorang yang sangat diharapkan. Ketukan tangannya di atas meja tidak berhenti. Ungkapan ketidaksabarannya itu cukup mengganggu beberapa karyawan café yang sibuk berbenah sebelum pulang.

“Istirahat di rumah? Kau pikir aku bisa istirahat dengan tenang bila dalam keadaan genting seperti ini, eoh?”

“Setidaknya kau bisa mencoba tidur untuk menghilangkan penatmu. Mungkin saja dalam mimpimu kau mendapatkan nomor ponselnya.” Ujar Sooyoung sambil menahan senyum.

Yoona berdiri dengan kesal. Bunyi gesekan kaki kursi di lantai yang cukup keras membuat beberapa orang yang ada disana mengalihkan pandangan mereka pada sosok Yoona. Mereka hanya menghela napas, tidak heran dengan tingkah Yoona yang terkadang suka repot sendiri dengan masalahnya.

“Yak, Choi Sooyoung!! Bukannya menghiburku, kau malah semakin membuatku kesal!” teriak Yoona pada Sooyoung dengan suaranya yang cukup melengking.

“Kau sendiri yang tidak mau dihibur, sedari tadi aku sudah berusaha memberimu solusi. Tapi kau terus menolaknya dengan alasanmu yang tak masuk akal. Kan memang semua salahmu yang begitu bodoh sampai kau tidak tahu nomor ponselnya!” balas Sooyoung tak kalah tajam.

Yoona membulatkan matanya mendapati Sooyoung benar-benar tidak berpihak padanya. “Ya, aku memang bodoh karena tidak menanyakan nomor ponselnya! Tapi ini sudah lebih dari seminggu dan sudah melebihi tenggat waktu yang dikatakannya. Mungkinkah ia tidak bisa membantuku?”

“Aku tidak tahu. Sudah aku katakan lebih baik kau datangi saja kantornya, dari pada terus menerus dalam ketidakpastian seperti ini. Setidaknya kau akan mendapatkan jawabannya secara langsung dari pria itu.” Ujar Sooyoung dengan nada bosan seraya melepas celemek yang melingkar dipinggangnya.

“jadi aku harus pasang muka tembok untuk menemuinya langsung di kantor?” tanya Yoona tak yakin. Sooyoung mengangguk mantap, sejak tadi ia mengatakan hal itu pada Yoona tapi tetap saja gadis itu kembali menanggapinya asal.

“Ya, aku rasa itu cara terbaik saat ini.”

“Aish…” desis Yoona putus asa.

♥♥♥♥♥

Yoona menatap kesal pada ponselnya, sedari tadi benda tidak bersalah itu terus saja dipandang nanar olehnya. Kesal karena tidak sekalipun ponsel itu berdering dan menandakan nomor baru masuk yang datangnya dari Lee Donghae. Sudah seminggu lebih Yoona menunggu kabar kepastian dari Donghae soal kesediaannya membantu perusahaan Yoona agar terhindar dari gulung tikar. Tapi pria itu tak juga menunjukkan eksistensi bahkan batang hidungnya sekalipun di hadapan Yoona.

Kini Yoona berjalan mondar-mandir di ruang keluarga, sesekali menghentakkan kakinya karena merasa begitu sulit untuk berpikir. Terkadang Yoona juga memukul pelan kepalanya sendiri, merutuki kebodohan demi kebodohan yang telah dilakukannya, termasuk kesialan hingga ketidakberuntungannya menjadi seorang Im Yoona.

Bibi Park yang melihat keberadaan Yoona dalam ruangan tersebut pun datang menghampirinya. Dengan sikap yang biasa ditunjukkannya – angkuh dan galak – ia mengerutkan dahi mendapati sikap gelisah Yoona yang ditangkapnya sejak beberapa hari yang lalu.

“Apa manfaat yang kau dapatkan dengan berjalan mondar-mandir seperti itu?” tanya Bibi Park tajam. Yoona menghentikan aktivitasnya, menanggapi sindiran Bibi Park yang menurutnya sangat mengganggu.

Imo ingin tahu? Manfaatnya adalah aku dapat menghilangkan stress di kepalaku. Yah…stress karena semua tekanan yang kau berikan kepadaku. Imo sungguh wanita yang sangat kejam dan tega sekali!” pekik Yoona kesal. Bibi Park tergelak dengan jawaban asal yang dilontarkan oleh keponakannya itu. Segera Bibi Park mengendalikan diri dan kembali mengadopsi raut wajah datar seperti sebelumnya.

“Aku tahu kau merasa tertekan. Tapi ini semua demi masa depanmu juga, dan masa depan perusahaan peninggalan ayahmu. Apa kau ingin melihat semuanya hancur begitu saja karena sikap egois yang kau miliki?”

“Oh, bisakah Imo berhenti mencekokiku dengan segala teori soal kritisnya perusahaan dan ancaman terselubung yang terus saja ditujukan padaku? Haruskah aku yang menjadi tumbal dari semua ini? Tidakkah Imo memikirkan bagaimana perasaanku?” cecar Yoona, menghujani Bibi  Park dengan segala protesnya yang mungkin baru sekian persen yang diungkapkan.

“Tumbal? Jadi kau berpikir seperti itu… sungguh kekanakkan sekali! Lalu bila kau tidak bersedia, apakah kau rela aku menjadikan kakakmu sebagai tumbalnya? Dan soal perasaanmu, aku yakin kau bisa menyesuaikan semuanya seiring berjalannya waktu. Jadi aku tidak khawatir soal itu.” Ujar Bibi Park enteng.

“Jinja?? Aigoo… Imo benar-benar wanita yang tidak punya hati! Mana mungkin aku akan mengahancurkan kebahagiaan kakakku sendiri, apalagi harus memisahkannya dengan Jung Soo Oppa.” Pekik Yoona kesal.

“Nah, itu kau tahu. Kau cukup bijak juga, Yoona-yah. Calon suamimu akan merasa senang jika kau bisa bersikap sedikit lebih dewasa. Belajarlah menjadi wanita yang mandiri dan tidak suka menyusahkan orang lain, kau pasti akan menjadi idaman setiap pria.”

“Sindiranmu sudah cukup menyinggung perasaanku, Nyonya Park yang terhormat. Kurang mandiri apalagi jika aku sudah bekerja paruh waktu untuk memenuhi kebutuhanku sendiri setelah kau merebut semua aset yang kumiliki serta memotong uang sakuku hingga nyaris nihil.”

“Lihatlah, kau sendiri sudah menyadari usaha kerasmu untuk bekerja, tapi kau juga yang tidak bisa menghargainya. Itu artinya kau memang belum dewasa dalam berpikir. Kau harus mengubah sikap burukumu itu sebelum kau menyesalinya sendiri.” Ucap Bibi Park sambil membalik badannya membelakangi Yoona. Baru berjalan beberapa langkah, Bibi Park berhenti kemudian menolehkan kepalanya kembali ke belakang melihat Yoona. “hanya sekedar mengingatkanmu untuk pertemuan dengan calon suamimu lusa. Jangan coba-coba menghindar atau kau akan mendapat ganjaran lebih parah dari sebelumnya.” Bibi Park langsung berjalan cepat dan meninggalkan Yoona yang masih berdiri melongo.

“Yak, aku tidak mau bertemu dengan pria tua bangka itu!! Lihat saja nanti, aku tidak peduli dengan ancamanmu, Imo!!” teriak Yoona keras memberi perlawanan. Bibi Park jelas mendengar teriakan Yoona, tapi wanita dingin itu hanya menggelengkan kepala dan memasang sikap masa bodoh.

♥♥♥♥♥

Dengan langkah gontai Taeyeon berjalan menuju kamarnya, dengan blazer yang disampirkan di lengan kirinya dan menenteng tas kerjanya yang tidak begitu besar. Langkahnya terhenti tepat di depan pintu kamar Yoona yang hendak dilewatinya. Taeyeon penasaran dengan suara isak tangis yang terdengar seperti suara kucing tersedak atau bayi kucing yang menangis (?).

Taeyeon membuka pintu kamar Yoona dan segera masuk ke dalam. Matanya membulat saat melihat tissu yang bertebaran di lantai. Sepertinya tissu-tissu malang itu menjadi korban asal lempar setelah digunakan untuk menghapus air yang keluar dari mata dan hidung Yoona. Sementara gadis yang sedang meratapi nasib itu sedang meringkuk di atas ranjang sambil memeluk guling dan kotak tissunya.

“Acara menangismu sudah membuat kamar ini seperti kapal pecah. Kau tidak lelah terus-terusan menangis seperti itu?” ujar Taeyeon setelah mengambil posisi duduk di ranjang tepat di sebelah Yoona. Tangisan Yoona terhenti untuk sesaat.

“Tentu aku lelah, air mataku saja lama-lama malas keluar sendiri. Tapi mau bagaimana lagi, aku memang harus meratapi nasibku ini. Sebentar lagi aku akan menikah dengan pria tua yang lebih cocok menjadi ayahku atau pamanku. Hilanglah sudah harapanku untuk mempunyai suami yang tampan dan tentunya masih muda…hu hu hu” ujar Yoona tersendat sendat disertai sedu sedan tangisannya.

Taeyeon mengernyit paham dengan maksud sang adik. Tapi ia tak bisa menahan diri untuk memutar bola matanya karena kepolosan Yoona dalam menyampaikan keluhannya. Taeyeon mengelus rambut Yoona dengan lembut, ia memandang adiknya dengan sorot mata sedih. “Mianhae… aku benar-benar kakak yang sangat tidak berguna. Aku sama sekali tidak bisa mencarikanmu solusi agar kau terhindar dari kebijakan kejam si nenek sihir itu. Dan maafkan juga sikapku selama ini yang seolah tak peduli padamu. Percayalah, kalau aku juga merasa ini semua tidak adil untuk kita terutama untukmu.”

“Ne… aku mengerti. Walaupun kau itu kakak paling angkuh seduniapun aku akan tetap menyayangimu. Kau satu-satunya yang aku punya saat ini, dan aku tidak ingin merenggut kebahagiaanmu.” Kata Yoona begitu pelan, namun suaranya terdengar jelas di telinga Taeng.

Taeyeon sontak memeluk Yoona, tak sadar ia juga meneteskan air mata. Kini ia begitu mengkhawatirkan kondisi sang adik setelah sempat mengabaikannya hingga terpuruk dengan masalahnya sendiri. Taeyeon menyesal karena perhatiannya pada Yoona berkurang, padahal adiknya itu begitu memperhatikannya dan menjaga hatinya.

“Kau benar-benar membuatku menjadi kakak yang kejam. Bagaimana mungkin aku telah mengabaikan adik yang sangat menyayangiku ini. Aku sungguh bodoh, dan aku sangat menyesal.”

Keduanya berpelukan cukup lama, menangis bersama-sama. Merasa cukup lega bisa berbagi rasa dengan sesama saudara. Walaupun mereka akan menghadapi masa depan yang buruk sekalipun, tapi cukuplah dukungan dari satu-satunya keluarga yang mereka miliki menjadi suatu kekuatan tersendiri.

“Eonni… aku seperti mendengar suara Jung Soo Oppa.” Taeyeon mengangkat kepalanya dan menajamkan telinganya. Beberapa detik ia mencoba membaca situasi melalui apa yang di dengarnya, kemudian Taeyeon dengan cepat beranjak dari ranjang dan berlari keluar kamar.

♥♥♥♥♥

Hari ini kau harus bertemu dengan calon suamimu. Jam 7 malam di Restoran La Chiquito.

Temui pria dengan jas beludru berwarna cokelat yang duduk di meja nomor 7.

Ingat, jangan coba-coba kabur atau kau akan mendapat hukuman berat.

 

Kata-kata Bibi Park terus terngiang ditelinga Yoona sejak kemarin malam hingga pagi ini. Semua kalimat itu seakan mengacaukan harinya bahkan sudah dimulai dari sarapan pagi. Sedari tadi Taeyeon memperhatikan Yoona hanya mengaduk-aduk butter rice di atas piringnya tanpa sedikitpun niat untuk menyendokkan nasi itu dan memasukkannya ke dalam mulut.

“Yoona-yah, gwenchana??” sapa Taeyeon yang tahu persis apa yang sedang dipikirkan oleh Yoona saat ini.

Yoona menggeleng pelan dan wajahnya memelas, “Aku tidak akan baik-baik saja, Eonni. Hari ini aku akan mulai memasuki pintu neraka dunia.”

“Tidak, kau tidak perlu melakukannya jika kau memang tidak mau. Akan lebih baik kalau kabur saja untuk pertemuan malam ini. Aku akan mengatakan pada Bibi Park dan pria tua itu kalau kau belum siap untuk bertemu dengannya.”

“Kabur? Tapi Bibi Park sudah mengancam terlebih dahulu, Eonni. Aku justru khawatir bila aku kabur nanti, kau harus menghadapi Bibi Park sendirian. Bagaimana kalau nanti Bibi Park malah menumpahkan kekesalannya padamu?” tanya Yoona begitu mengkhawatirkan kondisi Taeyeon nantinya.

“kau tidak perlu cemas, aku pasti bisa bertahan menghadapinya. Sekarang lebih baik kau bersiap-siap mengambil langkah seribu dari perjodohan ini.”

“Lalu aku harus kabur kemana? Bibi Park pasti akan tahu kalau aku tinggal di rumah Sooyoung..” ujar Yoona cukup putus asa.

“Bagaimana kalau kau menemui Lee Donghae, pria yang kau bilang berjanji memberimu jawaban untuk investasi itu?” Yoona mengangguk, tapi kemudian ia mengerutkan dahinya. Taeyeon mengerti bahwa Yoona tidak paham dengan maksudnya. “Kau temui Lee Donghae untuk mendapat kepastian darinya. Kalau perlu kau paksa dia untuk sesegera mungkin menolongmu dengan investasi darinya, terserahlah dengan cara apa agar ia bersedia melakukan semua itu untukmu.”

“Jadi aku harus menemui Donghae langsung di kantornya dengan tujuan memaksanya untuk menuruti keinginanku, begitu?”

“Haduhhh… kau ini berpikir lamban sekali. Tentu saja begitu. Cepatlah habiskan sarapanmu dan persiapkan barang-barang yang akan kau bawa kabur. Aku akan memberimu uang yang cukup untukmu mencari penginapan layak huni selama beberapa hari sebelum situasi terkendali.”

Yoona tampak ragu untuk bertindak. Sekarang saja ia masih duduk kaku di kursinya sambil memegang erat sendok dan garpu di kedua tangannya. “kau yakin aku akan berhasil, Eonni?”

Taeyeon menghela napas kasar, “Kita tidak akan tahu hasilnya bila belum mencoba melakukannya, Yoona-yah.”

Dengan dibantu Taeyeon, Yoona mengepak beberapa barangnya. Hatinya terasa dihujani ratusan batu kerikil dan langkahnya terasa sangat berat untuk meninggalkan kakaknya yang mengambil alih tempatnya untuk bertanggung jawab pada Bibi Park.

“kau harus bisa hidup mandiri, jaga dirimu baik-baik untukku…” ujar Taeyeon sambil memeluk Yoona erat laksana pelukan itu sebagai tanda perpisahan untuk jangka waktu yang sangat lama.

“Ne… doakan aku berhasil ya, Eonni. Fighting!!” kata Yoona sambil mengepalkan kedua tangannya.

♥♥♥♥♥

Dengan sabar Yoona menunggu di dekat pintu masuk gedung LCO Group, perusahaan tempat Donghae bekerja. Setelah lebih dulu diinterogasi oleh seorang security, akhirnya Yoona bisa mendapat tempat untuk menunggu Lee Donghae yang menurut sang security belum sampai ke kantor.

Berdiri lama selama hampir setengah jam membuat kaki Yoona terasa pegal. Ia menyesal telah memilih untuk memakai high heels 7 senti. Harusnya jika berniat kabur dari rumah, sepatu kets adalah pilihan paling tepat untuknya, tapi Yoona masih mempertahankan style modis yang sangat dijunjung tinggi olehnya.

Beberapa saat kemudian, sebuah mobil sedan Mercedes Benz hitam mengkilap berhenti di depan pintu masuk kantor itu. Dua orang pria berwajah tampan turun dari sana, berjalan berdampingan masuk ke dalam gedung. Yoona berlari mendekati kedua orang itu, memaksa kakinya yang mulai tak nyaman dan lelah.

“Lee Donghae-ssi, tunggu sebentar!!” teriak Yoona. Orang yang dipanggilpun menghentikan langkahnya, menoleh pada sumber suara. Napas Yoona sedikit terengah-engah saat tiba di depan Donghae yang cukup kaget dengan kehadirannya.

“Yoona-ssi, apa yang kau lakukan disini?”

Beberapa saat digunakan Yoona untuk mengatur napasnya, “tentu saja aku ingin menemuimu untuk menagih janjimu. Kau pasti mengerti maksudku…”

“Janji??” Yoona mengangguk menjawab tanya yang dilontarkan Donghae. “Oh, soal itu aku bisa menjelaskannya. Tapi sungguh mengejutkan melihatmu disini.”

“Hyung, siapa wanita ini?” tanya pria yang berdiri di sebelah Donghae.

“Taemin-ah, perkenalkan dia adalah Im Yoona. Teman baruku.” Taemin mengerutkan dahinya kemudian mengangguk. Taemin mengulurkan tangannya pada Yoona, hendak memperkenalkan diri. “Yoona-ssi, dia adalah Lee Taemin, adikku.”

Yoona menyambut uluran tangan Taemin, tersenyum ramah padanya. “Annyeong… Im Yoona imnida.” Hanya sesaat mata Yoona beralih dari Taemin kepada Donghae. Jelas sekali Yoona sedang diburu waktu untuk mengatakan kepentingannya pada pria itu hingga ia sama sekali tak mendengar ucapan perkenalan diri dari Taemin.

Setelah tangannya terlepas dari Taemin, Yoona langsung memegang lengan kanan Donghae. Dengan sedikit mengguncangnya, Yoona memasang wajah memelas pada Donghae. “Aku perlu berbicara denganmu Donghae-ssi, bisakah kau luangkan waktu untukku sekarang juga?”

Donghae merasa ragu untuk menjawab Yoona atau meluluskan keinginannya untuk berbicara empat mata. Donghae menoleh pada Taemin yang terlihat bingung dengan tingkah Yoona terhadap Hyung-nya. Taemin hanya mengedikkan bahunya, membalas tatapan penuh tanya Donghae padanya.

“Baiklah… ayo kita cari tempat yang nyaman untuk berbicara,” kata Donghae pada Yoona. Keduanya berjalan menuju tempat yang dimaksud dengan sedikit terburu-buru karena Yoona yang terus menarik-narik lengan Donghae dengan tak sabar.

“Jadi bagaimana, Donghae-ssi. Kau akan menolongku, kan?” ujar Yoona begitu mereka sampai di sebuah taman yang letaknya di sisi timur halaman gedung LCO Group. Belum sempat mencari tempat untuk duduk nyaman, Yoona sudah menghentikan langkahnya karena sudah lelah bersabar. Donghae masih diam, tampaknya masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk Yoona.

“Maaf, aku tidak bisa membantumu, Yoona-ssi. Aku tidak punya cukup data dan informasi soal perusahaan keluargamu. Investasi yang kau inginkan juga sangat besar, dan itu sulit untuk dilakukan secara terburu-buru tanpa mendiskusikannya panjang lebar dengan semua pemegang saham di LCO Group.” Terang Donghae pada Yoona penuh penyesalan.

Yoona menghela napas pelan, kakinya terasa lemas. Yoona benar-benar seperti kehilangan tenaganya untuk terus berdiri. Wajahnya berubah masam, menyadari bahwa harapannya telah sirna.

“Begitu ya… lalu mengapa kau tidak memberitahuku atau meneleponku. Tahu bila jadi begini aku kan tidak perlu banyak berharap. Apalagi sekarang aku kabur dari rumah.”

“Mwo? Kau kabur dari rumah? Mengapa kau melakukan hal bodoh seperti itu, Yoona-ssi?” tiba-tiba saja suara Donghae berubah meninggi.

Yoona memberikan tatapan kematian pada Donghae, “Kau adalah orang kesekian yang menyebutku bodoh. Benar-benar menyebalkan!!” gerutu Yoona dengan nada suara yang tajam. “Aku kabur karena aku tidak mau bertemu dengan pria tua itu dan aku tak mau menikah dengannya!”

“Jangan!” sahut Donghae spontan. Yoona menyipitkan matanya dengan reaksi Donghae itu.

“Jangan apa? Jangan sampai tidak jadi maksudmu?”

“Ah tidak… maksudku kau jangan kabur. Tidak seharusnya kau lari dari semua ini.” ujar Donghae tergagap. Ia merasa sudah salah berbicara dan salah bereaksi.

“Kenapa begitu?”

“Kalau kau benar-benar membatalkan semua itu, artinya kau ingin melihat kehancuran perusahaan ayahmu. Kau juga akan menyusahkan banyak pihak terlebih kau akan menyebabkan banyak orang jadi pengangguran. Kau pasti tidak ingin disebut-sebut sebagai public enemy kan?”

Yoona mengangguk pelan tapi diiringi dengan sikap acuhnya, “Yang kau katakan memang ada benarnya. Tapi apa pedulimu! Yang akan menjalaninya adalah aku. Dan aku juga yang akan merasakan hidup layaknya dalam kungkungan api neraka. Kau pikir aku akan sanggup hidup dengan kondisi seperti itu, eoh?”

Donghae menggeleng-geleng mantap, “Kau terlalu egois dengan hanya memikirkan kepentinganmu seorang. Kau rela menjadi duri dalam daging dan dibenci semua orang dengan cap sebagai biang kekacauan. Kau kan belum tahu seperti apa karakter pria yang menjadi calon suamimu itu. Mungkin saja ia pria yang baik dan akan memperlakukanmu layaknya istri yang disayang. Aku rasa kau tidak seharusnya mengabaikan segala kemungkinan positif yang mungkin akan terjadi.”

“Aku heran denganmu, Donghae-ssi. Kita baru saja saling mengenal tapi sepertinya kau berniat ikut campur dalam hidupku terlalu jauh. Untuk apa kau memaksaku menerima perjodohan gila yang diajukan Bibi Park? Kau berbicara layaknya kau sangat mengenal pria itu. Harusnya kau menolongku untuk menghindarinya bukannya semakin menjerumuskanku ke dalamnya. Kenapa, apa motif di balik sikapmu yang tidak konsisten itu?” ujar Yoona sambil berkecak pinggang, jelas bahwa ia sangat kesal dengan semua alasan yang disampaikan Donghae padanya.

“Aku… aku menyukaimu, Im Yoona-ssi. Walaupun kau sama sekali tidak mengenaliku, aku menyukaimu sejak pertama bertemu. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada kepalamu hingga kau tidak mengingatku. Entahlah itu karena kau terlalu naif dan polos, atau kau memang pelupa.” Donghae tak percaya dirinya memiliki keberanian begitu besar untuk mengatakan semua yang ada dalam pikirannya.

“Cih, kau menyukaiku?” seringai Yoona sinis. “Mana ada orang yang menyukai tapi malah mengabaikan begitu saja. Meskipun aku tidak tahu maksudmu dengan segala ingatanku yang payah, tapi aku rasa candaanmu tidak lucu. Kau hanya orang asing bagiku, yah… orang asing yang benar-benar sulit dipahami!”

Dengan sedikit emosi Donghae membetulkan jasnya cepat, lalu menarik lengan Yoona dengan sedikit paksa. “kalau begitu sekarang kau ikut saja denganku.” Kata Donghae dengan mimik serius di wajahnya. Yoona menahan lengannya yang ditarik Donghae, bertahan di tempatnya berdiri karena tak mengerti maksud aksi Donghae itu.

“Memangnya mau kemana? Kau tidak bisa memaksaku seenaknya.” Pekik Yoona sambil berusaha menarik tangannya kembali.

“Kita pergi ke kantor pencatatan sipil.”

“untuk apa?”

“Tentu saja mencatatkan pernikahan kita. Kau bilang tidak ingin menikah dengan pria tua itu kan? Kalau begitu menikah saja denganku.” Yoona terkejut dengan kata-kata Donghae. Dengan kesal ia berhasil menghempaskan tangan Donghae hingga tangan Yoona kini terbebas dari cengkeraman Donghae.

“Yak, micheoso?!! Kau benar-benar sudah gila, Donghae-ssi. Aku menyesal telah datang kepadamu!!” teriak Yoona kesal dan berlalu meninggalkan Donghae yang masih berdiri terdiam. Donghae merasa sedikit shock dengan kelakuannya sendiri, tiba-tiba saja dorongan untuk melakukan sesuatu yang yang ekstrim terlintas di kepalanya.

♥♥♥♥♥

Donghae kembali ke kantornya setelah pertemuan dengan Yoona berjalan alot dan menemui titik buntu. Apalagi diakhiri oleh aksi tak wajar dari seorang Lee Donghae kepada seorang wanita. Kalau boleh jujur, itu adalah pertama kali Donghae mengajukan lamaran kepada seorang wanita. Tapi sepertinya cara yang digunakan sangat-sangat tidak romantis dan malah membuat sang wanita jadi illfeel.

“Ada hubungan apa kau dengan wanita bernama Im Yoona itu, Hyung?” tanya Taemin menyambut kedatangan Donghae kembali ke dalam ruang kerjanya. Donghae menghempaskan tubuhnya di sofa dan mengendurkan ikatan dasi di lehernya. “Apa yang terjadi, Hyung? Kau tampak tidak senang, apa kau bertengkar dengannya?”

“Begitulah… ia kesal padaku karena aku menolak untuk membantunya, padahal tak sepenuhnya aku melupakan janjiku untuk membantunya.” Donghae bersungut-sungut dengan raut lelah di wajahnya.

“Membantunya? Ah… apakah Im Yoona adalah si Cinderella yang kau temui beberapa malam yang lalu?” Donghae mengangguk dan tersenyum singkat. “tapi melihat gelagatmu sepertinya kalian sudah cukup akrab. Apalagi melihat ekspresi wajahmu setelah bertemu dengannya, kau seperti pria yang habis bertengkar hebat dengan pacarmu.” Taemin terkikik membayangkan Donghae bertengkar dengan Yoona sebagai sebuah drama komedi yang sangat sulit ditemui.

“Berhentilah menertawakanku, Taemin-yah. Ini bukan sesuatu yang lucu. Kau tahu aku baru saja melakukan hal paling bodoh dalam hidupku. Pasti Im Yoona sudah berpikir yang macam-macam akibat perbuatanku tadi.”

“Memangnya kau melakukan apa padanya, Hyung? Apa kau menciumnya secara paksa?” kata Taemin masih dengan gelak tawanya. Donghae menatap Taemin tajam sebagai ungkapan protes atas candaan Taemin.

“Aku mengajaknya ke pencatatan sipil untuk menikah.” Ujar Donghae. Tawa Taemin langsung berhenti. Matanya membesar menatap Donghae tak percaya. Taemin tak pernah menyangka Donghae berani berbuat nekat seperti itu. Apalagi dengan wanita yang belum lama di kenalnya. Walau Taemin mengakui bahwa dalam sekali pandang, Im Yoona memang gadis yang sangat menarik dan tentunya meninggalkan kesan yang mendalam.

“Kau serius, Hyung? Ya Tuhan… bagaimana mungkin kau berani berbuat seperti itu? Tidak romantis sekali. Aku yakin pasti kau ditolak mentah-mentah.” Sindir Taemin sambil menahan tawa. Ia paham pasti Donghae sekarang kesal sekali dengan penolakan Im Yoona. Bukan hanya pertama kali melamar wanita, tapi pertama kali juga ditolak begitu saja oleh wanita.

“Bukan hanya ditolak, tapi dia juga menganggapku gila!” pekik Donghae dan akhirnya Taemin tak mampu lagi menahan tawanya. “Yak, berhentilah menertawai nasib Hyungmu yang cukup menyedihkan ini, Lee Taemin. Dasar kau adik durhaka…”

“Hahaha… Mianhae Hyung.. Mianhae… Tapi ini memang lucu sekali.”

♥♥♥♥♥

Im Yoona mengepalkan tangannya erat, mencoba menghilangkan kegugupannya. Tubuhnya benar-benar bergetar, campuran rasa takut dan kecemasan. Sedari tadi ia hanya memandang kosong pada jendela mobil yang membawanya menuju tempat yang dijanjikan untuk bertemu dengan calon suaminya.

Sebelumnya Taeyeon sangat terkejut melihat Yoona kembali ke rumah setelah berniat kabur dari acara malam ini. Tapi Yoona dengan keyakinan yang dipaksakan memberi alasan pada Taeyeon bahwa ia tak ingin menjadi seseorang yang dibenci oleh banyak pihak hanya untuk menyelamatkan hidupnya sendiri. Taeyeon paham dengan maksud Yoona, hanya saja ia tidak yakin Yoona sungguh-sungguh dengan keputusannya.

Taeyeon hanya menghela napas, menyesalkan semua yang terjadi pada dirinya dan Yoona. Apalagi adiknya itu harus menanggung beban sebagai solusi untuk menyelamatkan perusahaan milik keluarga mereka.

Yoona masih mengingat kata-kata Donghae saat bertemu siang tadi, bahwa semua kemungkinan bisa saja terjadi termasuk sikap calon suaminya nanti. Bisa saja bila pria itu adalah seseorang yang baik, yang akan memperlakukan Yoona dengan layak dan tentu saja tidak mengecewakannya. Kalimat demi kalimat itu seolah memberikan sugesti baru kepada Yoona bahwa pria itu akan berbeda dari yang dipikirkannya. Kata-kata Donghae seperti memberinya harapan bahwa ia juga bisa meraih kebahagiaan bersama orang itu.

Tapi kembali lagi Yoona mengingat bahwa perbedaan usia nanti akan menjadi beban baginya. Bagaimana tidak, Yoona masih belia di usianya yang masih di bawah dua puluh lima tahun harus menjadi pendamping pria yang tua. Orang-orang bisa saja menganggap Yoona adalah anaknya bukan istrinya. Memikirkan itu Yoona memukul-mukul kepalanya, ingin sekali membuang semua pikiran jelek itu dari otaknya.

Yoona tiba di restoran yang telah dijanjikan. Turun dari mobil ia melanjutkan langkahnya menuju meja dalam ruang private yang telah direservasi secara khusus untuk pertemuan ini. Seorang waiter mengantarnya, mengatakan bahwa seseorang sudah menunggunya disana sejak beberapa menit yang lalu.

Tubuh Yoona tiba-tiba menjadi dingin, titik-titik keringat mulai muncul di dahinya bertolak belakang dengan suhu dingin dari AC ruangan di dalam restoran. Tangannya sedikit gemetar, sehingga Yoona meremas gaunnya untuk menghilangkan rasa tak nyaman itu.

Jantung Yoona berdegup tidak karuan saat melihat sosok pria yang sedang menunggunya, berdiri di belakang meja dengan sebelah tangan dimasukkan ke dalam saku celana. Pria itu bertubuh tegap dan tampak begitu bugar. Gaya rambutnya sedikit tidak biasa, seperti sengaja dibiarkan panjang sehingga dapat ditata dan disisir sedemikian rupa. Terdapat jambang tipis yang menghiasi kedua rahangnya.

Sosoknya cukup manly, didukung kumis tipis dan alis tebal. Meskipun ia terlihat sedikit culun dengan kacamata minus yang menengkreng manis di atas hidung mancungnya dan membingkai matanya yang tidak besar.

Apakah dia pria tua itu? Apakah dia pria yang akan menjadi suamiku? Pertanyaan itu terus saja muncul dalam kepala Yoona. Sosok pria yang benar-benar di luar dugaannya. Dia berbeda, tidak seperti layaknya pria berumur dengan karakter hidung belang yang menginginkan wanita-wanita muda menjadi istri simpanannya. Pria itu terkesan sopan dan gentle. Pria itu menguarkan aroma maskulin yang begitu kental.

Tanpa disadari Yoona telah terpesona pada pandangan pertama pada pria yang telah menjadi sebab kegelisahan hidupnya beberapa minggu belakangan, dan tentunya Yoona sangat ingin membencinya. Tapi hal itu seolah semua berubah setelah mata mereka saling beradu dan melihat langsung figur kedewasaan dan kemapanan seorang pria darinya. Apakah Yoona telah jatuh cinta? Apakah Yoona dengan begitu mudah membiarkan dirinya jatuh pada pesona sang pria?

Keheningan di antara mereka terhenti setelah sang pria berdehem lembut memecah kesunyian. Ia tersenyum tipis dan mengulurkan tangan pada Yoona yang masih diam terpukau.

Annyeonghaseyo… Jeonun Aiden Lee imnida….”

To Be Continue….

83 thoughts on “Late Night Cinderella (Chapter 3)

  1. itu donghae ya? Cuma beda style ato dalam masa penyamaran mungkin? Ya apalah itu yang jelas itu Aiden Lee dan yeah semua orang tau bahwa Aiden Lee adalah Lee Donghae 😀 okedeh thor next chap jangan lama-lama 😉

  2. Wkwkwkwk…ketawa bayangin ekspressi bodoh yoona..,
    Thorr,knp hrus TBC??lgi deru niiihh..,
    Next part jangan lama2 yachh..,FFnya DAEBAK,,bikin geregetan sendiri..

  3. kyaaaa… Aiden Lee?? Donghae oppa kah? semoga iya.. di situ Donghae oppa nyamar hahaha..
    lanjut thor.. penasaran nih.. ^^

  4. iihhhhh? -_-
    Jgn blg ceritanya donghae mainin 2 peran -_- aiden itu donghae? :O yg bakalan dijodohin siapa sama yoona? Donghae apa aiden? :s

  5. Bwahahahaha. Apaan noh? Kucing tersedak, yaampun thor masa Yoona dibandingin sama gituan :3 Ciee ciee jatuh cinta. Aiden Lee, itu bukannya nama baratnya Hae oppa ya? Eih, molla molla. Baca aja dah 😀

  6. Wow siapa itu aiden?
    Knpa bukan donghae?
    Tp familiar deh sama nama aiden
    Mungkinkah aiden itu donghae.

  7. yaaaa makin giila ma ceritanya itu ongek nyamar ato kembar huaaaaaa ga sabar baca part slanjutnya

Komentarmu?