Compromise : Special Dating (Chapter 6)

Image

 

Tittle                                        : Compromise

Author                                     : misskangen

Genre                                      : Romance, Family

Rating                                      : Mature

Type                                        : Chapters

Main Casts                              : Im Yoona, Lee Donghae

Minor Casts                            : Choi Sulli, Lee Hyukjae, Victoria Song.

Disclaimer                              : All the story and plot is mine. Do not copy or doing plagiarism. Please apologize for unidentified typo(s).

 

Happy Reading All…

 

COMPROMISE : SPECIAL DATING (6)

 

“Aiden Lee!! Tak kusangka kau berani berbuat mesum disini…”

Suara seseorang itu ibarat lonceng peringatan. Ya sebuah peringatan bagiku yang tanpa sadar sudah terbuai dengan rayuan yang dilakukan Donghae padaku. Harusnya aku tidak lupa diri mengenai siapa aku dan apa yang sedang kulakukan di tempat ini.

Demi Tuhan, aku masih ingat betul bahwa aku berada di kantor tepatnya di dalam ruangan Donghae. Dan apa yang sudah kulakukan tadi? Tanpa perlawanan apapun aku menerima tiga ciuman Donghae di wajahku. Hal itu semakin buruk karena interupsi seseorang. Bagiku ini sungguh memalukan!

Terlanjur kaget dengan suara itu, aku dan Donghae melepaskan kontak fisik dan memberi sedikit jarak di antara tubuh kami. Bersamaan kami menoleh pada asal suara dimana seorang pria sedang berdiri dan menatap kami dengan wajah terkejut dan tampak sedikit shock. Aku sama sekali tak mengenali sosok itu. Ia tampak asing bagiku karena sekalipun aku belum pernah melihat wajahnya di kantor Taesan.

 

Donghae berdehem singkat sembari membenarkan letak dasinya sebelum berbicara. “Oh, hai Spenc! Kau sudah datang. Aku pikir kau akan sampai ke Korea besok.”

Ini sungguh menggelikan. Baru kali pertama aku mendengar Donghae berbicara dengan nada kikuk seperti itu. Biasanya ia selalu berbicara dengan nada aristokrat dan penuh dengan ketegasan maupun kesombongan. Hanya karena seorang pria yang menegurnya, tiba-tiba ia mengalami keolengan orientasi seperti ini?

huh? Aku bersyukur sampai di Korea hari ini dan bergegas menemuimu. Kalau tidak, aku takkan pernah melihat scene menarik seperti ini!”

 

Pria itu berjalan ke arah kami. Tubuhnya tampak cukup kurus untuk ukuran pria dengan tinggi pas-pasan seperti dia. Dia tersenyum samar, yang lebih kentara ada seringaian di wajahnya. Seolah memasang wajah yang sangat terkejut, tetapi ia juga menahan tawa.

Dari percakapan awal saja, sudah pasti Donghae mengenal orang ini. Mereka hanya berpelukan sebentar dan di mataku terlihat cukup aneh karena hanya pria itu yang terlalu gembira sementara Donghae lebih pantas disebut si kikuk yang malas meladeni.

“Kau tau, baru beberapa minggu tidak bertemu saja aku sudah sangat merindukanmu, Aiden!” si pria kurus lagi-lagi terlihat menggoda Donghae.

Dengusan terdengar dari hidung Donghae, “Stop it, Spenc! Kau membuatku ingin muntah.”

“Oh..Oh.. baiklah. Aku tahu aku sudah merusak mood baikmu dengan mengganggu kemesraanmu dengan….” Aku merasakan tatapan sekilasnya, seperti sedang menilik penampilanku saat ini. “…tadinya, aku pikir kau sedang bermesraan dengan Mrs. Kwon, si Janda cantik dari Montreal itu.”

“Berhentilah berbicara omong kosong!” Donghae menarik tangan si pria kurus dan menjauhkannya dari posisi tubuhku berdiri sekarang. “Mrs. Kwon tidak lebih pantas menjadi ibuku. Sebaiknya kau perhatikan orang yang baru kau lihat, sebelum memberi penilaian padanya. Kau tidak pernah tahu jika sikap seperti itu bisa membuat bom meledak di ruangan ini.”

Mataku menyipit dan terarah lurus pada wajah Donghae. Apa dia sedang menyindirku? Mengataiku sebagai bom waktu yang bisa saja meledak sewaktu-waktu? Lee Donghae sama sekali tidak punya selera humor yang baik.

Benar saja, mulutku sudah nyaris terbuka untuk memberi reaksi terhadap kata-katanya. Rencana itu terinterupsi oleh jemariku yang digenggam oleh Donghae, memberi tekanan lembut dan menuntunku merapat ke tubuhnya.

“Perkenalkan, ini Im Yoona. Dia adalah calon istriku.”

Sontak bibir si pria kurus mengerucut lalu membentuk seperti huruf ‘o’. Ia sesekali menggaruk tengkuknya seperti salah tingkah. “Oh, hai… aku Spencer Lee. Aku adalah sahabat sekaligus rekan bisnis Aiden dari Ottawa.”

Tanganku pun terulur kikuk menyambut uluran tangan pria bernama Spencer itu yang tanpa kusadari sekarang tengah menggeggam tanganku dan mengguncangnya pelan. Senyuman lebarnya pun memperlihatkan rangkaian gigi rapi serta gusi pink yang membuat wajahnya jadi terlihat lucu. Sedangkan aku hanya memperlihatkan official smile seperti biasa jika aku bertemu dengan client dari perusahaan.

“Kini aku mengerti kenapa Aiden tidak berusaha menolak perjodohan yang diminta ayahnya. Ternyata calon pengantinnya adalah wanita yang sangat cantik dan anggun sepertimu. Jadi aku paham dengan pemandangan sebelumnya. Tapi hal ini terjadi pada si Aiden Lee yang terkenal dingin itu hingga membuatku kaget setengah mati… dan kalian jadi terganggu untuk—“

Spencer belum sempat menyelesaikan kalimatnya karena berganti dengan suara merintih sesaat yang baru kuketahui karena Donghae sengaja meninju lengan bagian atasnya.

“Sudah kukatakan untuk menutup mulut besarmu, Spencer Lee! Apa kau ingin mempermalukan tunanganku, eoh?”

“Ya!Ya!Ya! Aku mengerti, Aiden Lee!” suara Spencer pun meninggi dan ia beralih menatap Donghae sedikit kesal.

“Yoona-yah, aku harap kau bisa memaklumi jenis orang yang suka membuat kerepotan seperti makhluk yang satu ini. Terkadang dia memang sangat mengesalkan.” Suara Donghae mengandung tekanan, meski begitu ia malah menatap khawatir padaku. Mungkin Donghae takut aku merasa tersinggung, lalu tanpa ancang-ancang aku akan menyerang Spencer dengan kata-kataku yang tajam sehingga Spencer sendiri yang akan mengalami Culture Shock di kantor ini.

 

Aku mengangguk beberapa kali, menyatakan bahwa aku mengerti. Aku juga paham dengan situasi seperti ini. Jika aku tetap ada di tengah keduanya saat ini, maka mereka tidak akan berhenti untuk saling menyalahkan terkait pandangan Spencer tentang diriku.

“Aku akan kembali ke ruang kerjaku.”

Ne…

“Kenapa kau cepat sekali pergi, Yoona-ssi? Aku masih ingin mengobrol denganmu.” Spencer tampaknya tidak menyadari bahwa Donghae mulai menghembuskan napas berat yang berarti kekesalannya semakin menjadi. Atau mungkin Spencer memang sengaja memancing amarah sahabatnya itu.

“Aku masih memiliki banyak pekerjaan, Spencer-ssi. Jadi aku harus menyelesaikannya.”

“Kalau begitu bagaimana kalau malam ini kau ikut kami makan malam bersama? Pasti menyenangkan sekali jika kebersamaanku dan Aiden dimeriahkan oleh calon istrinya,” Spencer benar-benar mengatakannya dalam mood yang baik-baik saja bahkan gembira. Sangat berbanding terbalik dengan orang di sebelahnya.

Aku melirik Donghae, menanyai persetujuan dan jawabannya melalui sorot mata. Donghae pun mengangguk dengan keterpaksaan sambil menghela napas, menyerah dengan kelancangan Spencer.

Okay. Aku akan datang.”

 

***

 

“Kau akan pergi berkencan ya?” suara Sulli yang dipenuhi dengan nada keingintahuan itu terus mengikuti kemana saja aku bergerak. Sulli memang hanya duduk manis di atas ranjangku, memperhatikan diriku yang sedang duduk sambil berdandan di depan cermin riasku yang besar.

Entah berapa kali aku menjawab setiap pertanyaan remehnya hanya dengan deheman singkat. Oh, gadis belia satu ini terkadang membuatku harus memutar otak agar ia mau berhenti mengoceh seperti ibu-ibu di pasar. Sejak tadi ia terus saja memberi penilaian mengenai baju yang kukenakan, atau make-up ku yang katanya kurang menantang. Come on, Sulli hanyalah seorang gadis remaja yang masih perlu pengetahuan lebih banyak mengenai style masing-masing orang.

“Eonni, menurut majalah yang pernah kubaca, akan lebih baik kau menggunakan warna-warna yang lebih elegan di saat kau akan berkencan pada malam hari. Apalagi kau akan berkencan dengan calon suamimu, si kekasih jarak jauh yang kini sudah muncul di hadapanmu. Aku pikir pilihan warna hijau tosca itu buruk.”

Aku membuang napas kasar. Gadis ini cerewetnya keterlaluan! Kalau hanya ingin membahas pilihan warna tidak harus menghubungkannya dengan siapa akan berkencan kan?

“Sulli, please… aku memang akan pergi dengan Lee Donghae tapi ini bukan acara kencan. Stop mengomentari apapun yang kukenakan karena tidak akan ada yang akan memberikan kritik macam-macam selain kau disini.”

Dari cermin riasku bisa terlihat bagaimana wajah Sulli berubah ekspresi, dari antusias menjadi semakin antusias. Meskipun bibirnya mengerucut setelah mendapat teguranku, tapi matanya tetap berbinar-binar dengan pembahasan ini.

“Oh, jadi Prince Lee itu tidak pernah mengomentari apapun yang kau kenakan? Hmm… kalau menilik wajah romantis yang dimilikinya, pasti ia selalu memujimu. Mungkin ia akan selalu mengatakan kau itu cantik, sempurna, dan wanita terindah dalam hidupnya.” Setelah itu Sulli tertawa dengan semua khayalannya.

 

Aku berbalik menghadapnya, membelakangi cermin rias dan duduk dengan tangan bersedekap di depan dada. “Apa kau bilang, Prince Lee?”

Anggukan Sulli benar-benar mantap. Lidahnya sama sekali tidak pernah terpeleset untuk memberi julukan orang-orang. “tentu..tentu… bukankah ia sangat mirip dengan Prince –pangeran? Wajahnya tampan, sikapnya sangat misterius, dan tentu saja dia kaya raya. Aku sungguh penasaran bagaimana kau bisa mengenal pria selevel Lee Donghae dan mencampakkan Jonghyun Oppa begitu saja…”

“Yak! Siapa yang mencampakkan siapa, huh?” suaraku naik beberapa oktaf lebih tinggi dan mataku sudah menyipit untuk memandangi Sulli. “jangan sembarangan membuat kesimpulan, Park Sulli! Tak tahukah kalau kau sudah merusak moodku saat ini?”

“ouch! Baiklah… sepertinya aku sudah salah memancing emosimu seperti ini. Maaf ya, Eonni!” Sulli bergegas bangkit dari ranjang lalu secepat mungkin berlari kabur menuju pintu kamr untuk meninggalkanku yang sudah mulai kesal karena keberadaannya.

Baru semenit bisa bernapas dari serangan verbal Sulli, kepalanya sudah kembali muncul di depan pintu kamarku.

“Eonni, Pangeranmu sudah datang…”

Hanya menyampaikan kalimat itu dan Sulli pun kembali menghilang. Kalau sudah begini aku harus menetralkan emosi. Setelah berkonfrontasi dengan Sulli, bukan tidak mungkin dalam waktu kurang dari setengah jam lagi aku akan berganti partner untuk berdebat.

Sudah saatnya menemui Lee Donghae dan bertemu lagi dengan Spencer, temannya yang menurutku cukup menarik untuk dikenal karakternya. Kesan pertama dari pertemuanku dengan Spencer saja sudah sangat berbeda dengan kesanku pada Donghae.

Di luar, Donghae sudah turun dari mobilnya. Ia sempat membunyikan klakson sekali, sebagai pemberitahuan padaku bahwa ia telah sampai. Kini Donghae berdiri bersandar pada salah satu sisi mobil dan menungguku menghampirinya. Penampilan Donghae saat ini sudah pasti sangat memanjakan mataku. Jas biru laut yang pas ditubuhnya ditambah senyumnya yang menawan.

Dia tersenyum padaku?? Walau bukan yang pertama, tapi aku sangat terkesan untuk senyumnya kali ini. Entah karena aku merasa ia memiliki ketulusan dalam senyum itu, atau karena aku sudah menjadi dungu karena pesona pria itu. Aku memiliki sedikit penyesalan karena tidak mengikuti kata-kata Sulli untuk mengganti kostumku, setidaknya mengubah warnanya saja. Pasti akan terlihat lebih bagus jika aku bisa menyesuaikan dengan tampilan yang diperlihatkan Donghae.

 

“Hai, kau sudah siap?” tanyanya yang membuatku kembali ke alam sadar untuk berhenti mengagumi kelebihan yang dimilikinya saat ini.

“Ya. Kita… langsung berangkat?”

Donghae membukakan pintu mobilnya di bagian depan. “Naiklah. Spencer sudah menunggu kita.”

Aku berjalan menghampirinya dengan langkah lembut namun tegas. Kebiasaan yang selalu terjadi bila aku mulai mendekati Donghae adalah meremangnya bulu romaku. Ini sedikit aneh bagiku. Kalau saja aku adalah tipe orang yang percaya dengan dongeng atau film-film fiksi, bisa saja aku mencurigai Donghae sebagai Vampir atau makhluk halus. Kemungkinannya yang paling besar adalah otakku yang telah rusak karena menganggap bahwa Lee Donghae sama tampannya dengan Edward Cullen, tokoh Vampir dalam film Twilight yang selalu tak pernah habis dipuji oleh Sulli.

 

“Prince Lee!! Umm… maksudku Lee Donghae-ssi…”

Ya ampun, kenapa Sulli harus muncul kembali dan memanggil Donghae? Padahal sudah sejak tadi aku terus menghindarkan diri dari keingintahuan anak itu. Sekarang Sulli malah mendekati Donghae dengan senyuman manis tanpa berani melirikku sedikitpun.

“Maaf aku menganggu sebentar. Ada yang ingin kukatakan padamu, Donghae-ssi.”

Donghae menoleh padaku sementara sebelah alisnya terangkat seolah menanyakan kalau aku mungkin tahu sesuatu tentang tingkah sepupuku yang satu ini. Hanya kedikkan bahu yang kuberikan padanya sebagai jawabanku.

“Apa yang ingin kau tanyakan, Nona Park?”

“umm…” Sulli tampak sedikit ragu untuk berbicara pada Donghae. Ia tampak tidak nyaman karena mengira aku sedang memandangnya dengan tatapan setajam pisau yang siap untuk menyayatnya. Padahal aku juga penasaran dengan keberaniannya berbicara langsung dengan Donghae pasca keterkejutannya dengan kenyataan bahwa Donghae adalah tunanganku.

“Aku sudah membuat suatu kekeliruan dengan membuat Yoona Eonni kesal padaku tadi. Aku takut jika mood buruknya itu terbawa pada kencan kalian dan membuatmu jadi tidak nyaman. Karena bisa jadi kau akan menjadi pelampiasan kekesalan sepupu tersayangku ini. Aku minta maaf untuk hal itu sebelumnya, Donghae-ssi.”

Ige mwoya??? Park Sulli lancang mengungkap hal itu pada Donghae. Ini sama saja ia menjatuhkan mentalku di depan Donghae. Setelah susah payah aku menata perasaan dan pikiranku untuk bertemu Donghae agar tak terjadi perang mulut atau apapun itu. Dan sekarang bahkan aku tak berani menoleh pada Donghae yang tertawa menanggapi Sulli.

“Kau tak perlu khawatir soal itu, Nona Park. Menghadapi emosi meledak-ledak sepupu kesayanganmu ini adalah makananku sehari-hari. Aku sudah terbiasa dan… tentu bisa mengatasinya. Jika tidak, mana mungkin kami memutuskan untuk menikah. Benar begitu kan, sayang?”

Tatapan Donghae terarah padaku, jelas ia sedang menahan senyumnya. Actingnya sudah menjebakku untuk ikut memainkan peran dengan baik.

Ne..” aku menjawab malas dan menyertai dengan cengiran seadanya. Pasti saat ini wajahmu terlihat menyedihkan sekaligus konyol. Secara mengejutkan Donghae menyambut jawabanku dengan mengelus kepalaku pelan. Aku cukup termangu dan merasakan pipiku sedikit menghangat. Oh tidak, dia melakukannya di depan Sulli.

“ya ampun, kalian manis sekali…” ungkap Sulli dengan kedua tangan tergenggam di depan dagunya dan matanya yang berbinar-binar. Tampaknya ia sangat mengagumi pemandangan Donghae dan diriku seperti itu. Sulli bahkan tidak tahu kalau aku sedang mematung dan menahan kakiku yang tba-tiba terasa lemas.

“Tapi aku tetap merasa tidak enak, Donghae-ssi. Kalau begitu aku mengundangmu untuk acara keluarga memperingati ulang tahun ayahku besok. Sekedar informasi yang memasak adalah Yoona Eonni..”

Mwo??” pekikku.

“Eonni, kau belum mengundang tunanganmu sendiri untuk hadir pada acara ulang tahun Appa besok malam? Aigoo.. kau payah sekali.”

Oh shut up, Sulli-ah!!

“Tentu aku akan datang, Nona Park. Mungkin Yoona lupa atau baru akan mengatakannya padaku nanti. Tapi aku pasti akan datang. Terima kasih sudah mengundangku datang.”

 

***

 

Aku tidak tahu akan memberi alasan apa kepada Donghae untuk topik yang satu ini. Bukannya aku tak ingin mengundangnya ke acara ini, tapi aku sangat ragu. Pertama, aku ragu dia akan bersedia datang dan membuatku cukup merasa malu karena ditolak olehnya. Kedua, jika dia benar-benar berada di tengah keluarga Park dan aku, pasti akan terjadi suatu situasi yang aku sendiri tak bisa menebak betapa kikuknya nanti.

“Kau tak berniat mengundangku ke acara ulang tahun pamanmu, kan?”

Aniya… bukan seperti itu.”

Donghae akhirnya membuka suara setelah mobilnya berjalan meninggalkan rumahku beserta keributan dari Sulli beberapa menit yang lalu. Aku sudah menebak bahwa ia akan kembali menanyakan perihal perkataan Sulli yang mengundangnya datang sementara aku sama sekali tak mengatakan apapun sebagai pembelaan untuk hal itu.

“Lalu?”

Air Conditioner dalam mobil ini mulai terasa dingin di kulitku. Sebabnya tak lain mungkin karena atmosfer yang mulai berubah sedikit tegang. Jelas sekali perdebatan akan dimulai. Sebenarnya aku sedang tidak ingin berdebat dengannya. Namun menjelaskan alasanku tidak mengatakan apapun padanya mengenai acara ulang tahun pamanku dimana seharusnya aku mengikutsertakan tunanganku di dalamnya adalah hal yang cukup sulit. Aku harus memilih kata yang tepat agar ia tidak tersinggung.

“Aku hanya… Aku hanya…”

“Kau ragu, kan? Kau meragukanku.”

Aku menoleh padanya dengan cepat, secepat ia memotong perkataanku. Aku memandang sisi wajahnya yang sedang berkonsentrasi menyetir. Meski ia tidak membalas memandangku, tapi aku tahu ia menyadari aku sedang menatapnya penuh tanya.

“Kau ragu untuk membawaku menemui keluargamu. Kau ragu akan bersikap seperti apa aku nantinya di depan keluargamu. Dan kau juga ragu ingin bersikap bagaimana bersanding denganku di depan keluargamu. Kau masih memikirkan akan ber-acting seperti apa di depan mereka dengan keberadaanku disana. Begitu, kan?”

“Donghae-ssi…” lirihku tak tau mau menanggapi seperti apa.

Kau benar dalam hal ini, Donghae. Semua yang kau katakan tidak ada yang meleset sedikitpun. Aku meragukanmu dan meragukan diriku sendiri. Dan aku takut jika aku tak bisa melewati itu semua dengan baik hingga membuat banyak keraguan-keraguan lain di hati orang lain. Aku takut paman dan bibiku menjadi ragu bahwa aku akan bisa menjalani kehidupan pernikahanku nanti bila di antara kita ada jalan terjal yang sulit ditaklukan. Aku takut mereka akan terus berpikir bahwa aku takkan pernah bisa bahagia menjalani kehidupan pernikahanku denganmu nantinya.

“Jujur aku juga sepertimu, Yoona-yah.”

“Maksudmu?”

“Aku sama sepertimu yang meragukan rencana pernikahan ini. Aku sama sepertimu yang takut tak bisa menjalani ini semua dan malah akan menghancurkan lebih banyak hal lainnya.” Donghae kini bisa membalas tatapanku, ketika ia menghentikan laju mobil sementara lampu lalu lintas berwarna merah.

“Tapi aku juga tidak sama sepertimu.”

“Mengapa?”

“Karena aku tak lagi berusaha beracting sebaik mungkin untuk memperlihatkan kepada orang lain bahwa aku baik-baik saja. Sudah kukatakan bahwa kita tak bisa lagi mundur dari semua ini. Yang bisa kita lakukan hanya terus maju dan menjalani semua yang ada di depan sesuai dengan persiapan diri masing-masing.”

“Aku… tak mengerti maksudmu, Donghae-ssi.”

Donghae kembali mengarahkan wajahnya ke depan karena lampu lalu lintas telah berubah menjadi hijau. Sedikit kecewa karena aku merasa kehilangan perhatiannya saat ini seraya menunggu ia menjelaskan kata-katanya agar bisa kupahami.

“Intinya, jalani saja semuanya sesuai kata hati. Behenti bersikap seolah semua tidak menguntungkanmu. Aku sendiri sedang belajar menerima semua ini dengan lapang hati, meski sulit tapi aku akan berusaha. Aku harap kau juga bisa melakukan seperti yang aku lakukan.”

Jadi, Donghae memintaku untuk belajar menerima kenyataan bahwa aku harus hidup bersamanya meski kami adalah musuh yang saling membenci dan siap untuk saling serang kapanpun ada kesempatan. Donghae mengatakan bahwa dia sedang belajar menerima sikapku yang terkadang suka meledak-ledak atau berusaha siap menerima tantangan di depan mata untuk ditaklukan.

Jika aku harus menjawab sekarang, maka aku akan berkata bahwa sejak awal aku bertemu dengannya aku sudah berusaha belajar untuk menerima. Memang sangat sulit, tetapi semua itu bisa berubah seiring berjalannya waktu. Tapi sekali lagi, aku masih terlalu munafik untuk mengungkapkan semua perasaanku padanya, tentangku yang terkadang menjadi tak menentu jika berhadapan dan berdekatan dengannya.

 

***

 

Meja yang telah direservasi sebelumnya oleh Spencer tampak kosong. Tidak terlihat pria kurus berambut cokelat itu disana. Padahal menurut Donghae, Spencer seharusnya sudah menunggu sejak setengah jam yang lalu.

Kami duduk dalam diam, melongok kesana-sini seperti mencari sesuatu yang tak tahu pastinya. Menunggu seseorang yang sebelumnya terlihat paling bersemangat untuk acara ini. Kulihat berkali-kali Donghae menggunakan ponselnya untuk menelepon Spencer tetapi sepertinya tidak pernah ada jawaban hingga Donghae terlihat semakin kesal.

“Sebaiknya kita pesan saja menu makannya. Aku tidak tahu apa yang terjadi pada Spencer hingga terlambat sekali seperti ini.”

Arasso…” jawabku tak bersemangat.

Perutku memang sudah lapar tapi melihat buku menu ini tak membuatku bisa membangkitkan energi. Aku malah memutar bola mata dan menghela napas pelan. Yah, lagi-lagi aku berkutat dengan restoran dan makanan Prancis. Kedua orang ini –Donghae dan Spencer- sepertinya terlalu tergila-gila dengan western entah itu Kanada, Amerika atau Prancis. Padahal keduanya orang Korea yang hanya tampak lebih familiar dengan all about western karena lama tinggal di luar negeri.

Tiba-tiba saja terlintas diotakku untuk meracuni Donghae dengan banyak makanan Korea jika sudah menikah nanti. Jika ia menolak setidaknya aku akan memaksa sampai ia mau menurut untuk kembali pada budaya negerinya. Itu juga bisa terjadi jika aku memiliki waktu sendiri untuk memasak!

 

You’re really son of bitch, Spenc! You make us waiting for a long time just to get informed by you!” Pekikan pelan Donghae mengalihkan tatapanku padanya. Ia tampak sibuk berbicara di telepon – yang aku yakin Spencer ada di seberangnya – dengan wajah ketat disertai dengusan-dengusan singkat.

“What a bulshit apologize! Of course, I’ll have it!” Donghae sempat menatapku sekilas dan memberi kode lewat gelengan kepala bahwa tampaknya Spencer tidak bisa hadir saat ini. “And you… have a good time with your childish girlfriend then!”

 

“jadi Spencer benar-benar tidak jadi datang?” tanyaku kemudian setelah Donghae menutup teleponya dan mulai beralih pada menu makan yang sudah diantarkan waitress ke meja.

“Begitulah. Dia sedang sibuk merayu kekasih bayinya yang terlanjur merajuk setelah sekian lama tidak ditemuinya. Dasar pedofil ulung!” Gerutu Donghae tak lupa memaki sahabatnya itu.

“Pedofil?” timpalku setengah memekik. “Benarkah Spencer seburuk itu?”

“Dia itu unpredictable! Terkadang sikapnya sangat dewasa, terkadang sangat menyebalkan, dan terkadang terlalu polos dan kekanakan hingga ia berani memacari seorang mahasiswi Korea yang dikenalnya melalui SNS.” Ingin sekali aku tertawa melihat Donghae yang bercerita tentang sahabatnya sambil memasang ekspresi mengerikan di wajahnya. “Aku tidak tahu apa yang membuatku bisa bertahan berteman dengannya selama ini.”

Jawabannya mungkin karena kalian sama-sama pria yang tak bisa diprediksi. Jadi karakter kalian pada waktu yang sama bisa saling melengkapi. Itu adalah analisaku. Dan aku takkan mengungkapkannya padamu, Donghae-ssi!

 

Pada tahap selanjutnya yang kami lakukan adalah menghabiskan menu makan yang telah dipesan sambil sesekali mengobrol hal-hal yang remeh atau aku mendengarkan cerita singkat Donghae mengenai sahabatnya, Spencer Lee. Menurutku malam ini Donghae sedikit lebih banyak berbicara dari biasanya, meski ekspresi dan sikap yang ditunjukkannya tidak jauh berbeda dengan yang selalu diperlihatkannya padaku. Bahkan ia sempat mengejekku ketika ia mendapati wajahku yang menunjukkan ekspresi ‘tidak tertarik’ pada menu mushroom ravioli yang harusnya kunikmati.

 

***

“Untuk apa kesini?” tanyaku begitu mobil Donghae berhenti di dekat Sungai Han yang kala itu tampak beberapa pengunjung lainnya sedang menikmati angin malam di tepi sungai.

“Mereka bilang Sungai Han sangat menenangkan di malam hari. Aku hanya ingin membuktikannya,” jawab Donghae dan ia keluar dari mobil. Donghae berdiri memunggungiku yang masih enggan keluar dari mobil. Sementara matanya sedang menatap jauh ke arah sungai. Entah apa yang sedang mengganggu pikirannya hingga ia berinisiatif mencari ketenangan di tempat seperti ini.

“Hei, kau tidak mau keluar?”

Aku terlonjak kaget ketika tanpa kusadari kepalanya sudah menyembul di jendela mobil. Aku sempat waspada menengok ke kiri dan ke kanan, mencari-cari seandainya ada sosok-sosok mencurigakan dengan kamera di tangannya.

“Apa yang sedang kau lakukan, eoh? Kau mencari siapa?”

“Aku hanya khawatir kalau ada orang suruhan ayahmu yang menguntit sampai kesini dan mengambil beberapa foto kita,” gerutuku sambil membuka pintu mobil lalu keluar menyusulnya dan berdiri di sampingnya.

“Kau tidak perlu mencemaskan hal itu karena hanya membuatmu lelah sendiri. Seharusnya kau sudah menyadari begitu kau masuk dalam lingkup Taesan, maka kau akan diawasi penuh. Orang-orang yang menguntit dan mengambil foto seperti paparazzi itu hanya sebagian kecil saja. Akan ada lebih banyak orang yang tanpa kau sadari mengawasimu, bahkan mungkin itu adalah orang yang cukup dekat denganmu.”

Mwoya?? Kenapa aku tak pernah menyadari atau berpikir mengenai hal semacam ini? Aku paham bila Lee Youngwoon mungkin akan mengawasiku, tapi untuk hal-hal mendetail dengan mendekatkan seseorang denganku adalah hal yang sangat di luar dugaan. Aku tidak tahu siapa yang perlu kuwaspadai jika kenyataan yang dikatakan Donghae benar seperti itu.

“Jadi selama ini kau tahu ada orang yang selalu menguntit?”

Donghae mengangguk mantap tanpa menjawab dengan kata-kata. Aish… orang ini, kenapa terasa sulit didekati. Aku merasa sudah cukup dekat tetapi kemudian seperti dirinya yang berusaha menjauh. Bahkan untuk memberitahu hal seperti ini saja seperti enggan sekali ia lakukan.

“Huh, kenapa kau tidak memberitahuku?! Ya, aku mengerti kalau kita bukan ‘partner’ yang tercipta karena suatu kedekatan. Tetapi setidaknya kau bisa mengingatkanku walau pada awalnya aku harus kesal karena wajah angkuhmu itu. Kau ini sengaja ingin membuatku terjebak—“

Kata-kataku terhenti sesaat karena Donghae baru saja meletakkan jas birunya di bahuku. Memakaiannya di bahuku tanpa aba-aba ataupun aku memintanya terlebih dahulu. “apa…apa yang kau lakukan?” kataku tergagap.

Bagaimana tidak, Donghae masih memegang kedua lengan atasku dan menatapku dalam. Bukan lagi hawa dingin yang kurasa tapi kini bercampur menjadi panas-dingin dan diikuti debaran jantung yang cepat. Aku takut Donghae akan mendengar suara jantungku karena keheningan yang tecipta di antara kami. Aroma feromon dan parfum yang menguar dari jas itu semakin merusak laju otakku dan membuatku mematung hingga hanya bisa membalas menatapnya saja.

“Pakailah, aku tahu kau mulai merasa kedinginan dengan gaun tanpa lengan itu.” Donghae mengusap-usapkan kedua tangannya di lenganku dan berakibat pada lututku yang lagi-lagi mulai merasa lemas. Kenapa terasa sulit sekali untuk menelan ludah di saat seperti ini? Lee Donghae cepatlah menjauh dari hadapanku atau aku akan pingsan saat ini juga.

“Alasan aku tak mengatakannya padamu karena kau selalu berpikir buruk tentangku. Kau pasti akan selalu mencurigaiku untuk setiap hal yang kulakukan, meski diriku sendiri berpikir untuk kebaikanmu. Kau tidak pernah mempercayaiku, Yoona-yah…”

Ya, kau benar Lee Donghae. Kau benar dengan kata-katamu bahwa aku tidak mempercayaimu. Belum. Seberapa besar kekesalanku padamu atau sebesar apapun rasa sukaku padamu hingga membuatku terkadang sulit bernapas di hadapanmu, itu semua tak pernah bisa menjadi alasan aku memiliki kepercayaan yang besar terhadapmu. Aku memang masih meragukanmu, Lee Donghae-ssi.

 

“Hei, berhentilah menatapku seperti kau ingin menelanku, Im Yoona!” Teguran Donghae yang disertai selentikan di dahiku menyadarkanku dari lamunan singkat tentang kesadaranku yang tak pernah memberi kesempatan pada Donghae untuk menjadi orang yang dipercaya olehku.

“Auh! Memangnya kenapa?” tantangku kembali padanya.

“Kau tidak pernah mengerti kalau kau itu membuatku… ah, sudah lupakan saja!” Donghae malah memalingkan wajahnya ke arah lain. Aku akui aku sedikit kecewa dan penasaran karena Donghae tak melanjutkan kata-katanya. Aku ingin tahu mengapa ia tidak suka jika aku menatapnya intens seperti tadi.

 

***

 

Setelah cukup puas memandangi sungai Han – yang menurutku tidak ada yang bisa didapat kecuali lampu-lampu atau pemandangan remaja yang sedang berkencan meskipun ini bukan sabtu malam – akhirnya Donghae memutuskan untuk mengantarkanku pulang. Tadinya ia berpikir untuk mengunjungi satu tempat lain dan aku tak tahu kemana. Entah apa yang menjadi pertimbangannya hingga ia membatalkannya dan beralih kembali ke rumah saja.

Selama perjalanan pulang, mataku tak berhenti mencari-cari sesuatu yang mungkin bisa dibeli dan membuat perutku tak lagi berteriak kelaparan. Menu masakan Prancis yang kumakan sebelumnya sangat tidak berefek mengenyangkan bagiku.

“Donghae-ssi, bisakah kau berhenti di depan kedai Ddeobokki di depan sana?” pintaku pada Donghae setelah melihat sebuah kedai yang tidak cukup ramai di tepi sebuah persimpangan jalan.

“Untuk apa?”

“Tentu saja untuk membeli Ddeobokki. Aku masih lapar!”

“Baiklah, aku mengerti kalau mushroom ravioli tak membuatmu kenyang. Kenapa harus Ddeobokki? Bukankah Spaghetti atau Pizza lebih enak?”

Spontan aku mendengus karena Donghae masih tidak lupa dengan ejekannya sejak dari restoran Prancis tadi. “Itu alternatif tercepat saat ini, Donghae-ssi. Dan aku juga pasti sanggup menghabiskan makanan cepat saji ala barat yang kau sebutkan itu!”

Daebak! Aku baru tahu kau itu Shikshin.

“Terserahmu saja…”

 

Donghae ternyata menuruti keinginanku. Ia menghentikan mobilnya tepat di depan kedai itu dan dengan sabar menungguku membeli Ddeobokki sampai kembali lagi ke dalam mobilnya. Setelah itu memang ia tak berkomentar banyak kecuali menanyakan kenapa aku tak langsung memakannya. Aku memberitahunya bahwa akan lebih nyaman untuk menikmatinya di rumah dari pada memakannya di dalam mobil meskipun aku sudah sangat lapar sekalipun.

 

Keadaan halaman rumahku cukup sepi dengan pintu depan yang terbuka salah satunya. Mobil Paman Park tampak sudah terparkir yang menandakan bahwa ia sudah kembali dari perjalanan dinasnya di luar kota. Setidaknya ini melegakan karena besok malam adalah perayaan ulang tahun paman.

“Kau akan mampir ke dalam, Donghae-ssi?” tawarku dengan nada malas begitu selesai membuka seatbelt. Sebenarnya aku ingin sekali dia langsung pulang tanpa harus berbasa-basi terlebih dahulu seperti yang biasa dilakukannya.

“Umm… sepertinya tidak untuk malam ini. Tetapi besok malam aku pasti akan datang. Officially as a future family-member.

“Huh? Aku tidak bilang mengundangmu untuk acara besok. Kau percaya diri sekali!” Ahh… senangnya bisa berbalik mengejek dan menggoda Lee Donghae. Sebentar lagi ia pasti akan marah dan menggerutu dengan style arogannya itu.

Trying to tease me, Miss Im? Kalau begitu aku datang karena undangan dari sepupu cantikmu itu,” jawab Donghae santai. Well, aku salah mengira kalau Donghae akan membalasku. Malam ini ternyata ia sangat easy-going.

Okay, kalau begitu besok aku akan kedatangan orang asing ke rumah.” Jawabanku sepertinya tidak lucu, tetapi Donghae malah tersenyum lebar, lebih tepatnya menyembunyikan tawanya. “kenapa kau tersenyum?”

Setelah menghela napas, Donghae menoleh padaku. Ia menghanyutkanku dengan tatapannya yang hangat dan sendu. “Aku baru menyadari bahwa sebuah rekor baru saja tercipta hari ini. Tidak ada pertengkaran di antara kita seharian ini. Walaupun ada perdebatan kecil, tetapi selesai dengan cara yang ya.. bisa dikatakan menyenangkan.”

Pipiku langsung memanas mengingat kejadian siang tadi, saat ia menciumku setelah berdebat soal Jonghyun dan berakhir memalukan karena dipergoki oleh Spencer.

“Sepertinya kita benar-benar berkencan sebagai… pasangan yang akur.” Kedua alisku terangkat lalu tanpa diduga senyumku pun ikut mengembang. Ini lebih karena aku malu dan juga merasa senang. Entah kenapa kata ‘pasangan’ yang diucapkan Donghae terdengar sangat manis di telingaku.

“Menurutmu begitu?” balasku singkat.

“Haruskah… kita mengakhirinya dengan manis juga?” Donghae kali ini berbicara kaku.

Nde??

“Maksudku melakukan ini…” Donghae menjulurkan kepalanya, mendekatkan wajahnya padaku dan berhenti tepat ketika ujung hidung kami saling bersentuhan.

Perutku bergolak, seperti dipenuhi kupu-kupu yang berterbangan kesana-sini sementara jantungku ingin melompat ke luar. Aku yakin Donghae bisa mendengar dengan jelas debarannya. Meski begitu aku memejamkan mataku, memberinya isyarat bahwa aku membiarkannya melakukan hal itu. Sesaat kemudian aku sudah merasakan sentuhan hangat bibirnya di bibirku. Ketika ia melanjutkan dengan lumatannya di bibir bagian atas dan aku memberanikan diri membalas dengan melumat bibir bawahnya. Skinship yang kami lalui kali ini benar berbeda dan tentu saja tidak perlu ragu untuk setidaknya menikmati momen manis ini.

Semuanya terjadi begitu saja, tidak ada beban bagiku untuk melakukan ini. Bermesraan dengan orang asing seperti Lee Donghae di dalam mobilnya. Well.. dia tidak benar-benar orang asing karena statusnya adalah calon suamiku. Ini sedikit mengingatkanku kembali ketika ia menciumku untuk pertama kali. Latarnya sama hanya passion dan feel nya yang berbeda. Saat itu sangat mengejutkan bagiku karena ia baru saja bertemu dan mengenalku untuk beberapa hari.

 

Eonni…!!

Kami berdua sama kagetnya ketika sebuah suara kembali menjadi sarana interupsi yang tepat untuk kegiatan yang kami lakukan. Benar saja, Sulli sudah berdiri di depan mobil dengan wajah sedikit shock dan mulut yang tertutup tangannya.

Buru-buru aku keluar dari mobil tanpa berkomentar sedikitpun pada Donghae. Aku yakin ia pasti sama kagetnya denganku hingga ia hanya bersikap sok cool dengan tersenyum pada Sulli sambil meremas stir kemudi.

Oops… Mianhae, sepertinya aku salah lagi. Kedatanganku memang sangat tidak tepat hingga mengganggu kalian. Mianhae, Eonni..” sesal Sulli begitu aku berada di hadapannya. “Tapi… aku ingin memberi tahu bahwa Sooyeon Eonni menelepon dan mencarimu. Tadinya aku memberitahunya bahwa kau pergi dengan tunanganmu, lalu aku mendengar suara mobil jadi aku pikir kau sudah pulang dan aku berniat memanggilmu.”

“Sica Eonni?”

“Ya, dia menunggumu… teleponnya masih tersambung.”

Tanpa pikir panjang aku langsung berlari ke dalam lupa. Aku bahkan melupakan Donghae yang masih berada di dalam mobil tanpa pamit lebih dulu padanya. Kakakku pasti menelepon untuk meminta keterangan langsung dariku mengenai laporan dari suaminya perihal undangan pernikahanku yang sempat dilihat oleh Yunho Oppa.

 

Yeoboseyo Eonni…” dan hanya terdengar nada tuuuttt… yang menandakan bahwa orang di seberang sana sudah menutup teleponnya. Aku kecewa karena gagal berbicara dengan Jessica pada kesempatan ini. Aku berniat meneleponnya kembali, tetapi setelah kupikir lagi pasti ia masih kesal karena aku terlambat menjawab telepon karena baru kembali dari kencanku dengan Donghae. Kalau begitu, aku akan menghubunginya besok sambil berharap kesalnya sudah hilang.

 

“Kau sudah selesai bicara dengan Sooyeon Eonni?” Sulli sudah muncul kembali dan wajahnya masih terlihat memerah.

“Ia menutup telepon bahkan sebelum sempat mendengar suaranya,” keluhku.

“Oh begitu. Aku pikir Sooyeon Eonni terdengar cukup kesal waktu aku mengatakan kau sedang pergi kencan dengan tunanganmu. Memangnya ada masalah, ya?”

“Tidak… tidak ada masalah apa-apa,” dustaku menyembunyikan kenyataan bahwa aku belum memberitahu kakakku sendiri masalah pernikahanku.

“Soal tadi… aku minta maaf ya, Eonni. Aku sendiri sangat malu karena melihat langsung kemesraan kalian yang berciuman di mobil. Tapi aku benar-benar tidak sengaja!” Sulli membela dirinya sekaligus menyatakan penyesalannya padaku. Hei… sebenarnya justru aku yang merasa cukup malu karena dipergoki olehnya. Ya ampun dalam sehari aku dipergoki dua kali bermesraan dengan Donghae oleh dua orang berbeda.

“Oh, ya sudah..”

“kalian sangat romantis ya… kau bahkan masih mengenakan jas miliknya.”

Aku baru sadar setelah mendengar perkataan Sulli bahwa aku masih mengenakan jas yang dipakaikan Donghae di tepi sungai Han tadi. “Aku harus mengembalikannya…”

“Dia sudah pulang. Kau kembalikan besok saja… siapa tahu malam ini kau ingin tidur sambil mencium bau tubuhnya.” Setelah mengatakan itu Sulli pun lari terbirir-birit, takut aku melemparnya dengan sesuatu.

“Yak!!! Park Sulli, awas kau!!”

 

***

 

Jam yang melingkar di tanganku sudah menunjukkan pukul tiga sore. Hari ini aku sudah minta izin untuk pulang lebih cepat dari kantor pada ketua tim. Aku sudah lebih dulu meminta maaf karena tidak bisa ikut dalam perayaan tim perencanaan malam ini pada semua rekan kerjaku. Syukurnya mereka bisa mengerti dan menerima alasanku yang ingin merayakan ulang tahun pamanku di rumah.

Aku membereskan beberapa barang milikku yang tergeletak manis di atas meja, memasukkan ke dalam tas dan memastikan tidak ada lagi yang tertinggal.

“Kau akan pulang lebih cepat, Yoona-ssi?” Victoria seperti biasa akan mengomentari beberapa kegiatanku yang tertangkap tidak biasa di matanya. Kulihat ia masih tampak sibuk dengan beberapa proposal baru di atas mejanya yang membuatnya sedikit tidak terlalu merepotkanku dengan gosip yang diceritakannya hari ini.

“Ya. Aku harus melakukan beberapa pekerjaan rumah untuk acara malam ini,” gurauku tanpa memasukkan sedikit lelucon ke dalamnya.

“Pasti menyenangkan sekali menghabiskan waktu bersama keluarga,” Victoria menyatakannya dengan senyuman lebar dan wajahnya terlihat sangat menyenangkan. “Apa kau… juga mengikutsertakan putra Presdir dalam acara keluargamu?”

Tidak dipungkiri lagi Victoria selalu punya keingintahuan lebih jika sudah menyangkut ranah pribadi yang mengaitkan aku dengan putra Presdir Taesan. “Apakah itu penting?” tanyaku berbalik padanya tanpa nada sinis.

Dia malah tertawa garing, mungkin merutuki kebodohannya yang menanyakan sesuatu hal yang sudah bisa ia tebak jawabannya. “Aku hanya penasaran saja. Aku yakin pasti tunanganmu yang kaku itu akan datang.”

“Ya… begitulah,” aku memutar bola mata lalu kabur ke luar ruangan sebelum Victoria mengeluarkan jurus ‘interogasi-ala-biang-gosip’ padaku lagi.

 

“Yoona…” suaranya kenapa selalu saja memenuhi kepalaku, hingga di kantor ini juga seakan penuh dengan semua tentang dirinya.

“Yoona… kau sudah mau pulang?”

Awalnya aku tak ingin menggubris panggilannya, tetapi pria ini sudah jelas menegurku seakan ia mempunyai kepentingan denganku. Padahal aku sudah sangat terburu-buru karena Imo sudah menjemputku dan menunggu di mobil depan lobby kantor.

“Ya, aku harus pergi sekarang, Donghae-ssi. Apa kau butuh sesuatu?”

Donghae tersenyum, entahlah menurutku belakangan ia semakin sering memamerkan senyumnya padaku, seolah ia tahu bahwa dengan tersenyum ia sudah menebarkan pesona magisnya hingga berhasil memporak-porandakan pertahananku.

“Tidak ada. Apa kau mau aku antar?”

Mwo?” Donghae menawarkan diri ingin mengantarku? Apa kepalanya baru saja terbentur? Siapapun tahu sesibuk apa seorang putra Presdir Taesan, sekalipun tidak disibukkan dengan urusan Taesan tentu ia masih punya banyak hal yang harus diselesaikan terkait perusahaannya yang berada di Kanada. “Meng-antar-ku?”

 

“Jangan salah paham. Kebetulan aku akan keluar juga untuk bertemu seseorang, tempatnya tidak jauh dari rumahmu.” Donghae berbicara padaku, tetapi matanya tidak fokus. Sebenarnya apa yang diinginkannya hingga terlihat ragu seperti itu?

“Terima kasih atas tawaranmu, tapi bibiku sudah menunggu di luar. Aku akan pergi ke supermarket terlebih dahulu dan tidak langsung pulang ke rumah.” Aku lebih terlihat sedang memberi laporan pada Donghae kemana aku akan pergi. Ini semat-mata aku lakukan agar ia tak lagi merecokiku dengan tawarannya yang tiba-tiba itu.

“Baiklah kalau begitu…” Donghae tersenyum lagi. Oh Tuhan… kenapa aku selalu bereaksi seperti ini tiap kali mendapat perlakuan yang manis darinya. Perlahan tapi pasti sekarang Im  Yoona berubah menjadi gadis yang selalu jatuh pada pesona Lee Donghae. Aku sampai lupa bagaimana harus bersikap padanya sekarang. Harus sebagai musuh? Sebagai tunangan palsu? Atau sebagai kekasih yang berbahagia?

“Kalau kau butuh bantuanku, kau bisa menghubungiku.”

Nde? Uhm…Ne.”

Aku memang selalu membutuhkan bantuanmu, Lee Donghae-ssi. Karena aku tak tahu bagaimana caranya agar jantung ini bisa berdetak normal atau bulu romaku tak lagi meremang setiap kau di dekatku atau setiap kali kau menyentuhku. Aku harap kau mempunyai solusinya, agar aku tak lagi hampir mati karena kehabisan napas setiap kali kau memperlihatkan sisi manis dari dirimu.

Tepat setelah ia berbalik menjauhiku dan aku hanya bisa melihat punggungnya yang tertutup jas cokelat tua, aku memanggilnya karena aku membutuhkannya. “Donghae-ssi… saat ini aku. Membutuhkan. Bantuanmu.” Dan saat itu juga aku berjalan dengan langkah cepat menghampirinya, menatap matanya, dan tersenyum seakan aku ingin melompat ke dalam pelukannya.

 

To Be Continued…

 

 

©misskangen-2014

 

Hello Readers… udah nyampe chapter 6 tapi belum terjadi pernikahan YoonHae? Pasti banyak yang bertanya seperti itu… Okay, aku jelasin kenapa alurnya bisa dibilang lelet begini. Sebenarnya bukan lelet, tapi memang aku sengaja membuat tahap demi tahap bagaimana hubungan YoonHae berjalan. Sekalian aku jawab pertanyaan kenapa ga pernah ada Donghae’s point of view, itu karena dalam cerita ini aku ingin semua readers menempatkan diri sebagai Yoona dan turut merasakan suka-duka jadi Yoona dalam latar dan alur Compromise.

Aku juga apresiasi setiap komentar yang diberikan untuk cerita ini. Aku baca semua komentar walau ga dibalas satu per satu. Aku ucapin terima kasih atas antusiasme pembaca melalui komentar-komentar tersebut meskipun hanya berupa kata ‘lanjut’ atau ‘next’. Aku ga minta lebih, mungkin yang berkomentar seperti itu lagi mood jelek hingga malas kasih komentar atau memang bingung ga tau mau komentar apaan. Yang jelas tetap harus diberi apresiasi karena sudah mau meninggalkan jejak dan menunjukkan diri sebagai ‘good reader’.

Next, aku ga bisa janji bakalan update postingan lebih cepat atau rutin karena tuntutan pekerjaanku di dunia nyata. Just wait for the next chapter, guys…

 

 

 

123 thoughts on “Compromise : Special Dating (Chapter 6)

  1. Aku suka alur yg begini thor. Alurnya dijelaskan secara terperinci. Kalo ngebut malah feel-nya kurang dapet menurutku ‘-‘

    Terserah mau update next chap kapan aja yang penting masih tetep dilanjut.

    Sejauh ini gk ada kritik thor, good job lah pokoknya 😀

  2. Nah ini nih part yang aku suka hehe semuanya digambarkan secara jelas.
    dan karena banyak interaksi antara yoona dan donghaenya juga sih.
    mereka tuh kaku tapi manis, dan sepertinya donghae udah ngasih kode kalau dia udah berusaha menerima yoona dan perjodohan itu.
    Wow juga sih sama perubahan sikap donghae..
    Walaupun ff ini lelet tapi aku malah lebih suka yang seperti ini, berasa baca novel hehe
    Enggak seru juga kan kalau tokoh utamanya -yang sebelumnya gak saling kenal- cepet saling jatuh cintanya, mainstream bangetlah hehe

  3. Ooo..
    Sepertinya yoona juga udh mulai..
    Ada perasaan buat donghae..
    Tp yang jadi pertanyaan ku?
    Knpa donghae berubah secepat itu ya?
    Ada lagikah rahasia yang disembunyiin?
    Jawabannya..
    Ditunggu dichapter selanjutnya..

  4. wah orang ke4nya spencer ternyata 😀
    maaf ya eon komentarku sebelumnya udh salah paham aku fikir bakal ada karakter baru lg..
    hae oppa maniss bgt, yoona unni mulai ada rasa kyaknya
    daebakk lah eonni buat ffnya. fighting eon 🙂

  5. Kasian yoonhae, spencer dan sulli menjadi pengganggu momen kemesraan mereka
    Tapi, hubungan mereka smkn berkembang aja, baguslaa kalo gitu
    Dan kayaknya donghaepun mulai jatuh cinta sm yoona

  6. Kasian yoonhae, spencer dan sulli menjadi pengganggu momen kemesraan mereka
    Tapi, hubungan mereka smkn berkembang aja, baguslaa kalo gitu
    Dan kayaknya donghaepun mulai jatuh cinta sm yoona
    So sweet

  7. Caelah hubungan mereka semakin hari semakin baik….
    Bagus sekali dan aku senang sekali…
    Trus di dalam perdebatan mereka berdua lucu banget… eonni memng daebak buat ceritanya dan aku penasaran knapa yoona mau minta bantuan dari donghae?

  8. sehun sering senyum apa udah suka sama yonna ya?
    itu yonna mau ngapain nyamperin donghae lagi jangan” 😁
    next thor semakin baca semakin gregetan gak sabar pengen cepet mereka nikah.

Komentarmu?